06. Menolong Ira

13.7K 984 37
                                    

Bian dan yang lain terperanjat saat mendengar ada suara ledakan. “Aku tidak bisa menunggu lagi. Kalian pergi ke markas dan siapkan pasukan untuk menyusuri seluruh sudut hutan ini!”

Sebagai komandan, Bian mengarahkan anak buahnya.

“Tapi, Ndan! Ini sangat berisiko jika Komandan pergi ke hutan sendirian,” ucap anak buah Bian. Ia tidak tega meninggalkan Bian sendirian.

“Ini perintah! Aku tidak ingin sampai ada korban. Kamu sudah tahu apa yang harus dilakukan, kan? Aku membawa ini. Tolong kalian standby! Nanti akan aku kabari jika sudah menemukan lokasinya,” ucap Bian dengan tegas, sambil menunjukkan ponsel khusus-nya.

Ponsel itu merupakan ponsel yang memiliki radar kuat. Sehingga masih bisa aktif meski berada di pedalaman atau tengah hutan. Ponsel tersebut pun memiliki GPS. Sehingga mudah ditemukan jika menghilang di tengah hutan.

“Siap Komandan!” ucap kedua anak buah Bian dengan suara lantang, sambil memberikan hormat.

Berbekal ponsel dan beberapa senjata yang ada di seragamnya, Bian pun berlari ke arah timur untuk mencari Ira.

“Sial!” maki Bian. Ia kesal karena sudah kecolongan. Meski sering bertengkar, tetapi bukan berarti Bian akan diam saja ketika Ira sedang dalam bahaya.

Bian tidak mengeluarkan suara saat masuk ke hutan. Ia khawatir jika penculik Ira menyadari kehadirannya, mereka akan mencelakai Ira.

‘Semoga mereka belum melakukan seuatu yang fatal,’ batin Bian.

Saat Bian sedang berjalan, ia mendengar ada suara langkah mendekat ke arahnya. Ia pun langsung memanjat pohon untuk bersembunyi.

Beberapa saat kemudian, ada dua orang melintas. Kedua orang tersebut memegang senapan laras panjang. Mereka berbincang dengan bahasa daerah yang sedikit banyak sudah Bian pahami.

Dari perbincangannya, Bian dapat menebak bahwa mereka adalah salah satu komplotan dari orang yang menyulik Ira.

‘Aku harus membuntuti mereka,’ batin Bian. Ia pun turun dari pohon dan berjalan perlahan untuk membuntuti mereka.
Awalnya Bian dapat membuntuti mereka dengan mulus. Namun kemudian ia menginjak ranting. Hingga akhirnya mereka menyadari bahwa sedang dibuntuti oleh Bian.

Krek!

Bian langsung berjongkok kala mendengar suara ranting yang ia injak itu.

Sementara kedua orang tadi langsung menoleh.

Melihat ada orang berseragam, dua orang itu pun menodongkan senjata pada Bian. “Jangan bergerak!” ucap mereka.

Sontak saja Bian langsung mengangkat kedua tangannya. Tanda bahwa ia tidak akan melawan. ‘Mungkin ada baiknya jika aku ditangkap oleh mereka. Setidaknya aku bisa mengetahui di mana keberadaan dokter Ira,’ batin Bian.

Akhirnya Bian pun pasrah saat diringkus oleh mereka dan dibawa ke markas orang-orang tersebut.

Bian pura-pura lemah di hadapan mereka agar mereka tidak terlalu waspada. Beruntung sebelumnya ia telah menyembunyikan ponsel miliknya. Sehingga ia masih bisa mengirimkan signal pada anak buahnya nanti.

Markas mereka tidak terlalu besar, sehingga ketika Bian tiba di sana, ia langsung dimasukkan ke ruangan tempat Ira disekap.

“Awas kalau kamu macam-macam!” ancam orang-orang itu, sambil menodongkan senjata.

Saat itu tangan dan kaki Bian sudah diikat. Sehingga mereka yakin Bian tidak akan bisa kabur. Sedangkan Ira yang sedang pingsan, digeletakkan begitu saja.

Mereka bukan orang yang pernah mengenyam pendidikan, sehingga logikanya kurang lancar.

Beruntung saat itu bos mereka belum datang. Sehingga Bian dan Ira tidak langsung dieksekusi.

“Kenapa kalian bawa dia ke sini?” tanya salah seorang anggota mereka setelah melihat Bian dimasukkan ke ruangan tersebut.

“Memangnya kenapa? Kan bagus kalau kami menangkap banyak orang,” sahut orang itu.

“Tapi kan dia bukan orang sembarangan, bodoh! Kamu tidak melihat seragamnya?”

“Justru karena dia berseragam akan lebih baik. Ibarat menangkap ikan, kami mendapat tangkapan lebih besar, toh?” Orang yang menangkap Bian pun merasa benar.

“Tapi bagaimana jika dia kabur dan membocorkan tentang keberadaan markas kita?”

“Mana mungkin dia bisa kabur? Markas ini kan dijaga ketat. Apalagi tangan dan kakinya diikat. Sudahlah, bos pasti akan senang jika mengetahui kita menangkap mereka!”

Bian dapat mendengar percakapan itu. Hingga akhirnya ia dapat merasakan bahwa orang-orang itu sudah pergi dari tempat tersebut.

Bian menoleh ke arah Ira. ‘Untunglah dia masih aman,’ batin Bian. Ia lega saat melihat kondisi Ira baik-baik saja. Sebab, jika terjadi ‘sesuatu’ terhadap Ira pasti kondisinya akan berantakan.

Lagi pula jarak waktu ia tiba di tempat itu tidak terlalu jauh dengan hilangnya Ira.

Bian ingin membangunkan Ira. Namun ia khawatir suaranya akan terdengar dari luar. Sehingga Bian mengguncang-guncang tubuh Ira dengan kakinya yang diikat itu.

Tidak mudah bagi Bian untuk membangunkan Ira. Ia baru berhasil setelah satu jam berlalu. Ira pun membuka matanya dengan berat.

“Sshh, di mana ini?” gumam Ira sambil mengerungkan wajahnya. Ia pun terkejut saat melihat ada orang di sana.

“Hsstt! Jangan berisik! Kita sedang disekap,” bisik Bian.

Ira terkejut saat menyadari bahwa pria yang ada di sampingnya itu adalah Bian. Ia langsung duduk dan menjauh dari Bian.

“Ini bukan saatnya untuk bertengkar. Kita sama-sama sedang disekap. Jadi harus ada kerja sama agar bisa bebas dari tempat ini,” ucap Bian, pelan-pelan.

Mata Ira pun memindai ke sekeliling. Mereka berada di ruangan yang sedikit gelap dan hanya memiliki cahaya yang berasal dari celah-celah dinding kayu tersebut.

Markas yang ada di tengah hutan itu memang sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu. Sebab tidak mungkin mereka membawa material dari luar karena lokasinya jauh dari mana-mana.

“Ya Tuhan, tempat apa ini?” gumam Ira sambil mengedarkan matanya ke sekeliling.

“Tolong jangan berisik supaya mereka tidak datang ke sini!” ucap Bian.

Markas itu terdiri dari dua lantai. Saat ini mereka disekap di ruangan yang ada di lantai dua.

Atap bangunan terbuat dari jerami. Sehingga masih ada cahaya yang masuk dari celah-celah.

Markas itu pun terdiri dari dua bangunan yang disambung oleh jembatan. Sebagian besar ruangan sudah terisi oleh anggota mereka. Sehingga hanya tersisa ruangan yang merupakan sebuah gudang penyimpanan senjata tersebut untuk menyekap mereka.

Ira pun langsung diam. Ia percaya bahwa Bian lebih paham dalam menghadapi situasi seperti ini.

“Tolong lepaskan ikatanku! Aku akan mengirim pesan ke markas,” ucap Bian, pelan. Ia bicara dengan sopan pada Ira.

Ira mengangguk. Ia sangat patuh dan langsung berusaha membuka ikatan Bian.

“Susah,” ucapnya. Ia pun terlihat kesulitan untuk melepaskan ikatan tersebut, sebab ia tidak dapat melihatnya dengan baik.

“Bukanya pelan-pelan! Jangan langsung ditarik begitu! Ikuti alurnya dan tarik ke arah berlawanan,” ucap Bian.

Akhirnya Ira mengangkat sedikit tangan Bian agar terkena cahaya. Kemudian berusaha melepaskan ikatannya lagi dengan teliti.

“Nah, udah kebuka,” ucap Ira.

“Argh!” Bian merasa tangannya kaku. “Thanks, ya,” ucapnya pada Ira.

“Ya,” sahut Ira. Ia sedikit malu karena tidak biasanya mereka akur seperti itu.

“Tolong kamu lihat ke sana!” ucap Bian.

“Kenapa?” tanya Ira, heran.

“Aku mau buka celana,” sahut Bian.

***

Wkwkwk, main buka celana aja, Bi! 

See u, 

JM. 

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang