10. Menghangatkan Tubuh

17.1K 1K 29
                                    

‘Ternyata dia baik juga, ya? Kalau lagi begini, gak nyebelin lagi. Malah kelihatan ganteng,’ batin Ira.

Beberapa detik kemudian, Ira pun terkesiap. “Iih, mikir apa sih gue?” gumam Ira, pelan.

“Kenapa?” tanya Bian yang mendengar gumaman Ira, samar.

“Eh, gak apa-apa,” jawab Ira, kikuk. “Susah, ya?” tanyanya.

“Iya, sepertinya kayunya sudah lama dingin. Jadi agak susah. Untuk menyalakan api harus menggunakan kayu kering,” jawab Bian. Meski begitu ia masih tetap berusaha.

“Kalau susah jangan dipaksa! Dari pada kamu buang tenaga. Apalagi tadi kamu abis gendong aku. Pasti capek, kan?” tanya Ira.

“Tapi kita bisa kedinginan kalau gak ada api,” sahut Bian.

“Emang kamu yakin apinya bisa nyala?” tanya Ira lagi.

Bian mengembuskan napas. Ia sendiri memang tidak yakin bahwa apinya akan menyala.

“Kalau gak yakin, lebih baik simpan tenaga kamu! Dari pada udah capek terus gak nyala juga. Mending istirahat!” ujar Ira.

“Kamu mau tidur?” tanya Bian.

Ira terkesiap. “Enggak!” jawabnya, cepat. Mendengar kata ‘tidur’ membuat pikiran Ira ke mana-mana.

“Kalau mau tidur gak apa-apa, biar aku jagain!” ucap Bian.

“Enggaklah. Mana bisa aku tidur di tempat kayak gini. Cuma berdua sama cowok pula,” sahut Ira, jujur.

Bian tersenyum. “Kamu takut aku macam-macam?” tebak Bian. Ia beranjak dan duduk di sebelah Ira.

“B-bukan begitu maksudnya. Ya, pokoknya gak nyaman aja,” sahut Ira, gugup.

“Aku gak akan maksa kamu untuk percaya sama aku. Tapi sebagai komandan prajurit, aku tidak mungkin melakukan tindakan asusila yang dapat mencoreng namaku sendiri serta nama instansi,” ucap Bian.

“Iya, maaf,” lirih Ira. Ia sedikit percaya pada Bian. Namun tetap saja dirinya tidak akan bisa tidur di tempat seperti itu.

Jleger!

Ira terperanjat saat mendengar suara petir. “Aaa!” pekiknya. Ia terlihat sangat ketakutan. Bahkan Ira mencengkeram lengan baju Bian dengan sangat kuat.

“Kamu takut petir?” tanya Bian.

Ira mengangguk cepat. “Aku pingin pulang, huhuhu,” rengek Ira. Saat ini ia terlihat seperti anak kecil.

Berada di tengah hutan dalam kondisi hujan, gelap dan sepi. Tentu saja Ira ketakutan. Ditambah ada petir yang bersahutan, membuat suasana malam itu semakin mencekam.

Bian pun bingung. Ia ingin menenangkan Ira, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. “Anak buahku akan menjemput kita. Kamu jangan khawatir! Kita bertahan sebentar lagi, ya?” pinta Bian.

“Tapi ini sangat menakutkan. Aku gak sanggup kalau terlalu lama di sini,” rengek Ira.

“Mana dokter galak yang sebelumnya aku kenal? Aku pikir kamu wanita tangguh. Tapi ternyata cengeng,” cibir Bian. Ia sengaja memancing emosi Ira agar gadis itu berani. Namun ternyata hal itu tidak berhasil.

“Terserah kamu mau bilang apa. Yang pasti aku mau pulang!” ucap Ira, kesal.

Huuh!

Bian pusing menghadapi situasi seperti ini. “Kalau kamu takut, sini biar aku peluk!” usul Bian.

“Kamu jangan cari kesempatan, ya!” bentak Ira.

“Aku hanya menawarkan solusi. Berpelukan dalam kondisi dingin dan menakutkan seperti ini akan mengurangi rasa gelisah. Tapi kalau kamu mikirnya ke hal yang kotor, ya terserah!” ucap Bian, kesal.

Ira terdiam. Saat ini ia memang sedang membutuhkan sebuah pelukan hangat. Supaya hatinya bisa lebih tenang.

“Tapi janji gak akan macam-macam!” ancam Ira.

“Saat ini kita sedang berusaha bertahan hidup. Mana sempat aku memikirkan hal lain?” sahut Bian.

“Ya udah, iya!” jawab Ira, ketus.

Mendengar jawaban Ira, mereka pun jadi sama-sama canggung. “S-sini!” ucap Bian sambil mengulurkan tangannya. Ira pun mendekat perlahan dan membiarkan Bian memeluk tubuhnya.

“Apakah lebih hangat?” tanya Bian.

Ira mengangguk perlahan. Kemudian ia menyandarkan kepalanya di bahu Bian.

“Saat ini tidak ada api, jadi hanya ini cara satu-satunya agar kita tidak kedinginan. Semoga cuacanya tidak semakin dingin,” ucap Bian.

Sebenarnya mereka sama-sama risih. Namun mereka tidak memiliki pilihan lain. Sehingga harus bertahan dalam posisi seperti itu.

Anak buah Bian pun belum ada yang kembali. Kondisi hujan deras membuat mereka mengurungkan niatnya untuk menjemput Bian. Sebab, terlalu berisiko masuk ke hutan dalam kondisi seperti itu.

Semakin lama, Ira pun mulai terlelap. Ia merasa hangat dan nyaman, meski masih ada sebagian tubuhnya yang merasa dingin. Tetapi pelukan Bian sudah cukup menenangkan hatinya.

“Hem, katanya gak bisa tidur,” gumam Bian. Ia pun sudah mulai mengantuk. Pelukannya semakin erat karena udara di sana semakin dingin.

“Huuh! Dingin banget,” gumam Bian sambil menggigil.

Bian tak memiliki pilihan lain. Akhirnya ia merebahkan tubuh mereka berdua dan mendekap Ira dari belakang. “Maaf,” lirih Bian dengen suara gemetar.

Berada di tengah hutan berdua malam-malam dalam kondisi hujan. Hanya pelukanlah yang bisa dilakukan agar tubuh mereka tetap hangat. Bahkan jika dalam kondisi hipotermia, seharusnya mereka berpelukan skin to skin.

Akan tetapi Bian tidak mungkin melakukan hal itu dengan lawan jenisnya. Seandainya ada orang lain, Bian pasti akan memilih melakukannya dengan sesama pria. Sebab, melakukan skin to skin dengan wanita pasti akan mengundang syahwat.

Ia yang sedang menggigil tidak sempat memikirkan hal kotor. Saat ini yang ada dipikirannya hanyalah antara hidup dan mati.

Sesekali ia pun mengecek kondisi Ira. Ia khawatir Ira hipotermia karena kedinginan. Apalagi kondisi perut mereka sama-sama kosong. Terakhir kali makan tadi siang. Itu pun tidak habis.

“Ya Allah, selamatkanlah kami,” lirih Bian. “Semoga Allah mengampuni dosaku. Aku melakukan hal ini hanya demi bertahan hidup,” ucap Bian. Lama kelamaan, Bian pun terlelap. Ia sudah sangat kelelahan. Sehingga tidak bisa terjaga lagi. Bahkan Bian lupa belum melaksanakan shalat.

Beruntung mereka berhasil melewati malam. Hingga pagi hari pun tiba.

“Iisshh,” desis Ira saat membuka matanya. Ia bangun lebih dulu karena semalam tidur lebih awal.

Ira terperanjat kala melihat ada tangan dan kaki yang melingkar di tubuhnya. “Hah?”

Kemudian ia menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya Ira melihat Bian sedang terlelap di belakangnya. “Aaaaa!” pekik Ira.

Bian yang sedang terlelap itu pun langsung terperanjat. “Ada apa?” tanyanya, cepat.

“Kamu ngapain tidur di belakang aku?” tanya Ira sambil mengecek kondisi tubuhnya, panik.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang