22. Takut Khilaf

12.3K 875 28
                                    

“Nanti juga kamu tau sendiri,” jawab Bian. Ia malah seolah sengaja ingin membuat Ira penasaran.

“Iiih, kamu nih sengaja banget, deh! Ngapain ngomong kalau gak mau ngasih tau aku? Bikin penasarana aj!” ucap Ira, sebal.

“Penasarana aja apa penasaran banget?” ledek Bian.

Ira malah terkekeh jadinya. Ia semakin gemas karena Bian malah menggodanya yang sedang kesal itu.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di rumah Ira.

“Aku mandi dulu, ya. Abis itu baru makan,” ucap Ira.

“Oke,” sahut Bian. Ia pun menunggu Ira di tenda. Sementara Ira masuk ke rumah untuk mandi.

Saat Ira selesai mandi, hari sudah maghrib. Sehingga ia melaksanakan shalat lebih dulu. Pun dengan Bian. Pria itu melaksanakan shalat di tenda.

Selesai shalat maghrib, barulah Ira menyiapkan makanan untuk mereka nikmati bersama.

Ceklek!

Ira keluar dari rumahnya. “Mau makan sekarang?” tanya Ira.

“Boleh,” jawab Bian. Kebetulan ia pun memang sudah lapar.

“Ya udah, tunggu sebentar, ya!” lanjut Ira. Ia pun kembali masuk untuk mengambil makanannya.

Saat hendak kembali keluar, Ira tersenyum. “Kok berasa jadi kayak lagi ngelayanin suami mau makan, sih?” gumamnya, malu-malu.

“Hus! Mikir apa lo, Ra? Gak usah anah-aneh, deh!” ucapnya lagi. Ia tak ingin dirinya terbawa suasana.

Kemudian ia pun membawa makanan itu ke luar dan menaruhnya di meja.

“Ayo makan!” ajak Ira.

Bian yang masih duduk di depan tendanya pun mendekat ke arah Ira dan duduk di sampingnya.

“Wih, makanannya banyak juga. Ini kamu abis sendirian setiap hari?” tanya Bian. Ia tak menyangka ternyata makanan catering Ira cukup banyak.

“Enggak, kok. Ini lauknya aku tambahin sama makanan kaleng yang dibawain abang aku,” jawab Ira.

“Ooh,” ucap Bian. Ia tidak sadar siapa yang dimaksud oleh Ira. Seandainya Bian tahu, entah bagaimana reaksinya.

Mereka pun mulai makan berdua.

Suasana malam di kampung yang sangat jauh dari kota begitu hening. Hanya terdengar suara jangkrik dan katak. Bahkan kendaraan pun tidak ada yang melintas. Pantas saja jika tidak ada Bian, Ira langsung tidur setelah isya. Bahkan ia sudah tidak berani keluar rumah setelah maghrib.

“Akhir pekan ini aku mau pergi ke bukit buat nganter buku sekaligus main sama anak-anak. Apa kamu mau ikut?” tanya Bian.

“Oya? Kayaknya seru, tuh?” tanya Ira.

“Seru banget. Biasanya kalau ke sana, aku main sama mereka. Main sama anak kecil lumayan buat healing. Kita jadi lupa sama kerjaan dan kehidupan kita untuk sesaat. Apalagi di sana pemandangannya sangat indah,” jelas Bian.

“Wah, mau dong. Aku jadi gak sabar, deh. Boleh bawa kamera, kan?” tanya Ira lagi.

“Bolehlah. Masa gitu aja gak boleh. Ini kan bukan tempat khusus,” sahut Bian.

“Ya kali aja ada larangan. Syukurlah kalau begitu. Jadi aku bisa mengabadikan momen berharga aku selama di sini. Kapan lagi kan bisa ke sini lagi. Kalau udah balik ke jakarta  nanti, aku pasti bakalan sibuk,” ucap Ira sambil menghayal.

Tanpa sadar Bian menatap Ira. Ia pun tersenyum saat melihat Ira begitu antusias bercerita. Saat sedang menatap Ira, Bian melihat ada bumbu yang menempel di dekat bibir Ira.

Bian pun mengulurkan tangannya perlahan.

Deg!

Ira tercekat saat menyadari hal itu. Ia berpikiran yang tidak-tidak. Namun anehnya Ira malah diam dan semakin tangan Bian mendekat, Ira malah memejamkan mata.

Set!

Bian mengusap bumbu itu dengan ibu jarinya. “Ada bumbu,” ucap Bian.

Sontak mata Ira langsung terbuka. Wajahnya terasa panas dan memerah. Ia sangat malu karena telah salah paham. “O-oh iya. Udah berasa, tadi mau dilap lupa,” jawab Ira, gugup.

Ira pun jadi salah tingkah karena sangat malu. ‘Astaga, Ira! Keterlaluan banget. Bisa-bisanya kamu berpikiran macam-macam?’ batin Ira. Ia kesal pada dirinya sendiri.

Bian tersenyum melihat gadis itu malu-malu. ‘Emang dia pikir aku mau ngapain sampe nutup mata kayak gitu? Apa dia gak akan nolak kalau aku beneran ... astaga! Mikir apa aku ini,’ batin Bian. Pikirannya pun jadi berkelana.

Akhirnya mereka sama-sama salah tingkah dan melanjutkan makannya dalam diam.

“Wih ... ternyata mereka malah indehoy,” bisik anak buah Bian yang sedang mengintip.

“Nah, aku bilang juga apa, kan. Emang itu tuh cuma modus mereka aja. Biar makin leluasa pacarannya.”

“Jangan-jangan kalau malam, komandan tidurnya bukan di tenda, tapi di dalam rumah dokter, hihihi.”

“Biarin aja, udah sama-sama dewasa ini. Siapa tau bisa cepet-cepet nikah.”

“Ya, mereka memang cocok sih. Awalnya aja sok musuhan. Taunya malah lengket. Pake modus segala pula. Lagu lama.”

“Lihat aja tuh, saking seriusnya, sampe gak sadar ada kita di sini.”

“Jangan-jangan ada setan lewat juga gak tau, hehehe.”

“Aku jadi penasaran. Komandan berani ngapain aja, ya? Secara kan badannya fit gitu. Masa iya gak tergoda sama cewek cantik kayak dokter Ira?”

“Wah, kalau sampe apa yang kita tebak tadi (tidur di rumah Ira) benar. Bisa-bisa dokter Ira dibuat lemas sama Komandan. Secara selama ini kan tidak pernah disalurkan.”

“Kalian ini mikirnya kejauhan. Gak semudah itu! Apalagi mereka kan sama-sama muslim. Gak boleh hubungan sebelum menikah,” tegur salah satu teman mereka.

“Ya gak boleh kalau ada yang tau. Kalau gak ada yang lihat mah gak apa-apa. Anggap aja khilaf. Hahaha.”

Mereka asal bicara. Meski begitu, mereka cukup percaya bahwa Bian tidak akan berbuat macam-macam. Setelah memastikan apa yang mereka tuduhkan, mereka pun pergi meninggalkan tempat itu.

Selesai makan, Ira membereskan piringnya. “Biar aku yang cuci piring!” ucap Bian.

“Lho, jangan! Biar aku aja!” jawab ira.

“Aku kan udah dikasih makan. Setidaknya biarkan aku cuci piring untuk balas budi kamu,” ucap Bian. Kemudian ia mengambil piring kotor dan membawanya ke dapur.

“Ya udah,” ucap Ira. Ia tidak ingin berdebat.

Saat Bian sedang cuci piring. Ira membereskan yang lain. Ia pun mengelap mejanya karena ada sisa makanan yang tercecer.

‘Gini kali ya rasanya kalau udah nikah,’ batin Ira sambil senyum-senyum. Kemudian ia pun masuk ke dalam untuk menaruh tempat nasi karena nasinya masih tersisa.

Saat Ira sudah berada di pintu dapur, ia melihat punggung Bian yang sedang mencuci piring itu. Hatinya pun berdebar-debar dan meronta ingin memeluk punggung yang tegak dan lebar tersebut.

Apalagi leher Bian terlihat begitu jenjang dengan rambut cepaknya.

‘Ya Tuhan, jangan sampai aku khilaf,’ batin Ira.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang