66. Sudah Siap

8.7K 850 52
                                    

Bian terkesiap mendengar ucapan Muh. Tentu saja ia keberatan jika harus dipisahkan lagi dengan Ira, meski hanya sebentar.

"Kenapa seperti itu, Om?" tanya Bian. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan ekspresi keberatan.

"Om tidak mau kalian khilaf!" skak Muh. Ia terlihat begitu serius.

Gluk!

Bian menelan saliva. Ia menyesal karena tadi sudah melampaui batas.

"Maaf, Om. Yang tadi itu khilaf karena terlalu bahagia Ira mau nerima aku lagi. Aku janji selanjutnya gak akan begitu sampai sah nanti," ucap Bian. Ia berusaha memohon agar Muh mau memberikan keringanan pada mereka.

Ia pun berharap Muh hanya bercanda atau bisa menarik ucapannya. Baginya sudah cukup mereka terpisah selama setahun lebih.

"Siapa yang bisa jamin?" tanya Muh. Pertanyaannya terdengar menantang.

"Tapi kan nanti Ira akan menjalani berbagai test untuk nikah kantor. Pasti aku yang harus mengantarnya, kan?" Bian masih berusaha mencari celah.

"Masalah itu biar Bapak yang atur, Bi," ucap Ayah Bian.

Bian pun lemas. Ia kesal karena tidak ada yang membelanya. Ia tidak tahu harus memohon pada siapa lagi.

"Kalian semua tau kan selama ini kami sama-sama harus tersiksa karena terpisah dalam waktu yang cukup lama. Masa sekarang Om tega mau misahin kami lagi?" tanya Bian.

"Justru karena itu. Saat ini rindu kalian pasti sangat menggebu. Jadi kalian bisa khilaf kapan saja. Tadi di tempat umum pun kalian bisa melakukan hal itu. Bagaimana kalau di tempat tertutup? Di mobil misalnya. Entah apa yang akan kalian lakukan nanti," ucap Muh.

"Papah gak percaya sama aku?" tanya Ira, memelas.

"Setelah apa yang papah lihat tadi, kamu masih berani nanya seperti itu, Ra?" skak Muh lagi.

Bian terlihat sangat frustasi. Ia tidak mungkin menikah siri, sehingga tidak bisa menikah dalam waktu dekat. Proses 'nikah kantor' pun cukup memakan waktu. Belum lagi penyuluhan pra nikah yang harus mereka hadiri serta lainnya.

Paling cepat satu bulan pernikahan bisa dilaksanakan. Apalagi jika harus mengadakan resepsi. Ada gladi resik pedang pora dan persiapan lainnya. Tentu akan memakan waktu lebih lama lagi.

Melihat anaknya seperti itu, Irawan jadi tidak tega. "Bagaimana kalau begini saja. Mereka boleh bertemu, tapi harus ada orang ketiga dan menjaga jarak?" usul Irawan.

Bian senang karena ada solusi. Ia tidak keberatan meski harus ada orang ketiga. Asalkan dirinya bisa bertemu dengan Ira kapan saja. Ia pun menatap Muh dengan tatapan penuh harap.

Muh terlihat berpikir. Saat itu tidak hanya bian, tetapi Ira pun seolah memohon padanya. Ia jadi tidak tega jika harus terlalu keras pada mereka.

"Ya sudah kalau memang itu yang kalian inginkan," jawab Muh, dengan berat hati. Sebenarnya ia pun tak tega.

Bian dan Ira langsung tersenyum. Mereka lega karena diizinkan bertemu.

"Tapi ingat! Sekali saja kalian melanggar, Papah gak akan izinkan kalian untuk bertemu lagi sampai sah nanti. Paham!" ucap Muh, tegas.

"Paham," sahut Ira dan Bian, secara bersamaan. Mereka terlihat begitu bersemangat.

"Ya sudah, jadi rencananya kapan kalian akan menikah?" tanya Muh.

"Begini, Om. Sebagai anggota TNI, kami harus 'nikah kantor' lebih dulu. Jadi ada beberapa syarat yang harus Ira penuhi, yaitu berupa dokumen termasuk permohonan izin yang ditandatangani oleh atasan saya. Selanjutnya ... termasuk tes kesehatan."

Bian menjelaskan persyaratan untuk menikah dengan anggota TNI. Ada sekitar 16 macam berkas yang harus dipenuhi. Sehingga akan memakan waktu yang cukup lama.

"Wah, repot juga, ya. Gimana, Ra? Kamu keberatan, gak?" tanya Muh. Sebenarnya ia tahu Ira pasti mau. Namun Muh hanya ingin mengetesnya.

"Enggak, Pah," sahut Ira. Ia sudah siap dengan segala konsekuensinya.

Setelah itu Muh dan Irawan saling melirik. Irawan pun tersenyum sambil menoleh ke arah Bian.

Menyadari hal itu, Bian jadi bingung. "Ada apa, Pak?" tanyanya.

"Sepertinya kamu semangat sekali sampai sudah hafal semua syaratnya," ledek Irawan, sambil tersenyum.

"Ya kan aku serius mau nikah, Pak," jawab Bian, memelas.

Sebenarnya ia dan Muh sudah mempersiapkannya secara diam-diam. Saat Bian sedang dirawat di rumah sakit karena tertusuk, Irawan memohon pada Muh. Sehingga mereka sepakat untuk melengkapi semua berkas Ira.

Sebagai Jendral, tentu Irawan bisa mempermudah syarat pernikahan anaknya. Kala itu ia beralasan karena Bian sedang sakit dan Ira sibuk bekerja. Sehingga ia sendiri yang mengurus semuanya.

"Begini. Kebetulan untuk semua keperluan berkas Ira sudah disiapkan dan sudah dilaporkan. Jadi kalian hanya perlu mendaftar pernikahan ke KUA dan sebelumnya menghadap ke atasan kamu lebih dulu," ucap Irawan.

Tubuh Bian meremang. Hidungnya kembang kempis karena terlalu bahagia. Padahal tadi ia sudah tertekan karena harus menunggu lama agar bisa sah. Namun ternyata orang tuanya sudah mengatur sedemikian rupa.

"Serius, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Iya. Dokumen untuk pendaftaran nikah pun sudah siap. Jadi kalau kamu mau nikah lusa, bisa saja asalkan penghulunya bersedia," canda Irawan.

"MasyaAllah ... terima kasih, Pak," ucap Bian. Ia langsung memeluk bapaknya. Bian sangat senang karena bapaknya itu sangat pengertian.

"Iya, Bapak tahu selama ini kalian cukup menderita. Jadi kami tidak ingin menunda kebahagiaan kalian lagi," ucap Irawan, sambil mengusap punggung Bian.

"Jadi kalau nikah lusa, masih gak bisa buat dipingit juga?" ledek Muh.

Bian tersipu malu. "Jangan, Om. Hehehe," jawabnya.

"Ya sudah. Rencananya kalian mau langsung resepsi atau bagaimana?" tanya Muh lagi.

"Aku sih terserah Ira. Tapi kalau bisa, gak usah," jawab Bian. Ia sudah tidak ingin ada resepsi. Baginya yang penting sah.

"Gak bisa begitu dong, Bi! Kamu ini kan anak sulung Bapak. Kolega Bapak juga banyak. Masa gak resepsi?" tegur Irawan.

"Ya kan tadi ditanya. Aku maunya begitu. Tapi kalau harus ada resepsi juga gak masalah. Cuma kalau bisa, resepsinya bulan depan atau dua bulan lagi. Jadi kami bisa bulan madu dulu, hehe," ucap Bian, jujur.

"Kamu ini!" tegur Irawan.

Mereka semua geleng-geleng melihat sikap Bian.

"Kamu gimana, Ra?" tanya Muh.

"Aku setuju, Pah," jawab Ira, malu-malu.

"Kayaknya mereka kalau dinikahkan malam ini pun setuju," sindir Muh.

"Sepertinya begitu," sahut Irawan.

"Kalau bisa, kenapa enggak? Lebih cepat lebih baik," jawab Bian. Hatinya berdebar-debar membayangkan akan menikah dalam waktu dekat.

Meski ia sudah berencana menikahi Ira, tetapi Bian pikir setidaknya bulan depan mereka baru bisa menikah. Sehingga ketika mengetahui bahwa mereka bisa menikah lebih cepat, kebahagiaan Bian begitu membuncah. Ia pun jadi semakin tidak sabar untuk menghalalkan hubungannya dengan Ira.

"Udah kamu gak usah ngelunjak! Nanti Om suruh mundur lagi baru nyahok!" ledek Muh.

***

Assalamualaikum, maaf ya JM udah tiga hari ini sakit. Kemarin tepar, jadi sama sekali gak bisa update.

Terima kasih.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang