“Hah? Gak usah. Aku bisa sendiri, kok,” ucap Ira. Ia tidak nyaman jika harus dijaga oleh pria.
“Yakin kamu berani? Bagaimana jika mereka masih pensaran? Kamu dengan sendiri mereka melarikan diri. Jadi bisa kembali kapan pun,” ucap Bian.
“Dan ketika mereka kembali, bisa saja dokter Ira yang dicari,” timpal anak buah Bian.
“Iiih, kalian kok nakutin aku, sih?” keluh Ira.
“Kami bukan menakuti. Ini hanya peringatan. Aku mau mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan seperti kemarin. Kalau sudah terjadi, siapa yang akan direpotkan?” tanya Bian.
Ia sengaja bicara seperti itu agar Ira mau menerima usulannya.
“Iya, sih. Tapi aku kan wanita, sendirian. Masa dijaga sama cowok? Gantian pula. Aneh banget rasanya,” ucap Ira.
“Aneh gimana? Anggap aja kamu pejabat, jadi harus dikawal!” ucap Bian.
Ira menatap Bian dan menahan langkahnya. “Gak semudah itu aku bisa percaya sama orang. Oke kamu sudah terbukti tidak macam-macam. Tapi bagaimana dengan mereka?” tanya Ira, pelan. Sambil melirik ke arah anak buah Bian.
Kini Bian paham kekhawatiran Ira. “Mereka tidak mungkin melakukan hal itu,” ucap Bian.
“Siapa yang bisa jamin? Mereka semua normal, kan? Bisa aja mereka khilaf. Aku gak bisa,” ucap Ira.
“Tolong mengerti. Keselamatan kamu saat ini sedang terancam, Ira!” ucap Bian. Ia sangat gemas pada Ira sehingga memanggil namanya secara langsung.
“Kalau seperti itu caranya, sama saja kamu menyelamatkan ayam dari kandang singa dengan menyembunyikannya di kandang buaya. Mungkin kamu tidak paham bagaimana rasanya jadi seorang gadis yang tinggal sendirian di wilayah asing,” ucap Ira, kesal.
Bagaimana pun Ira tidak akan bisa tidur jika di luar rumahnya ada lelaki yang berjaga. Bisa saja lelaki itu masuk diam-diam dan melakukan sesuatu padanya.
“Kamu percaya padaku?” tanya Bian sambil menatap Ira.
Ira tidak langsung menjawab. Ia menatap Bian sambil mengatur napas karena lelah berjalan. “Setelah apa yang kita lalui sejak kemarin. Aku percaya,” jawabnya, yakin.
“Oke, kalau begitu aku yang akan berjaga di depan rumahmu. Setiap malam,” jawab Bian. Kemudian ia melanjutkan langkahnya.
“Hah? Kok begitu? Maksud aku bukan begitu. Duh, gimana sih jelasinnya.” Ira jadi bingung sendiri bagaimana cara menejelaskan pada Bian.
Ia tidak bermaksud ingin ditemani oleh Bian seorang diri. Maksudnya Ira ingin ditemani oleh wanita. Namun ucapannya yang mengatakan percaya pada Bian, membuat Bian salah paham.
“Maksud aku bukan berarti kamu yang jagain rumahku,” ucap Ira.
“Tidak ada pilihan lain. Hanya aku yang kamu percaya,” jawab Bian. Ia seolah tak peduli dengan kekhawatiran Ira.
“Tapi memangnya di markas kalian tidak ada prajurit perempuan?” tanya Ira.
“Dokter Ira yang terhormat. Ini perbatasan. Tidak sembarangan orang yang bisa dikirim ke sini. Masih banyak prajurit lelaki. Lalu untuk apa kami mengirim prajurit perempuan?” tanya Bian.
“Ya ... bisa aja buat masak atau apa, kek. Lagian prajurit perempuan juga kan pasti udah terlatih,” jawab Ira, kikuk.
“Tapi di sini tidak ada perempuan. Sebab kondisinya terlalu riskan. Makanya aku heran kenapa lebih banyak dokter perempuan yang dikirim ke sini,” ucap Bian.
“Ya mana aku tau. Tanya aja sana sama yang ngirim!” ucap Ira. Ia tidak mengatakan bahwa yang mengirimnya ke sana adalah ayahnya sendiri.
“Ya sudah, berarti kamu tinggal pilih. Mau aku yang jaga sendirian atau kami semua secara bergantian?” tanya Bian. Ia tidak memberikan pilihan lain.
“Berat, ya?” Ira malah balik bertanya.
Bian mengangkat kedua bahunya. “Begitulah hidup di perbatasan. Semua pilihan serba berat. Bayangkan saja, kemarin aku sedang lapar dan menikmati makanan. Tiba-tiba harus berlari karena ada suara teriakan,” sindir Bian.
Ira memicingkan mata sambil menekuk wajahnya. “Ya maaf. Aku kan gak tau kalau di sini sebahaya itu. Tapi thanks ya, udah mau nyelamatin aku. Padahal selama ini kan kita ....” Ira tidak melanjutkan ucapannya karena Bian memotongnya.
“Sudahlah, itu jangan dibahas. Mungkin waktu itu awalnya memang aku yang salah. Saat kamu bertanya tempo hari, kondisi hatiku sedang tidak baik. Makanya aku sedikit ketus,” jelas Bian.
Ia menyadari kesalahannya yang membuat Ira tiba-tiba marah padanya.
“Wah, syukurlah kalau kamu sadar,” ucap Ira sambil tersenyum.
Bian terkesiap. Ia tidak menyangka Ira akan mengatakan hal seperti itu.
“Iya, aku juga minta maaf. Aku lagi kalut banget waktu itu. Bayangin aja aku yang selama ini tinggal di kota besar, tiba-tiba harus menetap di perbatasan. Mana jalan jauh karena ditinggal sopir. Ditambah kamu jutek, ya udah aku jadi ngamuk. Hehe.”
Ira pun tidak enak hati karena telah memarahi Bian.
“Jadi kita sudah damai?” tanya Bian sambil mengulurkan tangannya.
“Oke! Sepertinya damai lebih indah,” sahut Ira. Ia pun menjabat tangan Bian.
Mereka berdua tersenyum sambil berjabatan tangan dan saling menatap. Mereka seolah lupa di depan sana banyak anak buah Bian.
Ehem! Ehem!
Anak buah Bian pura-pura berdehem untuk menyadarkan mereka. Sebab Ira dan Bian seolah lupa diri, sampai tidak melepaskan jabatan tangannya.
Mereka pun terkesiap dan langsung salah tingkah.
“Anyway, thanks ya waktu itu kamu udah ngobatin aku,” ucap Bian.
Ira tersenyum. “Dont mentions it! Bukannya dulu kamu mau nuntut aku?” ledek Ira.
Bian terkekeh. “Yah, namanya juga lagi kesal. Aku kira kamu sengaja mau nyakitin aku. Tapi ternyata semua memar itu hilang dalam beberapa hari,” jawab Bian.
“Sejahat-jahatnya aku, aku gak mungkin nyelakain pasien sendiri. Sekolah dokter itu gak gampang. Jadi aku pasti akan tetap melaksanakan kode etik kedokteran supaya gelar dokter aku gak dicopot begitu aja!” jelas Ira.
“Iya, percaya. Dan cuma orang pintar yang bisa jadi dokter,” puji Bian.
“Waiya, jelas. Kalau gak pintar, bukannya ngobatin malah ngeracunin,” sahut Ira, bangga.
“Woow, ternyata dokter kita yang satu ini sangat percaya diri, ya?” ledek Bian.
Mereka malah asik berbincang sepanjang jalan. Sampai perjalanan di hutan itu jadi tidak terasa melelahkan bagi mereka.
“Iyalah. Jadi orang itu harus percaya diri. Kalau gak gitu, gimana bisa aku ngadepin pasien dalam kondisi kritis?” sahut Ira.
“Betul-betul. Tapi kamu hebat. Masih muda udah jadi dokter. Katanya kamu lagi ngerjain thesis, ya?” tanya Bian.
Ira langsung memicingkan matanya ke arah Bian. “Kok tau? Kamu stalking, ya?” ledek Ira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...