Saat Bian melepaskan pelukannya, Ira masih belum menyadari ada perubahan dari sikap Bian.
“Bi, kamu ke mana aja, sih? Pasti kamu abis tugas, ya?” tanya Ira sambil berurai air mata. Ia menggenggam kedua tangan Bian.
“Mas Malik, itu siapa?” tanya seorang wanita yang muncul di belakang Bian. Ia bingung melihat bian bicara dengan seorang wanita.
Ira mengerutkan keningnya. ‘Malik?’ batinnya. Ia lupa bahwa Malik adalah nama panjang Bian.
Bian pun menjawabnya sambil menatap Ira. “Enggak kenal,” ucap Bian.
Deg!
Lutut Ira terasa lemas kala mendengar ucapan Bian. Namun ia masih enggan percaya. “Bi, kamu jangan bercanda, ya! Aku udah hampir mati nungguin kamu, ini gak lucu,” ucap Ira dengan suara bergetar.
Wanita itu pun mendekat ke arah mereka. “Yakin gak kenal?” tanyanya, sambil menatap ke arah tangan Bian yang sedang digenggam oleh Ira.
“Iya. Mungkin kamu salah orang,” ucap Bian pada Ira. Kemudian ia melepaskan tangan itu perlahan, tetapi Ira seolah enggan melepasnya.
“Sampe kamu lepas, aku gak akan maafin kamu, Bi,” ucap Ira, sambil menahan napas.
Bian dapat merasakan tangan Ira gemetar dan keringat dingin. Ia yakin gadis itu pasti terguncang. Dari raut wajahnya, Bian seperti sedang merahasiakan sesuatu.
“Maaf,” ucapnya. Bian tetap melepaskan tangan itu. Kemudian ia pun pergi dengan wanita tadi begitu saja.
Seketika pikiran Ira kosong. Ia yang sudah tak sanggup berdiri itu langsung jongkok dan memejamkan matanya. Sedangkan Bian yang sudah jauh melangkah, menoleh ke belakang. Seolah ingin tahu bagaimana kondisi Ira.
‘Setahun lebih aku nunggu kamu, tapi ternyata malah ini balasannya. Aku bersumpah gak akan mau kenal kamu lagi. Jahat,’ batin Ira.
Ia mengatur napasnya agar bisa berhenti menangis. Ira malu jika harus pergi ke parkiran dalam kondisi seperti itu. “Ra, kamu lagi apa?” tanya Arga, yang baru saja muncul. Ia bingung melihat Ira berjongkok seperti itu.
Mereka sudah cukup akrab. Sehingga jika sedang di luar, Arga tak sungkan untuk memanggil nama Ira langsung.
Huuh!
Ira mengembuskan napas dan mengusap air matanya. Ia tidak ingin orang lain tahu apa yang sedang ia hadapi.
Ira pun bangkit meski kakinya masih terasa lemas. Kemudian ia menoleh ke arah Arga.
“Ini, kakinya tadi pegel, jadi jongkok sebentar,” ucap Ira. Ia tak dapat menyembunyikan suara sengaunya karena habis menangis.
“Ooh, kalau pegel duduk aja dulu!” ajak Arga.
“Gak usah, aku udah mau pulang, kok. Duluan ya, Ga,” sahut Ira. Kemudian ia langsung berlalu tanpa menunggu jawaban Arga.
Saat ini Ira sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun.
“Kayaknya dia habis nangis. Tapi nangis kenapa?” gumam Arga sambil menatap Ira.
Tiba di parkiran, Ira langsung masuk ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Saat ini ia tidak memiliki tujuan. Ira hanya berkendara dengan pikiran kosong.
Saat sedang mengendarai mobilnya, Ira merasakan bahwa mobilnya itu oleng. Ia pun mengurangi kecepatan secara perlahan, kemudian menepi untuk mengecek ban mobilnya.
Saat sudah turun dari mobil, ternyata feeling Ira tepat. Ban mobil bagian belakangnya kempes. “Argh!” Ira menengdang ban tersebut. Ia sangat kesal karena hari ini begitu banyak kesialan yang menimpanya.
“Kenapa harus kempes di saat seperti ini, sih?” lirih Ira. Ia pun kembali menangis. Sejak bertemu dengan Bian, perasaan Ira jadi sangat sensitif dan hanya menangislah yang ia inginkan.
Ia yang masih kalut itu pun masuk ke mobil dan duduk untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Jika sudah tenang, barulah ia akan mencari bantuan. Sebab, kondisi jalanan saat itu cukup sepi.
Di tempat lain, Bian sedang mengendarai mobil sambil melamun. Ia mengingat pakaian yang ia pakai. ‘Dia masih seperti dulu,’ batinnya. Ia bahkan tak mendengarkan wanita yang sedang mengoceh di sampingnya itu.
Dari kejauhan, Bian dapat melihat Ira. Meski wajahnya tak terlihat, tetapi ia sangat mengenal postur tubuh dan pakaian yang Ira kenakan.
Bian pun memperlambat laju mobilnya. Setelah mengetahui bahwa ban mobil Ira kempes, Bian pun menepikan mobilnya untuk membantu. Kala itu Ira sudah masuk ke mobil.
“Kok berenti, Mas?” tanya wanita yang bersama Bian.
“Mobil itu bannya kempes. Aku mau bantu,” jawab Bian. Kemudian ia turun dan menghampiri mobil Ira.
Saat berada di samping pintu mobil Ira, Bian dapat melihat bayangan Ira sedang menangis sambil memeluk stir mobil. Bian terdiam sejenak, sebelum mengetuk kaca mobil tersebut.
Tuk, tuk, tuk!
Ira menoleh ke arah jendelanya. Kala itu ia tidak dapat melihat wajah pria yang mengetuk pintunya karena terlalu tinggi, melebihi tinggi mobil sedan yang Ira kendarai.
Ira pun menurunkan kaca jendela mobilnya. Kemudian pria itu menunduk.
Ira pun terkejut saat melihat Bian. “Mau apa lagi?” tanya Ira, ketus. Ia pikir Bian akan meminta maaf padanya.
Namun, kemudian ia kecewa karena wanita tadi pun muncul.
“Mbak, ban mobilnya kempes, ya? Kami cuma mau bantu,” ucap wanita itu.
Hati Ira semakin terbakar melihat mereka. Ia pun langsung memalingkan wajah. Perih rasanya ketika melihat pria yang ia cintai seperti orang asing.
“Gak usah! Saya udah manggil bengkel. Terima kasih,” ucap Ira sambil memalingkan wajah. Kemudian ia langsung menutup kaca jendela mobilnya.
“Dih! Mau dibantu malah jutek begitu. Ya udah, yuk! Tinggalin aja,” ucap wanita itu. Ia pun mengajak Bian pergi. Ia tidak sadar sejak tadi Bian sedang menatap Ira.
Akhirnya Bian dan wanita itu pun masuk ke mobil mereka. Namun pria itu tidak langsung melajukan kendaraannya.
“Ayo! Nunggu apa lagi sih, Mas?” tanya wanita itu pada Bian, kesal.
“Ini sudah malam. Kasihan kalau dia sendirian. Kita tunggu sampai bantuan datang,” jawab Bian. Ia terlihat begitu tenang. Padahal hatinya sedang berkecambuk.
Wanita itu mengerutkan keningnya. “Mas kenapa baik banget, sih? Padahal kamu lihat sendiri, tadi kita mau bantu aja dia jutek begitu,” keluh wanita tadi.
“Kamu tidak perlu menjelekkan orang lain yang belum kamu kenal. Kita tidak tahu apa yang sedang dia alami sampai bisa bersikap seperti itu!” tegur Bian.
“Iya, maaf,” ucap wanita itu, menyesal. Akhirnya ia terpaksa sabar menunggu bersama Bian.
“Tapi Mas beneran gak kenal dia?” tanya wanita itu lagi.
“Udah kamu jangan banyak tanya!” skak Bian.
“Dasar gak jelas! Ditanya malah jutek. Samanya kayak cewek itu!” ucap wanita itu, kesal.
“Bisa diem, gak? Kalau gak bisa diem, lain kali gak usah ikut aku lagi!” sentak Bian.
“Ck! Galak banget, sih? Aku bilangin Papah, loh,” ancam wanita itu. Ternyata dia adalah adik kandung Bian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...