Bian tersenyum mendengar pertanyaan Ira. Ia senang karena Ira cemburu. “Iyalah, emang mau lewat mana lagi?” sahut Bian.
“Lagian ngapain sih tiap lari lewat situ terus? Emang gak ada rute lain, apa?” keluh Ira. Ia sebal karena mereka selalu melewati rumah dokter. Artinya mereka selalu bertemu dengan dokter yang tinggal di sana.
“Ya terus mau lewat mana, Sayang? Lewat hutan? Jadi tracking dong bukan joging,” canda Bian.
“Kamu nih nyebelin banget. Bukan nenangin aku malah sengaja bikin aku kesel,” ucap Ira, ketus.
“Hehehe, gimana? Padahal aku cuma lewat aja kamu udah kesel. Apalagi aku, kamu makan berdua dan teleponku diputus begitu aja,” skak Bian.
Ira langsung terdiam. Ia jadi tidak enak hati karena apa yang ia lakukan lebih kejam dari pada Bian.
“Hehehe, maaf. Ya udah satu sama. Tapi kamu jangan nakal, dong! Aku gak mau ya kalau kamu deket-deket sama dia!” ancam Ira.
“Udah kamu tenang aja! Aku gak mungkin pindah ke lain hati, kok. Kan hatinya udah dipantek sama kamu,” ucap Bian, gombal.
“Dasar, gombal!” cibir Ira.
“Tapi kalau kamu gak mau aku deket sama dia, kamu jangan pernah bikin aku sakit, ya!” ucap Bian.
“Maksudnya? Apa hubungannya sama dia?” tanya Ira.
“Kalau aku sakit kan pasti dia yang ngerawat,” canda Bian.
“Oh! Kamu berani kayak gitu. Ya udah, aku gak masalah. Silakan aja kamu deket-deket! Aku bisa kok nyari cowok lain di sini!” skak Ira. Ia paling tidak suka diancam seperti itu.
Ira pun langsung memutuskan sambungan teleponnya. Sontak saja Bian langsung kelabakan dibuatnya.
“Waduh! Kenapa jadi ngambek gini? Aku kan cuma bercanda,” gumam Bian. Dengan panik Bian berusaha menghubungi Ira kembali. Ia khawatir Ira benar-benar akan mencari pria lain.
Namun, Ira yang masih kesal pada Bian itu mengabaikannya. Ia ingin memberikan sedikit hukuman untuk Bian.
Akhirnya Bian membombardir Ira dengan begitu banyak pesan singkat. Ia memohon pada Ira untuk menjawab teleponnya.
Ting! Ting! Ting!
Bian: Sayang, aku cuma bercana.
Bian: Kamu jangan marah, dong!
Bian: Tolong jawab pesan aku!
Bian: Sayang, aku gak bisa dicuekin begitu. Kamu tega sama aku?
Bian: Sayang!
Bian: I love you.
Bian: Humaira, balas pesan aku!
Bian: Kamu tega ya bikin aku stress kayak gini. Awas kalau kamu berani deket sama cowok lain!Akhirnya Bian tidak mengirim pesan lagi. Sebab saat ini ia sudah harus latihan. Bian yang sedang galau itu pun latihan dengan lesu.
“Siang, Ndan!” sapa anak buah Bian saat Bian masuk ke lapangan.
“Siang!” sahut Bian, datar.
Anak buah Bian bingung karena kali ini Bian tidak seperti biasanya. Sejak kasmaran, Bian selalu bersemangat untuk latihan.
“Komandan kenapa?” bisik anak buah Bian, pada temannya.
“Entahlah. Biasanya gak begitu.”
“Itu dia. Apa berantem gara-gara kita tadi?”
Mereka pun saling menatap.
“Waduh, bahaya, nih. Kalau berantem gara-gara kita, berarti ....” Belum selesai mereka bicara, tebakkan mereka pun sudah menjadi kenyataan.
Bian langsung memanggil mereka satu per satu dan memberikan hukuman berat. Sebab Bian merasa semua itu berawal karena ulah mereka.
“Siang ini kita akan latihan ekstra! Saya harap jangan ada yang main-main. Paham!” teriak Bian.
“Paham, Komandan!” sahut mereka semua.
Benar saja, Bian marah pada mereka. Sehingga Bian memutuskan untuk latihan ekstra. Artinya siang ini tenaga mereka akan terkuras.
“Belum lama ini pemberontak itu mulai berani menampakkan diri dengan menculik warga sipil. Jadi kita harus latihan perang agar siap ketika menghadapi situasi tak terduga nanti. Mengerti?” teriak Bian lagi.
“Mengerti!” sahut mereka.
“Oke! Bagi team kalian menjadi dua regu. Regu yang mampu bertahan, maka itu pemenangnya. Yang kalah akan mendapat hukuman dari saya!” ujar Bian.
‘Waduh!’
Mereka langsung gelisah karena yakin pasti hukumannya bukan main-main. Akhirnya siang itu mereka latihan dengan serius. Sebab tidak ada satu pun yang ingin kalah dan mendapatkan hukuman.
Latihan simulasi perang pun terjadi dengan cukup alot. Bahkan mereka sudah seperti pasukan yang sedang perang sungguhan. Mereka menggunakan alat seperti alat paint ball. Namun peluru yang digunakan adalah peluru karet.
Meskipun terbuat dari karet, tetapi impact-nya cukup kuat. Sehingga target akan merasa sakit jika terkena peluru tersebut.
Padahal biasanya mereka latihan tanpa mengenakan peluru. Namun Bian yang sedang marah itu melakukannya karena ingin menghukum mereka.
“Mulai!” pekik Bian.
Mereka pun berpencar dan mulai berperang. Tidak ada satu pun yang ingin terkena peluru. Sebab pasti rasanya akan sakit dan mungkin meninggalkan bekas. Namun mereka pun tidak ada yang mau mengalah karena harus menang.
Sementara itu, Bian memperhatikan mereka dari atas. Sehingga ia bisa melihat semuanya.
Saat Bian sedang berdiri di atas, ia melihat ada pergerakan yang tidak biasa dari luar markas. Instingnya yang begitu kuat pun dapat menyadari bahwa ada yang hendak menyerang mereka.
“Latihan selesai! Kita bersiap untuk menyambut tamu yang datang!” ucap Bian melalui microphone yang terhubung ke earphone anak buahnya semua.
Mereka paham tamu yang dimaksud. Itu adalah kode dari Bian. Sehingga mereka pun langsung berlari mengambil senjata asli dan bersiap untuk ‘menyambut tamu’ tersebut.
Bian turun dan bergabung dengan anak buahnya. Kemudian ia memberikan arahan kepada mereka semua di ruang senjata. Ia menggunakan strategi untuk mengalahkan musuh, dengan cara pura-pura tidak mengetahui kehadiran mereka.
“Bisa dimengerti?” tanya Bian setelah menjelaskannya.
“Siap, mengerti!” sahut mereka semua.
“Oke! Berpencar semua!” ucap Bian, tegas.
Mereka pun berpencar dan bersembunyi di setiap sudut markas. Sementara Bian pura-pura bersantai di ruang office markas tersebut.
Seluruh pasukan yang ada di sana pun telah diberikan informasi. Sehingga mereka semua bersiaga.
Saat kondisi sedang hening. Tiba-tiba terdengar suara ledakan senjata.
Dor!
Ternyata penyerang itu langsung menyerang mereka dengan bar-bar. Mereka adalah kelompok mafia yang tempo hari pernah diserang oleh pasukan Bian.
Mereka datang untuk membalas dendam karena ulah Bian itu telah menyebabkan kerugian bagi mereka.
Sebab, setelah kejadian perang di tengah hutan itu, pasukan Bian kembali ke sana untuk menyita seluruh barang ilegal yang diselundupkan oleh mereka. Sehingga bos besar mereka sangat murka dan meminta mereka untuk menangkap Bian.
Anak buah Bian yang awalnya bersembunyi pun langsung menghalau mereka. Sehingga baku tembak terjadi di siang itu.
Sebelum keluar dari office, Bian mengirimkan sebuah pesan pada Ira.
Bian: Sayang, doakan aku. Markas kami diserang. Semoga kami bisa menang dan selamat.
Pesan terkirim.

KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomansIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...