Awalnya Ira tak menolak. Ia yang memang merindukan Bian pun menyambutnya. Ira membuka mulutnya dan menjulurkan lidahnya.
Medapatkan sambutan dari Ira, Bian pun semakin bersemangat. Cumbuannya semakin menuntut dan tanpa sadar dirinya telah mendorong Ira mundur, hingga mereka berdua sudah berada di atas tempat tidur.
Napas Bian semakin menggebu. Ia pun langsung merangkak naik ke tubuh Ira. Sekujur tubuhnya meremang, ia sudah sangat bergairah.
Namun, menyadari hal itu, Ira langsung menghentikannya. "Tunggu, Bi!" ucap Ira saat Bian sedang melumati lehernya.
Bian tak mendengar ucapan istrinya itu. Matanya sudah berkabut, sebab ia memang menantikan momen itu sejak lama. Sehingga Bian tidak pikir panjang lagi dan ingin langsung melakukannya saat itu juga.
"Bi, lepas!" keluh Ira, sambil berusaha mendorong tubuh suaminya yang semakin menempel itu.
"Bi!" bentak Ira. Kali ini ia mendorongnya dengan kuat, sehingga Bian mundur.
Bian yang sedang bersimpuh di atas tubuh istrinya pun bingung. "Kenapa, Sayang?" tanyanya. Terlihat ia begitu kecewa karena Ira mengganggunya.
"Sabar! Ini masih sore, Bi," ucap Ira.
"Ya udah, emang kenapa kalau masih sore. Kan gak harus malem juga. Aku udah gak tahan," ucap Bian. Kemudian ia kembali mengukung Ira dan hendak melanjutkan kegiatan yang tadi.
"Bi! Sebentar lagi ashar. Papah pasti ngajak kamu ke masjid," ucap Ira.
Sebagai wanita, Ira ingin memberikan kesan yang spesial pada malam pertama mereka. Sehingga ia tidak ingin melayani Bian dalam kondisi seperti itu.
Ira khawatir tubuhnya tidak harum karena sudah berkeringat. Belum lagi wajahnya yang berminyak karena aktivitas seharian. Ira ingin mandi dan merias wajahnya lebih dulu agar wangi dan cantik.
Mendengar nama mertuanya disebut, Bian pun mengalah. Ia sudah banyak melakukan hal memalukan di depan Muh. Sehingga kali ini tidak mungkin mengulanginya lagi.
Bian menoleh ke arah jam dinding. Ternyata benar, sebentar lagi adzan. "Padahal aku udah gak tahan," ucapnya, manja. Kemudian ia turun dari atas tubuh istrinya itu dan berbaring di samping Ira.
Ira menghadap ke arah Bian. Kemudian menangkup pipi suaminya itu. "Sabar ya, Sayang. Nanti malam aku kasih yang spesial," ucap Ira sambil menatap Bian.
Bian mengerutkan keningnya. "Kenapa harus nanti malam? Pulang dari masjid kan bisa?" tanyanya. Ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi.
"Bi! Emangnya pulang dari masjid kamu yakin pulang dari masjid gak akan ada yang ganggu?" tanya Ira.
"Siapa yang mau ganggu? Semua udah pulang, kok. Jadi aman," ucap Bian, yakin.
"Oooh, ya udah kalau begitu. Kita lihat aja nanti!" sahut Ira.
"Jadi kamu mau kan, abis ashar nanti?" tanya Bian bersemangat.
"He'em," sahut Ira. Ia tidak tega meminta suaminya untuk menahannya lagi.
"Terima kasih, Sayang. Aku tuh udah gak sabar banget pingin unboxing. Nih, kamu pegang sendiri, udah tegang!" ucap Bian sambil menarik tangan Ira untuk menyentuh miliknya.
"Bian!" bentak Ira. Ia sangat terkejut saat menyentuh benda keras di bawah sana. Ira tak menyangka Bian akan melakukan hal itu.
Melihat Ira terkejut, Bian malah tersenyum. "Pengenalan dulu, Sayang. Biar gak kaget," ucap Bian, bercanda.
"Kamu nih, ihh!" keluh Ira sambil memukuli lengan Bian. Ia kesal karena suaminya begitu agresif. Padahal mereka baru saja sah.
"Ya kan nanti kalau langsung dikasih, kamu bisa shock. Kalau udah kenal kan jadi kebayang dan gak kaget lagi," goda Bian.
"Tau ah! Mendingan kamu mandi sana, biar gak ngebul itu otaknya!" usir Ira. Ia kesal karena Bian telah membuat pikirannya jadi kotor. Membayangkan bagaimana bentuk benda yang ia pegang barusan.
"Mandi bareng, yuk!" ajak Bian, genit.
"Bian!" tegur Ira, sambil memelototi Bian.
"Kamu nih protes mulu. Apa salahnya suami istri mandi bareng, hem?" keluh Bian.
"Gak salah. Tapi kan kita baru nikah, masa mandi bareng? Nanti gak spesial lagi, dong," sahut Ira.
"Sayang, apa pun yang ada di diri kamu, selalu spesial buat aku. Mau sekarang atau nanti, gak ada bedanya," ujar Bian.
"Udah deh, Bi. Pokoknya aku gak mau kayak gitu. Nanti aja kita lakuin secara wajar, ya! Lagian di mana-mana tuh pengantin baru pasti malu-malu. Gak asal seruduk kayak kamu!" tegur Ira.
"Sok tau kamu! Asal kamu tau aja, ya! Justru orang lain banyak yang udah ngelakuin itu sebelum nikah. Jadi kamu jangan heran kalau aku begini pas udah sah. Namanya juga udah nahan setahun lebih," curhat Bian.
"Ya yang kayak gitu jangan diikutin, lah. Orang gak bener. Lagian siapa suruh kamu ngilang setahun lebih?" skak Ira.
"Namanya juga tugas, Sayang. Kamu kan tau sendiri suami kamu ini tugasnya berat," ucap Bian, memelas.
"Iya, iya ... ya udah sekarang kamu mandi sebelum papah manggil!" ucap Ira.
"Jadi gak boleh, nih?" tanya Bian, memelas.
"Nanti malem aja!" sahut Ira.
"Secelup aja, deh," rengek Bian.
"Hiiih, Biaaaann!" Ira terkekeh mendengar ucapan suaminya itu.
Akhirnya dengan berat hati Bian beranjak untuk mandi.
"Kamu bawa handuk, gak?" tanya Ira.
"Ada di koper aku," jawab Bian. Kemudian ia masuk ke kamar mandi tanpa membawa handuk.
"Lha, kenapa gak langsung dibawa?" tanya Ira, heran.
"Nanti kamu ambilin aja! Kan katanya aku disuruh buru-buru," sahut Bian dari dalam kamar mandi.
"Dasar!"
Ira pun turun dari tempat tidur. Kemudian ia melepaskan aksesoris dan menghapus riasan wajahnya.
Bian yang sedang mandi itu tersenyum. Ia memiliki ide nakal untuk menggoda istrinya.
Selesai mandi, Bian membuka pintu kamar mandi. "Sayang, tolong ambilin handuk!" ucap Bian.
"Tuh kan, jadi repot. Lain kali kalau mandi tuh bawa handuk dong, Bi! Kayak anak kecil, deh," keluh Ira. Ia malas mengambil handuk yang ada di koper Bian. Sehingga Ira mengambil handuknya yang ada di lemari.
"Nih!" ucap Ira sambil memberikan handuk tersebut pada Bian.
"Terima kasih, Sayang," ucap Bian. Namun ia tidak hanya mengambil handuk itu. Bian langsung menarik tangan Ira, hingga terseret masuk ke kamar mandi.
"Bi!" Ira berusaha melawan. Namun tenaganya kalah besar dari Bian. Akhirnya kini ia pun sudah berada di kamar mandi.
Ira langsung menutup mata karena kala itu suaminya tidak mengenakan apa pun. Beruntung Bian langsung memeluknya. Sehingga Ira hanya sempat melihat bagian atas tubuh Bian.
"Bian, kamu nyebelin banget, deh!" keluh Ira.
"Kamu tuh yang nyebelin! Suaminya pingin juga gak dikasih. Dosa, tau!" sahut Bian sambil mencubit hidung Ira.
"Aku bukan gak mau ngasih! Tapi ...." Ira tidak dapat melanjutkan ucapannya karena Bian langsung mencumbunya.
"Tapi aku udah gak sabar," ucap Bian sambil mengulum bibir Ira.
Akhirnya Ira pun pasrah karena ia melihat suaminya sudah seperti itu. Ingin menolak lagi pun takut dosa.
Melihat Ira pasrah, bian melepaskan resleting kebaya Ira. Tangannya gemetar karena sudah terlalu bergairah. Napasnya pun terdegar begitu menggebu.
Namun, saat resleting itu sudah terlepas dan Bian hendak menanggalkan kebaya tersebut dari tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar Ira diketuk.
Tuk, tuk, tuk!
"Bi, ayo ke masjid!" ucap Muh, dari luar kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomansaIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...