43. Akal Bulus

9.6K 925 78
                                    

Beberapa jam sebelum Ira tiba di Surabaya.

“Gimana?” tanya Bian yang ternyata berada di samping anak buahnya.

“Katanya dokter Ira mau ke sini, Ndan,” sahut anak buah Bian, jujur.

Bian pun langsung sumeringah. ‘Alhamdulillah ... lumayan bisa melepas rindu sebentar,’ batin Bian.

“Ndan? Kok malah ngelamun?” tanya anak buah Bian. Ia heran karena Bian tak meresponnya.

“Gak apa-apa. Terima kasih, ya!” sahut Bian.

Sebenarnya kondisi Bian tidak terlalu parah. Hanya saja orang tua Bian yang memaksanya untuk tetap pergi ke Surabaya.

Bahkan awalnya mereka meminta Bian untuk terbang ke Jakarta. Namun kemudian mereka meralatnya dan meminta Bian diperiksa di Surabaya saja. Sebab mereka kasihan jika Bian harus bolak balik ke Jakarta.

Saat Ira menghubunginya tadi, Bian sengaja tidak menjawabnya. Ia ingin tahu seberapa khawatir Ira padanya. Hingga kemudian Bian memiliki ide untuk meminta tolong pada anak buahnya.

Ia sengaja mendramatisir kondisinya agar Ira khawatir.

“Kalau dia datang nanti. Kalian jangan katakan apa-apa! Pokoknya jangan sampai keluar satu kata pun dari mulut kalian. Paham!” pinta Bian yang sedang terbaring di tempat tidur itu.

“Siap, Komandan!” sahut mereka, tegas.

“Oke!” ucap Bian.

Akhirnya ia bersantai dengan gembira sambil menunggu kedatangan Ira. Bian sudah tidak sabar ingin segera memeluk calon istrinya itu.

Berulang kali Bian melihat ke arah jam. Ia merasa Ira sangat lama.

“Beneran dia mau ke sini?” tanya Bian lagi.

“Bener, Ndan. Malah tadi aku udah ngirim alamatnya. Namanya juga harus naik pesawat. Pasti butuh waktu, Ndan,” ujar anak buah Bian.

‘Iya, tapi aku udah rindu,’ batin Bian, kesal.

“Kalau begitu kalian keluar sekarang!” pinta Bian.

“Lho, kenapa, Ndan?” tanya anak buah Bian.

“Pantau Ira. Kalau dia sudah datang, segera infokan ke aku!” pinta Bian.

“Pake telepon, Ndan?” tanya anak buah Bian lagi.

Bian langsung memelototi anak buahnya. “Jangan, pake surat pos aja!” sahut Bian.

“Hah?”

“Ya iyalah pake telepon! Masa kayak gitu aja harus diajari, sih?” sentak Bian. Ia kesal karena anaknya itu kurang pintar.

Namun kemudian ia meringis kesakitan karena terlalu banyak bicara. “Sshh, sudah, kalian jangan ajak aku bicara terus! Sana pergi!” usir Bian, kesal.

“Siap, Ndan,” jawab mereka, lemas.

Mereka pun meninggalkan ruangan Bian. Menuju ke lobby untuk memantau Ira.

“Sepertinya sebentar lagi kita akan dapat kakak ipar,” gumam anak buah Bian pada temannya.

“Iya, mungkin jika tidak ada aturan ini itu, Komandan akan langsung menikahinya secara siri,” sahut temannya.

“Hahaha, Jendral bisa mengamuk jika tahu anaknya menikah siri.”

“Itu dia. Makanya sekarang jadi Komandan yang sering uring-uringan. Sudah kebelet tapi belum bisa nikah, hahaha.”

Mereka malah asik mengghibahi Bian. Setelah itu mereka pun menunggu di lobby.

“Oke, kita pantau dari sini. Mata kau jangan sampai berkedip. Takutnya nanti dokter Ira lewat, kita tak tahu,” ucap anak buah Bian.

“Palamu tak berkedip. Yang ada bukan lihat dokter Ira, nanti mataku malah silinder! Enak saja tak berkedip.”

“Hahaha, kau ini! Itu kan hanya pribahasa. Maksudnya pantau terus. Jangan sampai lengah!”

“Kau juga!”

Akhirnya mereka berdua serius memandangi pintu masuk lobby utama rumah sakit itu. Mereka yakin Ira yang datang dari luar kota pasti masuk lewat sana.

“Berapa lama lagi dia akan tiba?” lirih anak buah Bian.

“Entahlah. Tapi rasanya leherku hampir kaku karena sejak tadi tidak menoleh.”

“Siapa suruh tak menoleh? Kan kita ini diminta memantau pintu masuk. Yang melihat kan mata, bukan leher!”

“Memangnya kau pikir aku burung hantu yang matanya bisa berputar 360 derajat, hah? Kalau aku menoleh, otomatis mataku ikut menoleh!” anak buah Bian itu malah sibuk berdebat.

“Hei, kau! Kita ini kan berdua. Kalau kamu mau menoleh, bisa bilang-bilang, kan? Nanti gantian.”

“Iya juga, ya. Eh, itu kayak dokter Ira, ya?” tanya anak buah Bian pada temannya.

“Oh iya. Syukurlah dia sudah sampai dengan selamat,” sahut temannya itu.

Namun, beberapa detik kemudian mereka sadar. “Hah? Dokter Ira?” tanya mereka, kaget.

“Ayo! Telepon Komandan!” ucap mereka gugup. Sebab saat itu Ira sudah masuk ke lift.

“Ya Tuhan, Komandan ke mana, ini?” gumamnya. Sebab, Bian tidak langsung menjawab panggilannya.

Telepon terhubung.

“Ndan! Dokter Ira sudah naik ke atas!” ucap anak buah Bian, cepat.

“Hah? Gimana, sih?” Bian hendak protes. Namun ia ingat bahwa dirinya harus bersiap. Sehingga Bian langsung memutuskan sambungan teleponnya.

“Ya Tuhan, punya anak buah gak ada yang becus. Masa Ira udah naik, dia baru laporan,” keluh Bian.

Padahal Bian ingin berakting dengan memanaskan wajahnya di dekat lampu. Namun ia yakin dirinya akan terlambat. Sehingga Bian yang sedang bersantai sambil menonton televisi di sofa itu langsung melompat ke tempat tidur.

Bian pun bersiap untuk pura-pura terlelap. Ia menarik selimut dan memejamkan matanya. Jantungnya berdebar kencang karena terkajut dan terburu-buru.

“Awas kalian, ya!” gumam Bian, kesal.

Bian pun mengatur napas agar tidak terlihat sedang terkejut, oleh Ira. Namun, saat Bian baru saja menarik napas, pintu kamarnya sudah terbuka oleh Ira.

‘Astaga, kenapa cepat sekali. Aku belum buang napas,’ batin Bian. Namun kemudian ia melepaskan napasnya dengan sangat berhati-hati. Akan tetapi, Bian belum sempat memasang selang oksigen yang seharusnya dipasang di hidungnya.

Sehingga selang itu berada di leher. Sebab tadi ia sibuk mengatur napas lebih dulu. Ia lupa siapa yang sedang dihadapi saat ini.

“Bi!” lirih Ira, saat melihat Bian. Ia pun langsung masuk dan menghampiri Bian.

Saat tiba di depan Bian. Ira langsung memeluknya.

“Ya Allah, Bi. Maafin aku. Aku gak nyangka kamu bisa sampe kayak gini. Aku kira kamu cuma bercanda,” ucap Ira sambil memeluk Bian. Ia menitikan air mata karena kekhawatirannya yang membuncah.

Saat itu tidak ada siapa pun. Sehingga Ira belum bisa menanyakan perihal kondisi Bian.

“Bi, aku yakin kamu pasti kuat. Kamu kan jagoan. Ngelawan mafia aja bisa, jadi kamu pasti sanggup bertahan, hem?” lirih Ira.

“Pas denger kamu ketembak, aku takut banget, Bi. Tolong jangan tinggalin aku, ya? Kita kan mau nikah. Kamu kan udah janji bakal nyusul aku ke Jakarta dua bulan lagi. Pokoknya kalau kamu bohong, aku marah!” ancam Ira sambil berurai air mata.

‘Hehehe, katanya bodo amat. Tapi takut juga kehilangan, kan?’ batin Bian.

Ira yang sedang membelakangi wajah Bian pun menoleh ke arahnya. Ia langsung melepas pelukannya kala melihat selang oksigen tidak pada tempatnya.

“Lho, kok selangnya ada di sini? Gimana, sih?” keluh Ira. Kemudian ia membenarkan posisinya.

‘Waduh, ketauan gak, ya?’ batin Bian.

***
Tuh udah aku kasih bonus, ya. Aku jamin, update 10 bab pun bakal ttp gak puas, wkwkwk.
Anw, ini aku up dua bab karena besok mau liburan, hihihi. Jadi besok aku libur update, ya.

See u,
JM.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang