07. Tak-tik Bian

13.2K 972 34
                                    

Ira terkejut saat mendengar Bian hendak membuka celananya. “Hah, mau ngapain kamu pake buka celana segala?” tanyanya.

“Udah jangan banyak tanya! Aku gak mungkin macam-macam dalam situasi kayak gini,” sahut Bian.

Akhirnya Ira menuruti ucapan Bian. Ia memalingkan wajah dan pria itu membuka celananya. Kemudian Bian mengambil ponsel yang ia sembunyikan di balik pahanya. Setelah itu Bian membenarkan celananya lagi hingga terpasang.

“Sudah,” ucap Bian.

Dengan ragu, Ira menoleh dan ia lega setelah Bian mengenakan celana.

“Kamu mau ngapain?” tanya Ira.

“Aku mau ngirim pesan ke markas. Semoga mereka bisa tiba di sini tepat waktu,” jawab Bian. Kemudian ia mengirimkan pesan untuk memberi tahu di mana lokasi markas penjahat tersebut.

Setelah itu, Bian menonaktifkan kembali ponselnya. Lalu ia menyembunyikan ponselnya itu lagi.

“Apa mereka masih bisa menemukan kita jika ponselnya dinonaktifkan?” tanya Ira.

“Mereka bukan amatir. Yang terpenting titiknya sudah jelas. Mereka bisa menemukan kita hanya dengan melihat koordinatnya,” jawab Bian.

Ira lupa bahwa mereka semua profesional. Sehingga sudah terlatih untuk menghadapi situasi seperti itu. Mereka pun pasti menguasai banyak strategi untuk menyelamatkan Bian dan Ira.

“Oh, iya,” jawab Ira. Ia bisa sedikit lebih tenang setelah mendengar penjelasan Bian.

“Mereka bilang bosnya sedang menuju ke sini,” ucap Ira. Tadi ia sempat mendengar percakapan mereka.

“Oya? Jadi mereka menyekap kita karena menunggu bosnya datang?” tanya Bian.

“Iya. Entah apa yang akan mereka lakukan jika bosnya sudah datang.” Ira lemas membayangkan bagaimana nasibnya nanti.

Sebelumnya ia sudah pernah mendengar di perbatasan tersebut sering terjadi pemberontakan. Bahkan ada beberapa orang yang menjadi korban pembunuhan dengan sadis.

“Tapi sampai saat ini mereka belum melakukan apa pun terhadapmu, kan?” tanya Bian. Ia berusaha memastikan.

Ira menggelengkan kepalanya. “Jangan sampai!” ucapnya, takut.

“Ya sudah, kamu jangan terlalu panik! Aku pasti akan menyelamatkanmu. Apa pun risikonya,” ucap Bian.

Melihat Bian seperti itu, ia sangat berbeda dari Bian yang selama ini menyebalkan. Ira seolah melihat sisi lain dari pria tersebut. Kebenciannya terhadap Bian pun seolah hilang begitu saja.

“Tapi mereka banyak dan punya senjata. Apa kamu bisa melawan mereka sendirian?” tanya Ira.

“Anak buahku pasti sudah menuju ke sini. Semoga mereka tiba lebih dulu dari bos penjahat itu,” ucap Bian.

Setelah itu Bian menyadari bahwa di ruangan tersebut begitu banyak senjata. Ia pun melihat-lihat senjata itu dan memilih yang kira-kira bisa ia gunakan untuk bertahan.

‘Sepertinya mereka adalah mafia yang selama ini kami cari,’ batin Bian.

Melihat begitu banyak senjata di sana. Bian yakin bahwa senjata itu bukan hanya untuk mereka gunakan sendiri. Melainkan akan diselundupkan secara ilegal.

“Kamu berani pakai senjata, gak?” tanya Bian.

“Aku suka latihan nembak, kok,” jawab Ira. Ia memang menyukai olah raga menembak. Sehingga dirinya sudah tidak kaku lagi jika harus memegang pistol.

“Syukurlah. Kalau begitu kamu ambil ini!” ucap Bian. Kemudian ia memberikan Ira pistol dan menjelaskan cara penggunaannya. Sebab ia khawatir alat yang biasa Ira gunakan berbeda dengan yang satu itu.

“Ini sudah aku isi peluru. Kamu hanya boleh menggunakan ini jika terdesak!” ucap Bian.

“Oke,” jawab Ira.

Meski ia sudah cukup terlatih. Namun nyatanya ia gemetar ketika harus menggunakan benda itu secara langsung di alam terbuka. Sebab selama ini ia latihan di dalam ruangan yang tentunya sudah terjamin keamanannya.

Setelah itu, Bian memenuhi kantong pakaiannya dengan peluru. Ia pun meminta Ira melakukan hal tersebut.

“Pokoknya kamu harus selalu waspada! Gunakan mata dan telingamu sebaik mungkin! Jangan sampai kamu lepas atau terisah dari aku! Paham?” tanya Bian.

Ira pun mengangguk. “Iya, tapi aku deg-degan. Aku takut banget,” ucap Ira. Wajahnya pun terlihat pucat.

Bian menghela napas. Kemudian ia memberanikan diri menggenggam tangan Ira. “Jangan takut! Aku sudah cukup terlatih untuk menghadapi situasi seperti ini. Percayalah!” ucap Bian sambil menatap Ira.

Ia melakukan hal itu demi menenangkan Ira. Sebab, jika Ira panik, itu akan menghambat misinya nanti.

Digenggam seperti itu oleh Bian, ada sedikit ketenangan dalam hati Ira. Ia pun senang karena Bian terlihat begitu pemberani. Setidaknya ia bisa berlindung di balik bahu lebar komandan tampan tersebut.

Bian melihat ke arah jam tangan. Ia pun terdiam sambil menyusun strategi. Sejak tadi telinganya fokus mendengarkan pergerakan di luar. Sebab ia akan langsung bertindak jika mengetahui anak buahnya sudah datang ke tempat tersebut.

Melihat Bian sangat fokus, Ira pun tidak mengganggunya. ‘Kira-kira apa yang sedang dia rencanakan?’ batin Ira. Ia yakin Bian bukan sedang melamun.

Bian pun menoleh ke arah Ira. “Kamu bisa lari, kan?” tanya Bian.

Ira mengangguk. “Bisa,” jawabnya. Beruntung hari ini ia mengenakan sepatu kets. Sehingga Ira tidak akan kesulitan jika harus berlari.

Bian mengeluarkan sarung tangan yang ada di sakunya. “Kamu harus pakai ini!” ucap Bian.

“Buat apa?” tanya Ira. Ia bingung mengapa Bian memintanya mengenakan sarung tangan sebagai penutup wajah.

“Supaya mereka tidak mengenali wajahmu. Akhu khawatir mereka akan mengincarmu lagi jika kamu sudah bebas nanti,” ucap Bian. Kemudian ia pun mengikatkan sarung tangan di wajah Ira. Hingga berbentuk seperti cadar.

“Kamu?” tanya Ira.

“Aku tidak butuh itu. Mereka pasti sudah lama menandaiku,” jawab Bian. Ia sadar bahwa penjahat itu sudah lama mengincarnya.

“Di mana snelli-mu?” tanya Bian.

“Eumh ... kayaknya ketinggalan di rumah Pak Kades, deh,” jawab Ira. Ia baru menyadari hal itu.

“Syukurlah kalau begitu. Semoga mereka tidak sadar kalau kamu dokter,” ucap Bian.

Ia senang karena tanpa menggunakan snelli atau jas dokter, Ira tidak akan terlalu kontras jika harus berlari di tengah hutan. Sebab snelli yang berwarna putih itu akan terlihat dengan jelas di dalam kegelapan.

Telinga Bian bergerak kala mendengar ada suara di luar.

“Bos sudah hampir sampai. Siapkan ruangan untuk menyerahkan kedua orang itu padanya!” ucap salah satu anggota mereka yang baru saja mendapat kabar melalui HT.

“Sepertinya kita tidak bisa menunggu lagi. Kita harus pergi sekarang,” ucap Bian.

“Tapi ...?”

“Tadi kita masuk dari arah utara. Kemungkinan di sana ada banyak penjaga. Jadi setelah keluar dari ruangan ini, kita harus berjalan ke arah selatan,” jelas Bian. Ia tidak sempat mendengarkan keluhan Ira.

“Aku sendiri belum tahu bagaimana kondisi markas ini. Tapi biasanya di bagian belakang, penjagaan tidak akan seketat di bagian depan. Nanti kita bisa menyelinap dan aku akan menjatuhkan mereka satu per satu,” lanjutnya.

“Sementara kamu hanya perlu waspada dengan memperhatikan sekeliling dan tetap berada di dekatku. Jangan sampai genggaman tangan kita terlepas! Paham?” tanya Bian.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang