Ira terkesiap. Ia tidak menyangka Bian akan mengatakan hal seperti itu. Sebagai seorang gadis, tentu itu sangat menakutkan baginya.
"He he he he, bercanda kali. Serius banget, deh. Gak mungkinlah aku berani kayak gitu," ucap Bian sambil terkekeh. Ia merasa ekspresi Ira saat itu sangat menggemaskan.
Ira pun akhirnya tertawa. "Ya abisnya kamu ngomong kayak gitu. Aku jadi shock," jawabnya jujur. Ia tidak menampik bahwa hal seperti itu cukum membuatnya terkejut.
"Emang kamu pikir aku berani? Enggaklah. Kalau aku mau macam-macam, kemarin pas di hutan pasti aku udah ...." Bian tidak melanjutkan ucapannya karena Ira memotongnya.
Ira langsung menyelak ucapan Bian. "Iya, iya aku percaya. Enggak usah dilanjutin!" ucapnya. ia tidak ingin Bian mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya ia dengar.
"Syukurlah kalau kamu percaya." Bian senang karena Ira tidak menuduhnya macam-macam lagi.
"Tapi kira-kira sampai kapan kamu bakalan jagain rumah aku kayak gitu?" tanya Ira. Ia tidak tega jika Bian harus tidur di sana setiap malam.
"Sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Kecuali rumah dinas kamu dipindahkan ke wilayah yang lebih ramai," jawab Bian.
Ira terdiam sejenak. "Tapi aku kan seenggaknya di sini sampai tahun depan. Masa iya kamu tidur di tenda selama setahun?" tanya Ira lagi.
"Itu bukan hal aneh lagi. Jangankan tidur di tenda. Tidur di pohon aja aku udah pernah," jawab Bian.
Bagi seorang komandan seperti Bian. Sudah pasti ia pernah mengalami berbagai hal sulit. Bahkan saat pelatihan saja, ia sudah dilatih dengan berbagai macam rintangan. Agar ia kuat menghadapi situasi pelik seperti itu.
"Iya, sih. Cuma aku gak tega aja, hehe," ucap Ira.
"Kalau kamu gak tega, paling solusinya ya kamu harus mau dijaga sama anak buahku," ucap Bian.
Ira langsung menoleh ke arah Bian. "Yah, aku belum percaya sama mereka. Lebih baik sendiri dari pada ada pria asing di depan rumahku," jawab Ira.
Bukan berarti ia hanya ingin dijaga oleh Bian. Namun saat ini hanya Bian yang ia percaya.
"Ya udah, kalau begitu berarti kamu gak perlu khawatirin aku. Kan percuma juga khawatir tapi tetep gak ada solusi?" ujar Bian.
Ira jadi tidak enak hati pada Bian. "Maaf ya, tapi aku beneran, deh. Kalau emang kamu keberatan. Mending gak usah dijagain aja! Aku gak apa-apa, kok. inysaaAllah mereka gak akan datang lagi," ucap Ira, sambil menggerak-gerakkan kedua tangan, seraya mengatakan tidak.
Bian langsung menangkap tangan itu dan menggenggamnya secara refleks.
Greb!
Deg!
Jantung Ira berdebar kala tangannya digenggam oleh Bian.
"Udah, lebih baik jangan banyak protes! Aku yang lebih paham bagaiman situasi di wilayah ini," ucap Bian sambil menatap Ira.
Ira mematung sambil menelan salivanya. Ia pun menahan napas. Berada dalam situasi seperti itu, tentu saja ia sangat canggung.
"Eh, maaf. Aku refleks," ucap Bian, saat menyadari hal itu. Ia pun langsung melepaskan genggaman tangannya.
"Iya," sahut Ira. Ia salah tingkah dan langsung memalingkan wajah.
Sepanjang jalan, mereka jadi sama-sama diam karena kejadian barusan. Bian pun bingung hendak biacara apa lagi.
Saat tiba di pertigaan mereka harus berpisah karena tujuan Biyan masih lurus. Sedangkan Ira harus berbelok.
"Udah sampe sini aja, enggak apa. Kan udah kelihatan kliniknya," ucap Ira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomansaIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...