35. Maunya Tentara

10.1K 907 44
                                    

Saat Bian yakin pesawat yang Ira tumpangi telah mengudara, ia pun meninggalkan bandara tersebut. Sata itu hari masih siang, sehingga masih ada pesawat komersil yang terbang ke perbatasan.

Di jalan, Ira hanya bisa bersantai sambil membaca buku. Saat merasa bosan, ia pun memilih untuk tidur. Ia tidak sadar, saat pesawat yang ia tumpangi transit di makasar, ada penumpang pria yang duduk di sebelahnya.

Kala itu Ira tetap terlelap karena semalam ia bergadang. Akan berpisah dengan Bian selama dua bulan, membuat Bian dan Ira menghabiskan waktu lebih lama dan tidak rela untuk tidur cepat.

Setelah duduk di samping Ira, pria itu hanya menoleh sekilas ke arah Ira. Kemudian ia asik membaca buku.

Saat pesawatnya tengah mengudara kembali, tiba-tiba kepala Ira bersandar di bahu pria tersebut. Sehingga pria yang sedang asik membaca buku itu menoleh ke arahnya.

Ia ingin membangunkan Ira. Namun tidak enak hati. Akhirnya ia membiarkan Ira tetap terlelap dalam posisi seperti itu selama satu jam lebih.

Beberapa jam kemudian, Ira yang posisinya telah berubah itu terbangun. Sehingga ia tidak sadar bahwa tadi sempat meminjam bahu pria yang duduk di sebelahnya itu.

“Permisi!” ucap Ira pada pria itu. Ia ingin pergi ke toilet. Sehingga harus melewati pria tersebut.

“Silakan!” jawab pria itu. Ia pun bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. Sebab, rasanya sangat aneh jika dirinya tiba-tiba mengatakan apa yang Ira lakukan saat tidur tadi.

Ira ke toilet untuk buang air kecil dan mencuci wajah. Sebab sebentar lagi mereka akan mendarat.

Saat sedang berada di toilet, Ira senyum sendiri. Ia tiba-tiba teringat momen bersama Bian.

“Duh! Belum apa-apa udah kangen aja,” gumam Ira.

Tak lama kemudian ia pun kembali ke kursinya. “Ya ampun, ternyata udah jam segini. Lama juga aku tidur,” gumam Ira.

Pria tadi melirik ke arahnya. Ia merasa terusik karena Ira yang tidur di bahunya itu tidak menyadari bahwa ia terlelap dalam waktu yang cukup lama.

Saat pilot mengumumkan bahwa mereka akan mendarat, Ira pun bersiap. Kemudian ia duduk dengan tenang tanpa menghiraukan pria di sebelahnya itu.

Tentu saja ia tidak mengucapkan terima kasih, apalagi kata maaf. Sebab ia tidak sadar atas apa yang telah ia lakukan. Jika sadar, mungkin Ira akan sangat malu.

Setelah pesawat mendarat, Ira pun membiarkan orang-orang turun lebih dulu. Namun ia heran pria yang di sebelahnya pun masih santai seperti dirinya.

“Kamu gak turun?” tanya Ira. Sebab saat itu posisi pesawat sudah hampir kosong.

Pria itu pun menoleh ke sekelilingnya. “Nunggu sepi. Biar gak berdesakan,” jawabnya.

“Ooh, oke,” sahut Ira, tanpa dosa.

Setelah pesawat sepi, mereka berdua pun turun dan pergi ke tujuan masing-masing. Sebelumnya mereka pergi ke bagian bagasi untuk mengambil koper.

Saat keluar dari bandara, Ira melihat ada Zein dan Intan yang sengaja datang menjemputnya. Mereka merasa berhutang budi pada adiknya itu. Sehingga menjemput Ira secara khusus.

“Hem ... bagus, kalian tau caranya membalas budi,” ucap Ira sambil tersenyum. Kemudian ia memeluk mereka satu per satu.

“Ya ampun, punya adik begini amat. Bukannya berterima kasih, tapi malah ngomong begitu. Nyesel aku jemput kamu meski lagi sibuk,” ucap Zein.

“Aku juga nyesel udah gantiin Mbak Intan. Kalian tega, ya! Ngadain resepsi tanpa aku. Sebel, deh,” ucap Ira.

“Hehehe, ya mau gimana lagi. Kondisinya darurat,” ucap Zain sambil mengusap perut Intan.

“Aaa, aku mau punya keponakan,” ucap Ira sambil memeluk Intan lagi. Ia sangat bahagia karena kakak iparnya itu tengah mengandung.

“Alhamdulillah,” jawab Intan. Ia pun senang mendapat sambutan seperti itu.

Saat mereka sedang berbincang, tiba-tiba pria tadi menyapa Zein. “Sore, Prof!” sapa pria itu. Kebetulan tadi Zein melihat Ira keluar hampir bersamaan dengan pria itu.

“Sore! Wah, dokter Arga, ya?” tanya Zein. Saat melihatnya dari dekat, Zein pun mengenali dokter itu.

“Iya, apa kabar, Prof?” sapa dokter tersebut.

“Alhamdulillah kabar baik. Kalian barengan?” tanya Zein sambil menunjuk Ira dan Arga.

“Enggak, Bang! Aku gak kenal,” jawab Ira, cepat. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka. Jika sampai Bian mendengarnya, bisa bahaya.

“Tidak, Prof. Kebetulan kami naik pesawat yang sama,” jawab pria itu.

Ira pun menoleh. “Oh, Mas yang tadi duduk di sebelah aku, ya?” tanya Ira.

Pria itu mengangguk sambil tersenyum.

“Kamu gimana, sih? Duduk di sebelahnya masa gak sadar?” tanya Zein.

“Hehehe, sorry, aku tadi ngantuk banget, jadi tidur sepanjang jalan,” jawab Ira.

“Kamu tuh perempuan sembarangan banget. Masa tidur sepanjang jalan? Kalau diculik, gimana?” tegur Zein.

“Ya namanya juga capek, Bang. Kan aku habis kerja keras di perbatasan,” sahut Ira, sambil menyindir Zein.

“Bisa aja, kamu. Oke, kalau begitu kami duluan ya, Dok,” ucap Zein, pamit pada Arga.

“Oh iya, silakan, Prof!” sahut Arga.

Zein pun mengajak Ira menuju ke parkiran. Hubungannya dengan Arga tidak terlalu dekat, sehingga mereka hanya saling sapa.

“Kamu yakin tadi cuma tidur?” tanya Zein.

“Ya tidur, emang ngapain?” sahut Ira.

“ya, siapa tau kenalan sama dokter tadi. Dia salah satu dokter muda dengan skill terbaik, lho,” ucap Zein.

Sedikit banyak Zein mengetahui tentang Arga. Sebab Arga pernah menjadi mahasiswa bimbingannya.

“Duh, gak deh, aku gak butuh dokter,” ucap Ira sambil tersenyum.

“Iya kamu emang gak butuh dokter. Tapi kamu kan butuh pendamping,” ucap Zein sambil memicingkan matanya.

“Emm ... maksudku, aku gak butuh pendamping dokter. Yang lain aja, hehe,” jawab Ira.

“Yang lain tuh apa?” tanya Zein.

“Ya apa aja. Tentara, misalnya,” sahut Ira, memberi kode.

“Wah, jangan-jangan udah punya calon, nih?” ledek Intan.

“Ada, deh!” sahut Ira. Ia belum berani mengatakannya. Ira baru akan memberi tahu keluarganya tentang rencana pernikahan mereka, jika Bian sudah datang ke Jakarta. Sebab selama Bian masih di perbatasan, hubungan mereka masih belum pasti.

Ira tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Sehingga ia tidak berani jika belum ada kepastian.

“Kamu beneran udah punya calon, Ra?” tanya Zein.

Ira hanya senyum-senyum.

“Jangan-jangan calonnya beneran tentara, ya?” tebak Intan.

Zein langsung menoleh ke arah Ira. “Kamu gak kepincut sama tentara di perbatasan kan, Ra?” tanya Zein.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang