“Eh, kamu mau ngapain?” tanya Ira. Ia sedikit panik saat Bian hendak menjawab teleponnya. Sedangkan Bian negangkat tangannya, seraya meminta Ira untuk diam.
“Iranya lagi ke toilet. Saya calon suaminya. Ini siapa, ya?” tanya Bian. Padahal ia tidak ditanya siapa dirinya.
Arga pun langsung salah tingkah saat mendengar kata calon suami. “Oh, saya teman kerjanya. Ya sudah kalau dokter Ira-nya tidak bisa menjawab telepon, nanti saya hubungi lagi,” ucap Arga.
Ia jadi tidak enak hati pada Bian. Sehingga Arga ingin segera mengakhiri panggilannya.
“Kalau ada yang ingin disampaikan katakan saja! Nanti biar saya sampaikan ke calon istri saya,” ujar Bian.
“Tidak perlu, biar nanti saja. Terima kasih,” ucap Arga. Ia pun langsung memutuskan panggilannya. Sebab ia tidak ingin Bian semakin mengintrogasinya.
“Nih!” ucap Bian tanpa dosa, sambil memberikan ponsel Ira.
“Kamu ngapain begitu, sih? Norak banget, deh!” tegur Ira. Ia kesal melihat sikap Bian seperti itu.
“Aku cuma mau melindungi calon istriku, supaya gak ditikung pria lain,” jawab Bian. Kemudian ia menggandeng tangan Ira dan melanjutkan jalannya.
Mendengar ucapan Bian, Ira pun tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya tersenyum karena dengan begitu artinya Bian memang mencintainya.
“Kamu mau makan apa?” tanya Bian.
Apa aja deh yang ada. Udah lapar banget soalnya, hehe,” sahut Ira.
“Oh, ya udah kita makan di situ aja, ya?” ajak Bian sambil menunjuk salah satu resto yang ada di bandara.
Mereka pun menuju resto tersebut. Kemudian memesan makanan dan kembali berbincang.
“Tadi dokter Arga nelepon mau ngapain?” tanya Ira.
Bian langsung menatap Ira. “Kenapa? Apa kamu menyesal karena aku yang jawab? Kamu penasaran sama dia?” tuduh Bian.
“Isshh, bukan begitu! Aku cuma pingin tau aja. Siapa tau ada yang penting, kan?” keluh Ira.
“Gak ada yang penting. Kayaknya dia emang cuma mau ganggu kamu aja,” sahut Bian, santai.
“Kamu, nih! Ngomongnya sembarangan banget, deh! Gak mungkinlah. Pasti ada sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan,” jawab Ira. Ia tidak ingin Bian nethink pada Arga.
“Sayang, aku ini lelaki. Aku sudah hafal betul modus seperti itu. Kalau ada perlu, kan bisa dibahas besok,” ucap Bian, kesal.
Ira tersenyum. “Kamu paham karena suka begitu, ya? Kamu suka modus, kan?” tuduh Ira.
“Kok jadi aku? Udah deh, kamu gak usah ngalihin pembicaraan! Kita itu kan lagi bahas dokter itu,” ucap Bian, kesal. Ia tidak ingin menyebut nama dokter tersebut.
“Ya lagian kamu gak jelas banget. Orang cuma telepon aja, kok. Emang kamu gak pernah dihubungin sama temen kerja di luar jam kerja kamu?” sahut Ira.
Ia sebal karena Bian over posesif padanya.
“Enggak, tuh!” sahut Bian, yakin.
“Masaa?” ledek Ira.
“Beneran. Gak pernah. Temen aku mah tau waktu, lagian urusan pekerjaan ya dibahas pas lagi kerja aja! Ngapain bahas di luar jam kerja?” ucap Bian, yakin.
Dalam beberapa detik kemudian, ponsel Bian berdering.
Kring-kring!
Ira langsung memicingkan matanya ke arah Bian. “Siapa?” tanyanya, saat Bian melihat ponselnya.
Gluk!
Bian menelan saliva. Sebab kebetulan teman Bian yang menghubunginya kala itu.
“Sebentar!” ucap Bian. Kemudian ia berdiri dan mencari tempat sepi untuk menerima telepon itu.
Ia tidak ingin Ira tahu bahwa dirinya pun menerima panggilan mengenai pekerjaan di luar jam kerja. Bian sangat gengsi dan malu jika Ira mengetahui hal itu.
“Oke, nanti saya infokan jika sudah sampai di markas,” ucap Bian setelah bicara panjang lebar dengan rekan kerjanya itu. Kemudian ia memutus sambungannya, lalu balik badan.
Deg!
Bian terperanjat kala melihat Ira berdiri di belakangnya. “Astaga! Kamu bikin kaget aja!” ucap Bian sambil mengelus dadanya.
“Kaget kenapa?” tanya Ira dengan tampang meledek.
“Ya kamu malah berdiri di situ tanpa suara. Aku kira gak ada orang. Lagian kamu dari kapan ada di situ?” tanya Bian.
“Itu gak penting. Yang penting aku udah tau sesuatu,” ucap Ira. Kemudian ia balik badan sambil tersenyum.
“Tau apa?” Bian sangat pensaran. Ia pun membuntuti Ira.
“Gak apa-apa,” jawab Ira, lalu ia kembali duduk di mejanya.
“Kamu nih sukanya bikin aku penasaran! Tau apa, sih?” tanya Bian lagi.
“Yakin mau tau? Nanti nyesel, lho,” ledek Ira.
“Udah deh, kamu gak usah ngeledek!”
Ira malah terkekeh melihat Bian malu. “Makanya jadi orang jangan suka ngomong sembarangan. Bilangnya profesional, gak ada telepon di luar jam kerja. Terus itu apa, hem?” tanya Ira, gemas.
“Tapi kan temen aku mah cowok,” ucap Bian.
“Aku juga cowok,” sahut Ira.
“Ck! Kamu bandel banget dibilagin. Kamu kan calon istri aku, masa seenaknya teleponan sama cowok. Kalau temen kamu cewek juga aku gak akan protes,” keluh Bian sambil mencubit pipi Ira.
“Bi! Kamu jangan lebay, deh! Maaf, ya. Ini kita belum nikah, lho. Gimana kalau udah nikah nanti? Bisa-bisa aku dikerangkeng sama kamu!” ucap Ira, kesal.
Bian seperti itu karena ia masih trauma ditinggal oleh Intan. Ia tidak ingin kejadian seperti dulu terulang. Sehingga Bian berusaha betul menjaga Ira agar tidak diambil oleh pria lain.
“Gimana kalau kita nikah besok aja?” tanya Bian. Ia sudah tidak ingin berdebat lagi.
“Ngaco kamu! Mana bisa begitu? Nikah itu kan butuh banyak persiapan,” sahut Ira. Ia tidak ingin terburu-buru seperti itu.
Bian menatap Ira. “Kamu cinta sama aku gak, sih?” tanyanya. Tampang Bian memelas.
Ira mengerutkan keningnya. “Kamu kok jadi kayak anak kecil si, Bi? Pake ditanya lagi. Kalau gak cinta, ngapain aku pulang kerja capek, terus terbang ke sini?” Ira semakin kesal.
Bian menghela napas. Ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Sebenarnya Bian tidak ingin seperti itu. Namun rasa takut kehilangan itu masih sangat besar.
“Maaf ya, Ra. Aku cuma takut kehilangan kamu,” ucap Bian, serius.
Ira jadi bingung melihat Bian yang tiba-tiba serius seperti itu.
“Bi! Yang punya hubungan jarak jauh itu bukan kita aja. Banyak kok pasangan lain yang sukses. Jadi semua tergantung ke kitanya, kalau kita gak bisa saling percaya atau ada keraguan, itu gak akan bisa berhasil, Bi,” jelas Ira.
Bian menggenggam tangan Ira. “Maaf, ya. Aku emang kekanakan,” ucapnya. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Bian menyesal karena telah membuat Ira tidak nyaman.
Ia khawatir jika dirinya berkata lagi, nanti Ira malah tambah illfeel padanya. Namun, sikapnya yang seperti itu justru membuat Ira bingung.
‘Haduh, dia kenapa lagi, sih? Aku pacaran sama tentara, komandan pula. Tapi kok berasa kayak ngasuh anak TK?’ batin Ira. Ia lupa bahwa Bian pernah ditikung oleh kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...