Ira pun panik karena khawatir Bian mengenal suara Zein. Ia over thinking karena menyembunyikan kenyataan dari Bian.
“Bi, udah dulu, ya. Ada Abang aku. Nanti aku telepon lagi. Bye!” ucap Ira. Kemudian ia langsung memutus sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Bian.
“Lho, kok main ditutup aja, sih? Lagian kenapa harus dimatiin juga teleponnya?” gumam Bian. Ia heran karena sikap Ira begitu aneh.
Sementara itu, Ira membukakan pintu untuk Zein.
Ceklek!
“Terima kasih udah dibawain kopernya,” ucap Ira, sambil tersenyum.
“Lama banget buka pintunya? Lagi ngapain, sih?” tanya Zein.
“lagi istirahat lah, Bang. Namanya juga capek, baru habis perjalanan jauh,” sahut Ira. Kemudian ia mengambil koper itu dan menariknya masuk.
“Makasih ya, Bang. Aku mau istirahat dulu. Bye!” ucap Ira. Lalu ia langsung menutup pintunya.
“Yee, dasar main tutup aja! Awas kamu kalau minta tolong lagi, ya!” ancam Zein.
“Hutang Abang masih banyak. Belum lunas,” sahut Ira.
Mereka memang seperti itu. Namun mereka selalu ada jika dibutuhkan. Mereka pun saling perhatian dengan caranya masing-masing.
Setelah Zein pergi, Ira menghubungi Bian kembali.
Telepon terhubung.
“Kok dimatiin teleponnya, Sayang?” tanya Bian.
“Iya tadi kan ada Abang aku. Masa aku ngomong sama dia sambil teleponan?” sahut Ira.
“Ya maksud aku biarin aja teleponnya gak usah dimatiin. Kamu tetep fokus sama Abang kamu,” sahut Bian.
“Jangan, dong. Masa kamu dicuekin. Lagian kamu kayak gitu aja protes, deh. Kayak ciwi-ciwi,” ledek Ira.
Bian jadi terkekeh. “Hehehe, bukan begitu, Sayang. Cuma aku kan masih kangen. Jadi sedh kalau teleponnya diputus begitu aja,” ujar Bian.
“Maaf, ya. Lain kali gak aku matiin, deh,” janji Ira. ‘Iya, gak aku matiin. Tapi aku non aktifkan speakernya, hehe,’ batin Ira.
“Gitu, dong. Masa udah jauh-jauhan, lagi telepon aja mau diputus?” sahut Bian, senang.
Saat ini Bian terlihat begitu bucin pada Ira.
“Ya kan yang diputus cuma teleponnya. Hubungannya mah tetep jalan, dong,” sahut Ira.
Bian langsung belingsatan. “Haduh! Kamu belajar gombal dari siapa, sih? Bikin aku gak sabar pingin pulang ke Jakarta aja, deh,” keluh Bian.
“Dari siapa lagi? Aku tuh kebanyakan gaul sama calon suami. Jadinya begini, deh. Harap maklum, ya!” ujar Ira.
“Emang calon suaminya siapa, sih? Pasti keren banget, ya?” tanya Bian.
“Gak juga, sih,” sahut Ira.
“Kok gak keren?” tanya Bian, lemas. Ia pikir Ira akan memujinya.
“Calon suamiku emang gak keren. Tapi dia itu the best plus the one and only, for me,” jawab Ira.
Rasanya Bian ingin salto saat mendengar ucapan Ira barusan. “Udah cukup, Sayang! Nanti aku bisa diabetes,” ucap Bian.
“Kok diabetes?” tanya Ira.
“Soalnya gulanya kebanyakan. Manis banget, hehehe,” ujar Bian.
Kini gantian Ira yang berguling-guling di atas kasur. Hal itulah yang membuat hubungan mereka semakin dekat. Sehingga Ira tidak rela untuk melepaskan Bian. Ia memilih egois mempertahankan Bian meski tahu Zein tidak menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomansaIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...