"Iya sih, Bi. Tapi aku sayang kamu, aku gak sanggup kehilangan kamu lagi, Bi," ucap Ira sambil memeluk Bian.
"Yang penting kamu selalu doain aku aja, Sayang. Lagian untuk sementara kondisinya sudah kondusif. Mereka semua sudah ditangkap dan diamankan oleh polisi," jelas Bian.
"Kok polisi?" tanya Ira.
"Iyalah. Masalah kejahatan itu kan sebenarnya urusan polisi. Tapi karena sejak awal mereka berhubungan sama aku di perbatasan, jadi kami pun turun tangan. Apalagi aku yang jadi incaran mereka. Tapi untungnya kepolisian dan mantan bos mafianya mau bantu."
"Terus kenapa kamu bisa terluka?" tanya Ira.
"Yah, namanya juga menghadapi orang jahat malem-malem. Waktu itu aku lengah karena takut kamu diambil orang. Jadi begini, deh," canda Bian.
"Kalau takut aku diambil orang, harusnya gak digantungin begitu, dong!"
"Dih, ngomongnya balik lagi. Masa aku harus jelasin dari awal?" keluh Bian.
"Hehehe, tapi kalau ternyata aku diambil orang, gimana?" tanya Ira.
"Aku yakin kamu itu jodoh aku, jadi apa pun kondisinya, pasti balik ke aku," ucap Bian, yakin.
Ira menyipitkan matanya. "Pede kamu tuh over dosis, ya?"
"Lho, ini kan udah terbukti, Sayang. Buktinya sekarang kita nikah. Padahal udah setahun lebih aku ngilang. Mungkin karena kamunya juga terlalu bucin sama aku. Jadi biar ngilang juga tetep ditungguin," ledek Bian, sambil tersenyum.
Ira langsung mencebik. "Cih! Kayak yang enggak aja. Kalau gak, ngpaian kamu sampe pura-pura gak kenal? Katanya demi ngelindungin aku?" sahut Ira, sebal.
"Hehehe, bercanda, Sayang. Intinya kita itu sama-sama bucin. Jadi gak ada yang perlu diragukan lagi, hem," ucap Bian sambil mencubit pipi Ira.
"He'em," sahut Ira.
"Tapi aku minta maaf, ya. Karena tugasku ini, badan aku jadi gak mulus. Banyak bekas lukanya," ucap Bian.
Sebenarnya ia sedikit minder karena di tubuhnya banyak bekas luka. Entah luka sayatan, jahitan, maupun luka tembakan.
Ira menatap suaminya. "Gak masalah. Justru luka itu jadi mengingatkan aku bagaimana perjuangan kamu. Kamu lelaki hebat dan tangguh kebangganku," puji Ira sambil menangkup sebelah pipi suaminya.
"Alhamdulillah ... jujur aja awalnya aku sempet takut. Takut kamu illfeel lihat badan aku," ucap Bian.
"Ngapain illfeel? Lagian mau badan kamu kayak apa juga gak ngaruh, yang penting kan goyangannya, mantap," ucap Ira, genit.
"Hem ... jadi kamu mau digoyang lagi, nih? Ayo!" ucap Bian, bersemangat.
"Iiih, orang cuma bercanda, juga. Kamu semangat banget, sih!"
"Ya kalau aku mah serius, hehehe."
"Udah, ah. Nanti dicariin Papah, lho. Kamu kan gak salat subuh di masjid."
"Eh iya. Ya udah, kita sarapan, yuk!" ajak Bian.
"Ayok! Kamu mau sarapan apa?" sahut Ira.
"Enaknya sarapan apa, ya? Kamu mau jogging, gak?" Bian malah menawarkan yang lain.
Ira langsung memicingkan matanya ke arah Bian. "Enak aja jogging. Kamu gak tau ini lutut aku masih lemas gara-gara kamu, hem?" Ira langsung protes.
"Hehehe, ya kali kamu masih semangat buat olah raga. Makin rajin olah raga kan makin bugar. Jadi bisa lebih tahan lama," sahut Bian, nakal.
"Ogah! Hari ini aku mau istirahat aja di kamar." Ira menolaknya mentah-mentah.
"Oooh, itu maksudnya kode, ya?" goda Bian.
Ira mengerutkan keningnya. "Kode apaan?" tanyanya, heran.
"Kode, kalau kamu pingin main sama aku seharian di kamar," bisik Bian.
"Hiiih, Bian! Nyebelin. Aku nyesel kemarin langsung nerima kamu. Tau gitu tadinya aku pacaran dulu sama cowok lain!" ucap Ira, kesal.
"Emang bisa? Bukannya di hati kamu udah gak ada tempat buat cowok lain, ya?" ledek Bian, yakin.
"Terus aja terusss ledekin aku! Nanti malem aku gak kasih jatah!" ancam Ira. Kemudian ia berjalan meninggalkan kamar.
"Eh, jangan dong! Masa masih anget udah dianggurin. Nanti aku gak bisa tidur," rengek Bian sambil membuntuti istrinya.
"Biarin! Lagian aku diledekin terus. Aku kesel!" sahut Ira.
"Tapi pas lagi gitu mah gak kesel, ya? Nanti paling aku godain juga kamu yang gak tahan," bisik Bian yang berjalan di belakang Ira.
"BIAN!" pekik Ira sambil memukul lengan Bian. Rani yang ada di bawah pun sampai mendengarnya.
"Ada apa, Ra?" tanyanya.
"Hayoloh!" ledek Bian.
"Haish! Kamu, sih!" geram Ira.
"Enggak, Mah. Ini si Bian bercanda aja," sahut Ira. Setelah itu ia pun turun menghampiri mamahnya.
"Kamu tuh sama suami manggilnya yang sopan dong, Ra! Masa manggil nama kayak gitu?" tanya Rani.
"Hehehe, udah kebiasaan, Mah. Emang kamu mau dipanggil apa, Bi?" Ira malah bertanya pada Bian.
"Aku sih apa aja senyamannya kamu," jawab Bian.
"Jangan dong, Bi! Apalagi kamu tuh punya anak buah, kalau mereka denger Ira manggil nama, nanti dikira Ira gak menghargai kamu," nasihat Rani.
"Ya udah iya. Maaf ya, Bi. Aku gak bermaksud gak sopan sama kamu. Aku cuma merasa udah nyaman aja sama panggilan itu. Nanti dipikirin lagi deh baiknya manggil apa," ucap Ira.
"Iya, santai aja. Aku juga gak masalah, kok," sahut Bian.
"Lagi bahas apa, nih?" tanya Zein yang baru saja tiba.
Ia dipanggil oleh orang tuanya untuk sarapan bersama. Mereka sengaja ingin anak-anaknya berkumpul demi menyambut Bian sebagai keluarga baru.
"Eh, Bang Zein," sapa Bian. Ia berusaha bersikap seramah mungkin pada Zein. Meskipun dulu mereka sempat bersaing demi Intan.
"Ehh, ada cucu Moma," ucap Rani. Ia pun menghampiri Intan dan bayinya yang sangat menggemaskan itu.
"Gimana hari pertama menikah? Nyesel, gak?" tanya Zein. Ia pun sudah ikhlas dan menerima keadaan. Baginya saat ini yang terpenting adalah kebahagiaan Ira.
"Nyesel sih, Bang," jawab Bian sambil tersenyum.
"Kamu nyesel?" tanya Ira dengan nada tinggi.
"Iya, nyesel kenapa gak dari dulu, hehe," sahut Bian.
"Iiih, dasar! Hampir aja aku mau usir kamu," ucap Ira, sebal.
"Kamu tuh udah nikah masih aja suka ngegas! Direm dikit, dong," tegur Zein.
"Makanya gak usah mancing-macing!" skak Ira.
Intan tersenyum. Ia sudah tidak aneh melihat kelakuan mereka berdua. "Ya udah, pengantin baru gak usah marah-marah. Lebih baik sarapan! Buat gantiin energi yang hilang," goda Intan, sambil duduk di kursi yang sudah ditarik oleh Zein.
Sebenarnya Bian sudah tidak ada rasa pada Intan. Namun ia masih canggung untuk menyapanya. Khawatir Zein tidak suka dan salah paham. Sehingga ia hanya tersenyum saat melihat Intan.
"Ya udah, kalian makan aja dulu! Mamah mau main sama cucu," ucap Rani.
"Lho, Mamah gak sarapan?" tanya Intan.
"Kamu aja duluan! Ibu menyusui kan pasti lebih mudah lapar. Mamah bisa belakangan, lagian tadi udah makan buah," jelas Rani.
"Kamu kayak gak hafal Mamah aja. Kalau udah ketemu sama cucunya kan suka lupa dunia," ledek Muh yang baru saja muncul.
"Halah, Papah juga sama aja. Paling nanti kalau udah selesai sarapan, Zaydin (nama anak Zein) direbut dari Moma," sahut Rani, sebal.
"Ya kan biar Moma sarapan," ucap Muh, tidak mau kalah.
"Ya udah, kalau debat terus kapan makannya?" tanya Zein.
![](https://img.wattpad.com/cover/311127211-288-k11423.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...