38. Supel

9.3K 795 43
                                        

Arga pun tidak kalah terkejut. Ia masih ingat betul siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini. 'Ini kan yang waktu itu numpang tidur di bahu aku,' batin Arga.

"Adiknya Prof Zein, kan?" tebak Arga. Ia ingat bahwa Ira adalah adik Zein.

"Iya!" sahut Ira. "Boleh saya masuk?" tanya Ira lagi.

"Oh iya, silakan!" sahut Arga. Ia merupakan dokter spesialis anak. Ini hari pertama Arga praktek di rumah sakit tersebut. Sehingga ia belum membuka poli dan fokus di ruang perawatan.

Ira pun masuk dan mendekat ke arah meja Arga. Ia tidak menyangka akan bekerja dengan pria yang satu pesawat dengannya.

"Silakan duduk!" ucap Arga.

"Perkenalkan, nama saya Humaira, biasa dipanggil Ira. Mulai hari ini saya bekerja di sini sebagai dokter residen," ucap Ira. Ia bersikap formal karena harus profesional. Apalagi Arga merupakan seniornya.

"Wah, gak nyangka bisa ketemu di sini. Senang bisa bekerja sama dengan dokter Ira," ucap Arga. Sementara dirinya berusaha bersikap santai. Ia tidak ingin terlalu canggung.

"Iya, saya juga kaget bisa ketemu dokter di sini. Kalau begitu mohon bimbingannya ya, Dok," pinta Ira. Sebagai junior, Ira sangat menghormati Arga. Meski dirinya merupakan anak dari pemilik rumah sakit itu.

Hal itu pun membuat Arga salut pada Ira. "Dengan senang hati," sahut Arga.

Ia tidak menyangka ternyata Ira juga merupakan seorang dokter. Ia pikir ira berprofesi lain. Sehingga Arga cukup terkejut saat melihat Ira di hadapannya tadi.

"Jadi, apa yang bisa saya kerjakan untuk saat ini?" tanya Ira. Ia tidak ingin membuang waktu lagi.

"Oh! Ini sebenarnya saya juga masih adaptasi. Mungkin kita bisa mempelajarinya bersama-sama," ucap Arga. Kemudian ia menunjukkan beberapa dokumen yang sedang ia baca.

"Oke!" sahut Ira, santai. Ia memang supel, sehingga sangat menyenangkan meski bertemu dengan orang baru.

Apalagi orang tersebut memiliki hubungan pekerjaan dengannya. Namun entah Bian akan suka atau tidak jika mengetahui Ira bekerja dengan dokter pria yang masih muda dan tampan itu.

Akhirnya pagi itu Ira dan Arga bekerja sama untuk mempelajari status para pasien di rumah sakit tersebut. Setelah itu mereka pun pergi untuk visit ke ruang perawatan.

"Dok! Kalau boleh tau, kenapa dokter milih jadi spesialis anak?" tanya Ira. Ia kagum karena pria seperti Arga memilih pediatri untuk pendidikan spesialisnya.

"Simple aja, sih," sahut Arga, santai.

"Kenapa?" Ira penasaran.

"Karena saya suka anak-anak. Bekerja itu kan harus sesuai passion. Dan saya merasa nyaman jika sering berinteraksi dengan anak-anak," jelas Arga.

"Wah ... jarang lho ada cowok yang suka sama anak-anak," puji Ira. Ia tersenyum karena jadi teringat pada kekasihnya. 'Kayak calon suami aku. Dia juga suka sama anak-anak,' batin Ira.

Dipuji seperti itu oleh Ira, Arga pun senang. Melihat ekspresi Ira yang tersenyum, membuat Arga pikir Ira begitu mengaguminya. Padahal Ira sedang teringat pada kekasihnya.

"Mari!" ajak Arga saat mereka tiba di depan sebuah ruangan. Mereka pun masuk ke ruangan tersebut.

"Selamat siang," sapa Arga dan Ira.

"Siang, Dok!" sahut yang ada di dalam.

Mereka pun memeriksa pasien yang merupakan anak-anak tersebut, sambil berbincang. Melihat Arga berinteraksi dengan pasien, membuat Ira salut. Sebab Arga terlihat begitu mudah mengambil hati anak-anak.

Saat keluar dari ruangan tersebut, Ira pun bertanya lagi pada Arga. "Dokter udah lama jadi spesialis anak?" tanya Ira.

"Gak juga, sih. Baru sekitar tiga tahun," jawab Arga.

"Ya lumayan lama sih itu. Pantesan pinter banget ngambil hati anak-anak, hehe," puji Ira lagi.

Sejak tadi Ira memuji Arga, membuat pria itu jadi ge'er.

Siang hari, Arga mengajak Ira makan bersama. "Dok, mau makan bareng, gak?" tanya Arga saat Ira sedang bersiap untuk istirahat.

"Heuh?" Ira balik bertanya. Ia kurang mendengar ajakan Arga itu. Sebab dirinya sedang fokus memikirkan Bian.

"Ini, saya kan masih baru di sini. Jadi belum ada teman. Kalau dokter Ira gak keberatan, saya mau makan siang bareng biar ada temennya," jelas Arga, kikuk.

"Ooh, why not. Ayo, aku udah lapar!" ajak Ira.

Arga pun senang karena Ira mau makan siang bersamanya. Mereka jalan berdua menuju kantin rumah sakit tersebut.

Saat di jalan, Ira berpapasan dengan Zein.

"Siang, Prof!" sapa Arga.

"Siang!" sahut Zein. Ia sedikit heran melihat Ira berjalan dengan Arga. "Lho, katanya gak saling kenal?" tanya Zein. Zein sendiri sudah mengetahui bahwa hari ini Arga mulai bekerja di rumah sakitnya.

"Itu kan kemarin, Bang. Kalau sekarang mah udah kenal, lah. Kan satu ruangan," jawab Ira, santai.

"Ooh, kirain ...," ledek Zein.

"Apa, sih? Gak jelas. Ya udah aku mau makan siang dulu," ucap Ira. Kemudian ia berlalu.

"Mari, Prof!" ucap Arga. Ia sangat menghormati Zein.

"Ya, silakan!" sahut Zein. Kemudian ia menoleh ke arah mereka. Zein pun tersenyum. "Dari pada sama tentara, kan mendingan sama dokter," gumam Zein.

"Apanya yang sama dokter?" tanya Intan yang ternyata sudah berdiri di samping Zein.

"Eh, kamu kok udah ada di sini aja? Baru aku mau jemput," tanya Zein.

"Abis kamu kelamaan, aku kan udah laper," sahut Intan, manja.

"Duh, kasihan bumil kelaparan. Ya udah ayo kita makan!" ajak Zein. Mereka pun pergi ke ruangan Zein untuk makan siang.

"Zein! Kamu lihat Ira, gak?" tanya Muh saat Zein tiba di depan ruangannya.

"Ira lagi makan di kantin, Pah. Sama dokter baru," sahut Zein.

"Ooh, padahal tadinya Papah mau ngajak makan bareng," ucap Muh.

"Ya udahlah, Pah. Biarin aja dia sama dokter Arga. Namanya juga anak muda, kan. Siapa tau jodoh," ucap Zein, santai.

"Hus! Sembarangan aja kalau ngomong," sahut Muh, kemudian ia masuk ke ruangannya.

Tentu saja Muh keberatan. Sebab ia sudah menjodohkan Ira dengan Bian. Sedangkan Zein heran melihat sikap Muh seperti itu.

"Emang salahnya di mana?" tanya Zein pada Intan.

"Salahnya kamu terlalu ikut campur untuk masalah adikmu!" skak Intan. Kemudian ia masuk ke ruangan Zein.

"Lha, itu kan adik aku. Wajar dong kalau aku ikut campur?" Zein tidak terima akan ucapan Intan.

"Iya, masalahnya dari kemarin kamu rempong banget. Padahal Ira juga santai aja. Lagian kan dia masih muda, lagi ngerjain tesis pula. Udahlah, biarin aja!" ujar Intan.

"Huuh! Baiklah, aku gak akan ikut campur. Tapi kalau Ira dan Arga saling suka, aku akan dukung mereka," ucap Zein.

Sementara itu, Ira dan Arga sedang makan di kantin. Mereka duduk berhadapan.

Saat mereka sedang makan sambil berbincang, ponsel Ira berdering. Ada telepon masuk dari Bian.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang