Ting!
Saat Ira sedang sibuk dengan pekerjaannya, ponselnya berbunyi. Ada notifikasi pesan singkat masuk.
Ira pun mengecek notifikasi tersebut. ‘Mau ngapain, di?’ batin Ira, saat melihat pesan tersebut dari Bian. Lalu Ira pun membacanya.
Ira pikir isi pesannya akan sama seperti sebelumnya. Sebab sebelumnya Bian telah mengirimkan banyak pesan karena Ira sedang merajuk.
Namun ternyata Ira salah. Isi pesan kali ini berbeda. Bian mengabarkan bahwa markasnya diserang dan ia meminta doa dari Ira.
Ira mengerutkan keningnya. “Apa iya? Atau dia cuma pura-pura biar aku balas pesannya?” gumam Ira.
Akhirnya Ira mengabaikan pesan tersebut. Ia pikir Bian hanya sedang cari perhatian. “Dasar, kayak anak kecil aja, caper,” gumam Ira.
Bian terlalu sering bercanda. Sehingga Ira pikir kali ini pun Bian sedang bercanda. Saat masih tinggal di Timur pun Bian sering mengerjai Ira.
Ira melakukan aktifitasnya seperti biasa. Hingga sore hari Ira sudah selesai bekerja. Ia pun pamit pada Arga dan pergi ke ruangan papahnya untuk istirahat.
“Kok dia gak ada chat lagi, ya?” gumam Ira. Ia bingung karena Bian masih belum mengirimkan pesan padanya.
“Apa dia ngambek?” tanyanya. Namun Ira belum bisa menghubungi Bian karena ia harus berpamitan pada papahnya dulu.
Ira pun melanjutkan pergi ke ruangan papahnya. Kemudian ia berpamitan. “Pah, aku udah selesai. Mau pulang sekarang, boleh kan?” tanya Ira.
“Boleh, dong. Kan udah selesai. Kecuali kalau kerjanya belum selesai, baru Papah larang,” sahut Muh.
“Ya udah, aku pulang ya, Pah. Assalamualaikum,” ucap Ira.
“Waalaikumsalam.” Muh heran karena Ira berbeda. Biasanya Ira akan bercanda lebih dulu dengan Muh. Namun kali ini ia terlihat begitu serius.
Sementara itu, setibanya di mobil Ira langsung berusaha menghubungi Bian. Harusnya jam segini di sana udah habis maghrib,” ucap Ira. Ia pun melakukan panggilan ke nomor telepon Bian.
Ira mengerutkan keningnya kala panggilannya tak dijawab oleh Bian. Sudah beberapa kali Ira berusaha melakukan panggilan, tetapi Bian masih belum menjawabnya.
“Kok gak dijawab, ya?” gumam Ira. Ia bingung karena tidak biasanya Bian seperti itu. Bian tidak pernah marah sampai menghilang tanpa kabar.
Namun Ira pantang menyerah. Ia masih terus berusaha menghubungi Bian. Hingga akhirnya panggilan tersebut dijawab.
“Halo, Bi. Kamu kemana aja, sih? Kenapa gak jawab telepon aku?” tanya Ira. Suaranya terdengar panik.
“Selamat malam, Dok!” ucap anak buah Bian yang menjawab panggilan tersebut.
Deg!
Ira langsung mengecek ponselnya dan benar itu adalah nomor Bian. Ia bingung mengapa bukan Bian yang menjawab.
“I-ini siapa, ya?” tanya Ira, gugup.
“Saya anak buah Komandan Fabian. Saat ini Komandan sedang tidak bisa menjawab panggilan karena beliau tertembak,” jawab anak buah Bian.
Deg!
Jantung Ira terasa hampir lepas. Ia sangat terkejut mendengar berita itu. “K-kenapa bisa seperti itu?” tanya Ira gugup.
“Saat sedang latihan tadi markas kami diserang. Beruntung kami berhasil melakukan pertahanan. Namun Komandan yang kurang berkonsentrasi itu tertembak,” jelas anak buah Bian.
“Sekarang Bian ada di mana?” tanya Ira, cepat. Ia tidak bisa memikirkan apa pun selain menyusul Bian. Di mana pun dia berada.
“Saat ini kami sedang berada di rumah sakit yang ada di Surabaya. Sebab peralatan di rumah sakit sana kurang lengkap. Tadi Komandan sudah dioperasi. Namun Jendral meminta agar dilakukan pemeriksaan lanjutan,” jelas anak buah Bian.
Saat tertembak, Bian langsung dilarikan ke pusat kota. Sebelumya dokter yang ada di perbatasan telah memberikan pertolongan pertama terhadap Bian.
Kala itu posisi pelurunya cukup dalam. Sehingga tidak bisa diambil hanya dengan operasi kecil dan peralatan seadanya.
Selesai operasi tadi, Bian dijemput oleh pesawat jet. Kemudian ia dan beberapa anak buahnya terbang ke Surabaya.
Sebagai komandan sekaligus anak Jendral, orang tua Bian tidak ingin terjadi sesuatu yang fatal terhadap anaknya. Sehingga mereka meminta agar Bian dicek secara menyeluruh.
“Oke! Tolong kamu kirim alamat rumah sakit dan kamarnya segera! Saya akan ke sana, sekarang!” ucap Ira, cepat. Kemudian ia memutus sambungan teleponnya.
“Astaghfirullah, Bi. Maafin aku, kenapa tadi aku malah nyuekin kamu?” lirih Ira.
Ia merasa sangat bersalah karena telah mengabaikan Bian. “Kamu bercanda mulu, sih. Kan aku jadi gak percaya pas kamu lagi serius!” keluh Ira. Ia bahkan tidak sempat pulang lebih dulu. Ira langsung menuju ke bandara.
Dalam situasi seperti ini, Ira tidak ingin membuang waktu. Ia khawatir akan menyesal jika telat sampai ke sana.
Setibanya di bandara, Ira langsung memesan tiket pesawat tercepat. Ia bahkan tidak peduli dengan penampilannya. Ira pun lupa melepas sneli yang ia kenakan karena sejak keluar ruangan tadi Ira sudah gelisah.
“Oke, terima kasih,” ucap Ira saat mendapatkan tiket yang ia butuhkan.
Setelah itu Ira pun langsung melakukan chek in dan boarding. Sebab pesawat yang ia pesan memang sudah hampir take off.
“Bismillah,” gumam Ira saat sudah berhasil duduk di dalam pesawat. Ia bahkan membeli tiket bisnis karena hanya itu yang tersedia. Tentu saja harganya pun tidak murah.
Sebelumnya Ira sudah mengabari mamahnya bahwa hari ini ia ada urusan penting. Sehingga kemungkinan Ira akan pulang terlambat. Atau bahkan tidak pulang.
Sepanjang jalan Ira sangat gelisah. Ia memikirkan bagaimana kondisi kekasihnya itu. “Ya Tuhan, selamatkan dia. Aku sangat mencintainya, mohon izinkan kami untuk bahagia,” lirih Ira, sambil menatap ke luar jendela.
Saat pesawatnya mendarat, Ira pun bergegas turun dan mencari taksi. Tak lupa ia menyalakan ponsel untuk melihat alamat rumah sakit yang dikirim oleh anak buah Bian.
“Pak, tolong ke rumah sakit ini, ya!” ucap Ira sambil menunjukkan ponselnya pada sopir tersebut.
Taksi pun mengantarnya ke sana. Sambil di jalan, Ira berusaha menghubungi nomor ponsel Bian lagi.
“Kenapa gak dijawab, sih?” gumam Ira, kesal. Ia hanya ingin mendengar bahwa Bian masih aman. Namun panggilannya malah tidak dijawab.
“Pak, bisa lebih cepat gak, Pak?” tanya Ira pada sopir.
“Iya ini sudah cepat, Non. Tapi jalanannya memang sedang ramai,” jawab sopir.
Akhirnya Ira hanya bisa pasrah sambil berusaha menenangkan hatinya yang gelisah.
Beberapa saat kemudian, ia sudah tiba di lobby rumah sakit. Ira pun segera turun dan mencari ruangan yang disebutkan oleh anak buah Bian.
Berhubung ini kali pertama Ira ke tempat itu, ia sedikit kebingungan. Akhirnya Ira bertanya pada staf rumah sakit yang ia temui.
“Maaf, Mas. Kalau ruangan Teratai 5 ada di mana, ya?” tanya Ira, gugup.
Staf pun menjawab dan memberikan arahan. Namun ia bingung karena Ira berpakaian seperti dokter. Sehingga ia pikir Ira adalah salah satu dokter rumah sakit itu. Sebab ia merupakan staf baru.
“Oke, terima kasih,” jawab Ira, setelah mendapat jawaban.
Ira pun langsung berlari menuju ruangan tersebut.
Beberapa saat kemudian, Ira sudah tiba di depan ruangan Bian. Dengan napas terengah-engah, Ira mengetuk pintu ruangan itu dan membukanya.
Ceklek!
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomansaIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...