29. Rencana Bian

10.8K 892 41
                                    

Sebagai pria dan wanita normal, melakukan hal seperti itu membuat gairah mereka semakin memanas. Bian pun mulai kehilangan akal, tangannya menelusup ke dalam baju Ira.

Greb!

Ira menggenggam tangan Bian dengan cepat. Kemudian tautan bibir mereka pun terlepas.

“Jangan!” lirih Ira. Sebenarnya saat ini ia sedang perang batin. Antara ingin pasrah, tapi ia merasa itu tidak benar dan harus menolak.

Gluk!

Bian jadi tidak enak hati karena hampir saja melewati batas. Kemudian ia memejamkan mata dan mengusap wajah dengan kedua tangannya. Setelah itu Bian menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.

“Maaf, aku khilaf,” ucap Bian.

“Lagi,” jawab Ira.

“Kamu mau lagi?” tanya Bian, serius. Seolah ia sangat siap jika Ira menginginkannya lagi.

“Bukan! Maksudnya kamu khilaf lagi. Kalau dua kali begini apa masih disebut khilaf?” tanya Ira, sebal.

“Tapi kan kamu juga gak nolak?” Bukan bermaksud melempar kesalahan pada Ira. Namun Ira memang tidak menolaknya ketika Bian menciumnya tadi.

“Kok kamu jadi nyalahin aku, sih?” tanya Ira, kesal. Saat ini bibirnya terasa bengkak karena tadi Bian melumatnya dengan cukup kuat.

“Aku gak nyalahin kamu, Ra. Kita berdua udah sama-sama dewasa. Makanya aku ngajak kamu nikah karena takut nanti kebablasan. Aku juga gak mau ngelakuin hal itu,” ucap Bian.

“Tapi sebagai lelaki normal, aku gak bisa memungkiri kalau kita bisa khilaf kapan aja. Apalagi kita punya banyak momen berdua dan sama-sama udah punya perasaan,” lanjutnya.

“InsyaaAllah tiga bulan lagi aku pulang ke Jakarta. Kalau kamu oke, saat itu aku akan urus pernikahan kita. Misalnya kamu gak bisa pulang ke Jakarta, kita bisa nikah di sini,” usul Bian.

Ira menelan saliva. Melihat kegigihan Bian, hati Ira pun meleleh. Namun ia bingung bagaimana cara menyampaikannya pada Bian.

“Hem ... kalau kamu bingung jawabnya, aku kasih pilihan, deh,” ucap Bian. Kemudian ia melepaskan dog tag (kalung tentara) yang ia kenakan. Kalung tersebut berisi tentang identitas Bian.

“Kebetulan saat ini kita lagi ada di hutan, jadi aku cuma punya ini,” ucap Bian, sambil menunjukkan liontin kalung yang berbentuk lempengan tarsebut.

“Kalau kamu mau nerima aku, kamu ambil dan pakai kalung ini! Kalau kamu nolak aku, pakaikan kalung ini kembali di leherku!” pinta Bian.

Ira terlihat berpikir. Kemudian ia menatap kalung itu sambil menghela napas. Ia pun dapat melihat tangan Bian sedikit gemetar karena kedinginan. Hal itu membuat Ira jadi tidak tega terhadapnya.

Sehingga Ira pun tak menundanya lagi. Ia mengambil kalung itu, kemudian mengarahkannya ke Bian.

Hati Bian sangat gelisah. Apa yang Ira lakukan membuat Bian yakin bahwa Ira akan menolaknya.

Namun, ternyata Ira memberikan kembali kalungnya terhadap Bian. “Tolong kamu yang pakaikan ini!” pinta Ira.

“Hah?” Bian terkesiap.

“Masa aku pakai sendiri, sih? Katanya kamu mau ngelamar aku?” sahut Ira, santai.

Bian langsung tersenyum. “Jadi kamu mau nerima aku, Ra?” tanyanya, antusias.

Ira menyipitkan matanya. “Jangan ditanya mulu, ah! Nanti aku berubah pikiran, lho,” sahut Ira sambil menyipitkan matanya.

Bian tidak menjawab Ira lagi. Ia pun segera mengalungkan bendar tersebut di leher Ira. “Thanks ya, Ra. Sementara kamu pegang kalung ini dulu. Nanti kalau sudah pulang ke Jakarta, aku akan ganti dengan sesuatu yang lebih berharga,” ucap Bian.

Ia sangat tidak sabar ingin segera pulang ke Jakarta.

“Bagiku yang berharga adalah janji kamu, Bi. Aku harap kamu gak cuma PHP, ya! Aku gak butuh perhiasan atau apa. Cukup tepati janji dan jangan menghilang begitu aja!” pinta Ira.

“Aku mau ngilang ke mana, Ra? Kamu tau kan markas aku? Kamu tinggal lapor aja ke sana, anak buahku juga pasti akan bantu kamu,” ucap Bian.

“Bi, bahkan nomor ponsel kamu aja aku gak tau, lho. Nama lengkap kamu aku juga gak tau, rumah kamu di mana, orang tua kamu siapa ....”

Ira tidak dapat melanjutkan ucapannya karena Bian menutup mulut Ira dengan jarinya.

“Sstt! Kamu lihat data di kalung itu, ada namaku, tanggal lahir dan kesatuanku. Kalau aku ngilang, kamu bisa cari aku pakai kalung itu!” ucap Bian.

“Satu lagi! Mana ponsel kamu?” tanya Bian.

Tadi Ira memang membawa ponsel untuk berfoto-foto. Sementara Bian tidak membawanya karena ia pikir tidak akan ada signal, jadi tidak perlu dibawa.

Ira pun memberikan ponselnya pada Bian. Kemudian Bian mengetikkan nomornya di ponsel Ira.

“Ini nomor ponsel aku, dan ini akun sosial mediaku. Kalau masih kurang, kamu tinggal sebut aja! Nanti aku kasih biar kamu yakin,” ujar Bian, serius.

Sebagai tentara, Bian tidak suka jika diragukan. Sebab ia sudah biasa jujur dan tak pernah ingkar janji. Sehingga Bian berusaha sebisa mungkin untuk membuktikan bahwa ucapannya bisa dipercaya.

“Hehehe, cukup, kok. Ya udah, hujannya udah reda. Kita pulang, yuk!” ajak Ira.

“Ayo!” sahut Bian.

Mereka pun meninggalkan gubuk tersebut. “Ra, nanti pas aku pulang ke Jakarta, aku temuin orang tua kamu. Gak apa-apa kan kalau kamunya masih di sini?” tanya Bian sambil berjalan.

“Iya gak apa-apa. Nanti aku kasih alamatnya,” jawab Ira. Ia tidak keberatan. Namun Ira masih belum menyebutkan siapa orang tuanya.

“Tapi kira-kira mereka bakal nerima aku apa enggak, ya?” tanya Bian. Seandainya ia tahu bahwa dirinya telah dijodohkan dengan Ira, mungkin Bian tidak akan khawatir. Justru ia akan sangat bahagia.

Ira menghentikan langkahnya. Kemudian ia menoleh ke belakang. “Itu tugas kamu. Aku tantang kamu buat naklukin hati orang tuaku. Kalau diterima ya syukur, kalau gak diterima, artinya kamu harus berjuang lebih keras lagi,” sahut Ira sambil tersenyum.

“Kamu kok seneng banget, sih?” tanya Bian, heran.

“Bukan seneng. Aku cuma pingin tau aja, sejauh mana keseriusan kamu. Kalau kamu serius, pasti halangan sebesar apa pun akan kamu lalui,” jawab Ira.

“Oke, siapa takut! Dokter galak aja bisa aku taklukin, apalagi orang tuanya,” jawab Bian, PD.

“Hem ... sombong! Aku buang nih kalungnya!” ancam Ira, sebal.

“Jangan, dong! Kalung itu kan identitas aku. Kalau kamu buang terus ditemuin orang jahat, bisa bahaya,” ucap Bian.

“Ooh iya juga ya. Ya udah aku simpan baik-baik, deh biar aman. Tapi kalau kalung ini ada di aku, terus kamu gimana?” tanya Ira.

“Tenang aja! Aku masih punya cadangan satu lagi, hehe,” jawab Bian.

Ira mengerutkan keningnya. “Aku kira ini spesial, ternyata kamu masih punya cadangan. Jangan-jangan kamu ngasih kalung ini ke banyak cewek, ya?” tuduh Ira.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang