46. Posesif

9.5K 830 27
                                    

Ira menghela napasnya. Ia sudah bingung bagaimana cara melarang Bian lagi. Akhirnya ia pasrah meski Bian ingin mengantarnya ke Jakarta.

“Dasar batu!” ucap Ira, kesal.

“Kamu nih diperhatiin malah bilang begitu,” keluh Bian.

“Kamu tuh diperhatiin malah keukeuh. Aku kan khawatir kamu kenapa-kenapa!” sahut Ira.

“Gini aja, deh. Kamu kan dokter, kamu bisa cek kondisi aku dulu sebelum jalan! Kalau memang aku gak sehat, aku gak akan ikut kamu ke Jakarta,” tantang Bian.

“Gimana ngeceknya?” tanya Ira. Ia bingung karena dirinya tidak membawa alat medis.

“Ya terserah. Disun, kek. Atau dipeluk, gitu!” canda Bian.

“Kamu mah! Mana ada meriksa kayak gitu. Jangan mesum, kenapa!” keluh Ira.

“Masa minta sun sama calon istri sendiri mesum?” tanya Bian.

“Tapi kan gak boleh. Bukan mahrom!” ucap Ira, ketus.

“Kemarin-kemarin waktu di perbatasan, boleh?” tanya Bian.

“Itu kan khilaf!” jawab Ira, sebal.

“Ooh, khilaf bisa berkali-kali, ya?” ledek Bian sambil tersenyum.

Ira tidak menjawab Bian lagi. Ia kesal karena Bian selalu bisa meledeknya.

Tak lama kemudian anak buah Bian datang. “Permisi!” ucapnya. Ia sungkan masuk ke ruangan itu karena ada Ira di sana.

“Aku mau ke Jakarta. Kalian tunggu hasil test aku di sini! Besok kalau hasilnya sudah keluar, kalian bisa langsung pulang ke Timur!” perintah Bian.

“Tapi bagaimana kalau Jendral bertanya?” tanya anak buah Bian.

“Katakan saja kalau aku sedang mengantar calon istriku,” jawab Bian sambil menggenggam tangan Ira dan melirik ke arahnya.

Tentu saja hal itu membuat Ira sangat bahagia. Ia merasa dianggap spesial karena Bian mengucapkan hal itu.

“Siap, Komandan!” jawab mereka.

“Tapi bagaimana dengan perawatan Komandan?” tanya anak buah Bian lagi.

“Aku tidak butuh perawatan. Aku hanya butuh kasih sayang,” jawab Bian, percaya diri.

Sontak saja anak buah Bian belingsatan. ‘Duh, nasib jomlo gini amat, sih,’ batin anak buah Bian.

Sementara itu Ira malu pada anak buah Bian karena sikap kekasihnya itu. “Kamu, nih!” ucap Ira.

Bian hanya tersenyum melihat mereka semua tidak nyaman.

“Kalau begitu biar kami infokan ke perawat dulu ya, Ndan,” ucap anak buah Bian. Mereka ingin segera pergi dari ruangan tersebut.

Setelah anak buah Bian pergi, Ira pun protes pada calon suaminya itu. “Kamu gimana, sih? Masa genit begitu di depan anak buah sendiri?” tanya Ira, kesal.

“Emang kenapa? Kan gak ada salahnya berbagi kebahagiaan,” jawab Bian, santai.

“Halah! Alesan berbagi kebahagiaan. Bilang aja kamu mau bikin mereka iri!” skak Ira.

“Kok tau? Hehehe, iya aku seneng aja kalau lihat mereka iri. Soalnya biasanya mereka yang pamer. Jadi sekarang giliran aku yang bikin mereka belingsatan,” jawab Bian, jujur.

“Iiih, kamu nih! Dasar, ya. Rese banget!” ucap Ira, sebal.

Beberapa saat kemudian, perawat datang ke ruangan Bian.

“Selamat malam,” ucap perawat.

“Malam, Sus! Saya mau keluar sekarang juga. Untuk administrasi dan yang lainnya akan diurus oleh anak buah saya,” jawab Bian.

Awalnya suster hendak melarang Bian pergi. Namun Bian langsung memotong kala suster hendak buka suara.

“Saya tidak ingin berdebat. Ini ada urusan penting, jika urusan saya bermasalah, apa suster mau bertanggung jawab?” ancam Bian.

Ira langsung memelototi Bian. Ia tak menyangka Bian sangat pandai menekan orang lain.

“Baik, Mas. Kalau begitu saya lapor pada dokter dulu,” jawab suster.

“Kelamaan! Mana surat pernyataannya, biar saya tanda tangani sekarang! Setelah itu terserah kamu mau lapor atau apa!” jawab Bian.

Ia tahu jika meminta pulang sebelum diizinkan oleh dokter, dirinya harus menandatangani surat pernyataan. Sehingga jika terjadi sesuatu di kemudian hari, rumah sakit tidak bisa dimintai pertanggung jawaban.

“Baik, Mas,” jawab suster. Ia takut dengan Bian yang tegas itu.

“Ya ampun, kamu nih keterlaluan banget, ya!” ucap Ira, kesal.

“Harusnya kamu bangga! Ini kan perjuangan aku biar bisa nganterin kamu pulang,” ujar Bian.

“Serah!” ucap Ira, kesal.

Beberapa saat kemudian, Bian sudah bisa keluar dari ruangan tersebut. Ia pun menggandeng tangan Ira menuju ke lobby. Setelah itu mereka naik ke taksi untuk menuju ke bandara.

“Kamu lapar, gak?” tanya Bian.

“Menurutmu?” sindir Ira.

“Iya aku tau kamu lapar, kalau begitu kita makan dulu, ya!” ajak Bian sambil menggenggam tangan Ira. Ia seolah tak ingin melepaskan genggaman itu.

“Bi!” panggil Ira.

“Hem?” sahut Bian.

“Ini gak bisa dilepas, ya?” tanya Ira sambil menunjukkan genggaman tangan mereka.

“Kayaknya gak bisa sih, udah nempel,” sahut Bian, tanpa dosa.

“Ya Allah, naudzubillah. Amit-amit ih, Bi! Kamu ngomongnya jangan sembarangan, deh!” keluh Ira, kesal.

Bian tersenyum. “Tapi aku maunya begitu. Biar bisa sama-sama dengan kamu terus,” ucap Bian.

“Cih! Gembel!” cibir Ira.

“Hah?”

“Gombal!” sentak Ira, kesal.

“Ini belum seberapa. Kalau udah nikah nanti, kamu bakalan lebih sering denger ucapan aku yang bisa bikin kamu inget aku terus,” bisik Bian, genit.

“Apaan, sih!” ucap Ira sambil tersenyum.

Saat ini mereka sedang kasmaran. Sehingga dunia serasa milik berdua. Padahal sejak tadi ada sopir taksi yang merasa risih mendengar obrolan mereka.

Setibanya di bandara, ada telepon masuk ke ponsel Ira. Telepon itu dari Arga.

“Siapa?” tanya Bian saat mendengar ada panggilan masuk di ponsel Ira. Namun ia tidak hanya bertanya, tetapi Bian juga melihat ke arah layar ponsel milik Ira.

“Siapa dia?” tanya Bian lagi saat melihat ada nama Arga di ponsel itu.

“Ooh, ini senior aku,” jawab Ira.

“Yang tadi makan siang berdua sama kamu?” tanya Bian, heboh.

“Kamu lebay banget, sih? Santai aja dong nanyanya!” keluh Ira.

“Oke, aku bisa kok santai!” jawab Bian. Kemudian ia merebut ponsel Ira dan menjawab panggilan telepon Arga.

“Bian!” ucap Ira, kaget. Ia kesal karena Bian sangat sulit dikendalikan. Ia selalu bertindak sesuka hati. Apalagis saat ini ia terlihat begitu posesif.

“Selamat malam!” ucap Bian saat menjawab telepon dari Arga.

Arga yang menghubungi Ira pun kebingungan karena yang menjawab teleponnya adalah pria. Ia bahkan mengecek kembali dan ternyata memang itu nomor Ira.

“Malam! Maaf, dokter iranya ada?” tanya Arga.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang