Saat Bian dan Ira sedang melamun, ternyata anak-anak membuat kesepakatan. “Oke, setuju, ya!” ucap mereka sambil berbisik.
Mereka pun selama memperlama lagunya. Hingga membuat Ira semakin salah tingkah. Setelah itu, saat lagunya selesai, Ira dan Bian hendak menangkap salah satu dari anak tersebut.
Namun, saat Ira dan Bian hendak memeluknya, anak itu malah berjongkok kemudian berlari. Sehingga Ira dan Bian berpelukan dan bibir mereka tak sengaja bertabrakan.
Deg!
Sontak saja bola mata mereka hampir melompat. Mereka yang sejak tadi memang sudah salah tingkah itu seperti kehilangan akal. Jika tidak ada anak-anak, mungkin Bian akan melanjutkan yang lebih dari itu.
“Ciee! Cieee!” ledek anak-anak.
Bian dan Ira pun langsung memisahkan diri dengan cepat. Ira melipat bibirnya, sebab ia seolah masih merasakan bagaimana bibirnya bersentuhan dengan bibir Bian.
Sementara Bian menjilat bibirnya sendiri. Jantungnya berdebar-debar. Telinganya pun merah padam. Sebagai lelaki normal, tentu saja kejadian barusan cukup berdampak besar pada tubuhnya.
“Kalian ini! Awas, ya!” ancam Bian. Kemudian ia mengejar-ngejar mereka. Anak-anak itu pun langsung berlarian sambil tertawa.
Ira pun jadi senyum-senyum sendiri. Ia merasa gerah padahal di bukit itu cukup sejuk karena banyak angin.
‘Ya ampun, kalau kayak gini terus, bisa bahaya,’ batin Ira. Ia jadi malu berhadapan dengan Bian.
Sementara itu, dari kejauhan Bian melirik ke arah Ira. ‘Rasanya aku ingin segera pulang agar bisa melamarnya,’ batin Bian. Sebagai lelaki dewasa, pikiran Bian memang ke arah serius.
Ia sudah tidak memikirkan untuk berpacaran lagi. Lagi pula dengan menikah mereka jadi bisa lebih bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan.
Bian memunggungi Ira, kemudian ia melepaskan senyuman yang sangat lebar. Kedua tangannya ada di pinggul. Merasakan embusan angin yang dapat menyejukkan tubuhnya yang terasa panas itu.
‘Huuh! Aku harus bisa mengendalikan diriku. Sabar! Tinggal beberapa bulan lagi tugasku selesai. Saat itu aku akan langsung melamarnya,’ batin Bian. Ia sudah yakin akan mempersunting Ira.
Bukan bermaksud santai atau menunda lagi. Namun Bian sadar posisi mereka sekarang cukup sulit untuk menikah. Sehingga ia berusaha bersabar sedikit lagi.
Terlebih saat ini Ira selalu ada dalam pengawasannya. Bian pun merasa cukup aman dan tidak perlu khawatir ditikung lagi.
Setelah itu, Bian melihat ke arah jam tangan. Ia pun mengajak Ira untuk turun dari bukit.
“Pulang yuk!” ajaknya.
“Ayo!” sahut Ira. Saat ini Ira tidak berani melihat wajah Bian.
“Anak-anak! Om dan Tante pulang dulu, ya. Lain waktu kami akan datang lagi ke sini,” ucap Bian.
“Oke, Om! Terima kasih, ya. Hati-hati di jalan!” jawab mereka. Anak-anak itu belum mau pulang. Sebab mereka ingin membaca buku yang diberikan oleh Bian lebih dulu.
Bian dan Ira pun meninggalkan tempat tersebut, menuruni bukit. Saat turun dari bukit, Bian berjalan lebih dulu agar bisa menahan Ira jika terpeleset nanti.
“Hati-hati jalannya!” ucap Bian.
“Iya,” sahut Ira.
Mereka pun menyusuri jalan itu tanpa berbicara. Sebab kondisinya masih cukup canggung.
Setelah menuruni bukit, mereka harus melewati sungai dan hutan lebih dulu. Namun hutan yang harus mereka lewati hanya sedikit dan tidak menyeramkan. Sebab tempat itu sering dilewati oleh banyak orang yang hendak pergi ke kebun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...