Saat Ira menoleh, Bian terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tetapi ia yang hendak mengatakan sesuatu itu begitu sulit mengucapkannya.
‘Astaga, kenapa sulit sekali? Lidahku terasa kelu,’ batin Bian. Ia merasa seperti orang bodoh. Sebab dirinya tak mampu mengatakan cinta pada Ira. Mulutnya hanya bergerak-gerak tanpa bisa mengeluarkan suara.
Ira mengangkat kedua alisnya. “Apa?” tanyanya lagi. Ia bingung karena Bian seperti orang gagap.
Bian sudah tidak sanggup menahannya lagi. Jantungnya terasa hampir meledak karena debarannya begitu kencang. Mengatakannya pun tak bisa. Sehingga Bian langsung megungkapkannya dengan sebuah tindakan yang cukup ekstrem.
Bian menarik napas, kemudian langsung mendekatkan wajahnya ke wajah Ira.
Mata Ira terbelalak saat melihat Bian mendekat. Namun kemudian ia malah langsung memejamkan mata karena tidak sanggup ditatap sedekat itu oleh Bian. Beberapa detik kemudian, bibir Bian pun mendarat di bibirnya.
Deg!
Ira yang terkejut itu refleks hendak mundur. Namun Bian telah mengantisipasinya. Ia menahan tengkuk Ira, kemudian mulai melumat bibirnya dengan begitu lembut.
Kala itu mereka sama-sama khilaf dan terhanyut dalam cumbuan mesra dalam kondisi hujan yang begitu syahdu. Hingga kemudian, ada suara petir menggelegar.
Jeleger!
“Aaaa!” pekik Ira.
“Awww!” Bian pun memekik karena Ira tak sengaja menggigit bibirnya, saat terkejut mendengar suara petir.
Ira langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. “M-maaf. A-aku gak sengaja,” ucapnya, gugup. Seandainya tidak hujan, sudah pasti ia akan langsung kabur dari tempat itu. Ia malu sekaligus merasa bersalah.
“Sshh!” desis Bian karena bibirnya terasa begitu sakit.
“Ya ampun, berdarah!” ucap Ira, panik. Ia sangat terkejut melihat bibir Bian mengeluarkan darah.
“Wah ... kalau begini caranya, kamu harus tanggung jawab,” ucap Bian sambil mengusap darah yang ada di bibirnya. Kemudian ia mencuci tangannya dengan air hujan yang mengalir.
Cumbuan itu telah membuat hati Bian terasa sedikit lebih tenang. Sehingga ia mulai bisa berbicara dengan santai lagi.
“Iya, nanti aku tanggung jawab. Aku obatin sampai sembuh,” jawab Ira, yakin.
Bian pun kembali menatapnya. “Obatin aja gak cukup,” ucapnya, serius.
Ira langsung salah tingkah. “Terus, aku harus gimana?” tanyanya.
“Ayo kita nikah!” ajak Bian, tegas.
Ira ternganga. Ia mematung untuk sesaat. Mendengar ucapan Bian barusan membuat Ira terasa seperti tersambar petir di siang bolong. Namun kemudian ia tergelak.
“Hahaha, apaan sih, kamu! Gak lucu, ah. Gak pantes becandain hal kayak gitu!” ucap Ira, sambil memalingkan wajah. Ia belum siap untuk biacara serius dalam kondisi seperti ini.
“AKu gak bercanda,” ujar Bian. Kemudian tangannya menarik dagu Ira agar menoleh ke arahnya. “Look at me!” pinta Bian.
Bola mata Ira tidak bisa diam. Begitu sulit baginya untuk menatap Bian. Saat ini hatinya sedang bertalun-talun. Ia yakin wajahnya pun pasti merona. Sehingga Ira tidak berani menatap pria itu.
“Kalau kamu gak mau lihat aku, nanti aku cium lagi,” ancam Bian.
Sontak saja Ira langsung memelototi Bian. “Kamu ...!” tegurnya. Namun ia bingung hendak mengatakan apa.
“Apa? Suka, kan?” tebak Bian.
“Bian! Kamu jangan keterlaluan, ya!” Ira kesal karena ia memang menyukainya.
“Kalau aku keterlaluan, pasti aku akan tinggalin kamu. Tapi nyatanya aku malah mau nikahin kamu. Kita udah sama-sama dewasa, Ra. Udah bukan waktunya buat pacaran lagi. Lagian kamu tau sendiri kan pacaran itu dosa?” jelas Bian.
“Hah? Aku gak salah denger? Terus apa yang kamu lakuin barusan?” sindir Ira.
“Kalau itu khilaf. Ya, aku gak munafik. Namanya juga bujangan tua ada di hutan dalam kondisi hujan begini sama gadis. Wajarlah kalau khilaf. Aku kan normal,” ujar Bian, jujur.
Gluk!
Ira jadi tidak bisa berkata-kata lagi.
“Tugasku di sini hanya tinggal beberapa bulan lagi. Kalau kamu setuju, setelah aku bebas tugas nanti, aku akan melamarmu,” ucap Bian sambil menatap mata Ira.
Tubuh Ira meremang. Ia tak menyangka akan dilamar dalam momen seperti ini. “K-kamu gak kesambet kan, Bi?” tanya Ira, kikuk.
“Hei! Kamu itu dokter. Emang percaya sama hal kayak gitu?” tanya Bian.
“Ya enggak, sih. Tapi ini tiba-tiba banget. Kita juga kan kenal belum lama. Apalagi sebelumya kita sempet berselisih. Masa kamu mendadak ngelamar aku?” tanya Ira, heran. Ia masih berusaha menyakinkan hatinya.
“Pertama, masalah selisih itu kan cuma salah paham. Kedua, kita bisa saling kenal setelah nikah nanti. Pacaran setelah nikah tuh lebih asik, lho. Halal,” ucap Bian, genit.
“Iiiih, kamu apaan, sih!” ucap Ira malu-malu, sambil menepuk bahu Bian.
“Lho, aku serius, Ra. Kalau kita cuma pacaran aja, aku takut khilaf lebih dari tadi,” ucap Bian sambil menggaruk tengkuknya dan memalingkan wajah.
Ira pun tercekat. Memang tidak dapat dipungkiri dirinya pun bisa saja khilaf seperti apa yang Bian katakan. Namun ia bingung bagaimana cara menjawabnya.
“Tapi kan aku di sini masih sekitar satu tahun lagi,” ucap Ira, malu-malu.
Bian kembali menoleh ke arah Ira. “Gak masalah. Nanti aku bisa menyesuaikan. Kita nikah dulu, terus balik lagi ke sini sampai kamu selesai tugas. Kan enak, aku tidurnya gak usah di tenda lagi.” Bian kebablasan.
Ira tersenyum getir. Mendengar ucapan Bian barusan wajahnya terasa panas. Pipinya pun merona.
Akhirnya mereka sama-sama memalingkan wajah karena khawatir ada tarikan magnet lagi. ‘Ya Tuhan, kuatkanlah imanku,’ batin Bian. Ia menggetar-getarkan kakinya karena menahan hasrat.
‘Astaghfirullah, jangan sampai akhi khilaf lagi,’ batin Ira. Ia takut terbawa suasana dan melakukan hal yang lebih dari tadi.
“Atau kamu udah ada calon?” celetuk Bian, memecah keheningan.
“Enggak!” jawab Ira, cepat. Ia pun kembali menoleh ke arah Bian.
“Terus? Atau kamu gak suka sama aku?” tanya Bian lagi.
“Suka, kok. Eh! Enggak! Eh!” Ira jadi salah tingkah dibuatnya. Mengatakan suka semudah itu membuatnya malu. Sehingga ia berusaha menyangkalnya. Namun sangkalan itu membuat Ira khawatir Bian akan salah paham.
Bian pun tersenyum. “Jadi suka apa enggak?” tanyanya.
“Bi, please! Jangan godain aku!” keluh Ira, sambil mengerungkan wajahnya.
“Aku gak godain kamu, kok. Aku cuma ngajak kamu nikah. Mau apa enggak?” tanya Bian lagi.
***
Maaf ya, Bian nachal, hehe.
See u,
JM.

KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...