Pagi ini Ira sudah mendarat di Timur. Sebelumnya ia telah membooking sebuah helikopter. Sebab ia malas jika harus menggunakan pesawat komersil yang kecil itu.
“Mas, kok helikopternya belum datang, ya?” tanya Ira pada admin helikopter tersebut, melalui panggilan telepon.
“Mohon maaf, Mbak. Tadi heli-nya sudah datang. Tapi ada seorang Profesor yang sedang buru-buru. Jadi kami terpaksa memberikan heli tersebut padanya. Sebab ia mengatakan ada kondisi darurat di sana,” jelas admin tersebut.
Mendengar kata Profesor, Ira langsung dapat menebak siapa orangnya. “Awas kamu ya, Bang!” gumam Ira, pelan. Ia sangat kesal karena Zein selalu menyusahkannya.
“Terus gimana, dong? Kan saya sudah booking. Masa kalian tidak tanggung jawab, sih? Mengecewakan sekali,” keluh Ira.
“Sekali lagi kami mohon maaf. Untuk uang reservasinya, sudah kami transfer kembali. Bahkan kami membayar denda sebesar 20% sebagai ganti ruginya,” jelas admin.
“Bukan itu masalahnya, Mas. Tapi ini tentang komitmen. Emang dia bayar berapa, sih? Sampai kalian mempertaruhkan kepercayaan pelanggan seperti itu?” tuduh Ira. Ia sangat kesal karena mereka bersikap seenaknya.
“Tidak, Mbak. Ini murni karena ada kondisi darurat.”
“Halah! Udahlah, pokoknya aku kecewa. Jangan salahkan aku kalau nanti kalian mendapat bintang satu!” ancam Ira. Kemudian ia memutuskan sambungan teleponnya.
“Nyebelin!” pekik Ira sambil menendang angin.
“Udah bela-belain pergi ke sini buat nolongin dia. Eh … helikopter pesananku masih diboikot juga,” gumam Ira, kesal.
Akhirnya Ira terpaksa naik pesawat komersil yang membawa beberapa penumpang lain.
“Ya ampun, Papah kok tega sih ngirim aku ke sini?” gumam Ira. Meski ia sudah pernah ke tempat terpencil. Namun kali ini ia kecewa karena papahnya sendiri yang mengirim ke sana.
Ira merasa papahnya itu tidak sayang padanya. Sebab, jika Muh sayang pada Ira, tidak mungkin ia tega mengirimnya ke sana.
Beberapa menit kemudian Ira sudah tiba di lapangan penerbangan perbatasan. Setelah itu ia menyewa mobil untuk mengantarnya ke desa tempat Intan magang.
“Mobilnya hanya bisa sampai di sini, Nona,” ucap sopir yang mengantar Ira.
“Lho, kenapa begitu?” tanya Ira.
“Di sana jalannya jele, jadi saya tidak berani ambil risiko. Tapi kliniknya sudah tidak jauh dari sini. Nona bisa berjalan kaki ke sana,” jelas sopir itu.
Sebenarnya Ira heran karena alasan orang itu tidak masuk akal. ‘Ini kan mobilnya tinggi, kenapa juga dia gak berani?’ batin Ira.
Namun, sebagai pendatang baru di sana, Ira tidak berani banyak protes. Akhirnya
Dengan berat hati ia turun dan menyeret kopernya menuju klinik yang ia sendiri belum ketahui lokasinya di mana.“Kayaknya gue ketipu, deh. Dia bilang deket. Tapi dari tadi gue gak lihat ada tanda-tanda klinik di sekitar sini,” gumam Ira.
Hari ini ia benar-benar dibuat kesal oleh keadaan. “Ya ampun, kenapa sih cobaan gue berat banget?” keluh Ira. Rasanya ia ingin marah-marah. Namun Ira bingung harus marah pada siapa.
Sebenarnya ia pun sedikit takut berada di tempat asing yang sepi seperti itu. “Eh, itu ada anggota TNI. Siapa tau dia mau nolongin gue,” gumam Ira saat melihat seorang pria berseragam sedang berjalan sendirian.
Ia pikir sebagai anggota TNI, pria itu mau menolongnya. Setidaknya ia akan mengantarkan Ira sampai ke klinik dengan aman, menurutnya.
Ira pun mendekati pria itu dengan bersemangat. Ia bahkan berlari kecil.
“Permisi!” ucap Ira saat sudah berada di belakang pria tersebut.
Pria itu pun menoleh ke arah Ira. Ternyata ia adalah Bian. Namun, ekspresi Bian terlihat sangat tidak bersahabat.
‘Kok mukanya gak ngenakin gitu, ya?’ batin Ira. Ia kecewa karena tidak sesuai ekspetasi.
“Maaf, mau nanya. Klinik desa ini ada di mana, ya?” tanya Ira, baik-baik.
“Ck! Di sana!” ucap Bian, ketus. Sambil menunjuk ke arah klinik yang sangat ia hafal itu. Ia sedang patah hati, sehingga tidak ingin diganggu oleh siapa pun.
Ira ternganga. Ia merasa sudah bertanya sesopan mungkin. Sehingga Ira yang sedang emosi jiwa itu semakin kesal karena sikap Bian yang tidak ramah.
“Maaf ya, saya kan cuma nanya baik-baik. Tapi kenapa Anda jawabnya seperti itu? Apa Anda tidak malu dengan seragam yang Anda kenakan?” tanya Ira, kesal.
Bian terkesiap karena tidak menyangka Ira akan memarahinya. Ia pun membuka mulut dan ingin berbicara. Namun Ira langsung menyelaknya lagi.
“Kalau ada orang lain di sini juga saya gak mungkin nanya ke Anda. Atau jangan-jangan Anda bukan orang?” skak Ira.
“Kayak gitu harusnya jangan disebut aparat, tapi keparat,” gumam Ira sambil berlalu. Emosinya yang sejak tadi terkumpul itu meledak setelah dijuteki oleh Bian.
“Hah? Itu orang kesurupan apa, sih? Bisa-bisanya dia bentak gue? Emang dia pikir dia siapa?” Bian tidak kalah kesal dari Ira. Ia sangat geram karena dibentak oleh seorang wanita.
Pagi itu kondisi hati Bian sedang tidak baik. Sebab ia baru mendapati bahwa wanita pujaannya yang dokter itu telah bersuami. Sehingga Bian tidak ingin diganggu oleh siapa pun.
Sementara itu, Ira menarik koper sambil bersungut-sungut. “Ya ampun, ini hari tersial yang pernah gue alami. Baru pertama ke sini aja gue udah dibikin emosi dari pagi mula. Astaga!”
Akhirnya tiba di klinik. “Syukurlah, untung gak jauh,” gumam Ira. Ia senang karena akhirnya sampai dengan selamat.
“Permisi!” ucap Ira saat masuk ke klinik itu.
“Iya! Ini dokter Ira yang mau gantiin dokter Intan, ya?” tanya suster. Ternyata sebelumnya ia telah mendapat informasi tentang kedatangan Ira.
“Iya, Sus. Maaf ya telat. Tadi banyak banget trouble di jalan, hehe,” sahut Ira.
“Gak apa-apa, Dok. Namanya juga baru sampai. Kalau dokter mau istirahat dulu di rumah dinas, tinggal aja. Biar hari ini saya yang handle,” ucap suster itu.
“Enggak ah, Sus. Aku di sini aja dulu. Capek kalau harus jalan lagi,”sahut Ira.
Saat ini ia hanya ingin duduk. Sebab dirinya sudah kelelahan setelah berjalan jauh sambil menarik koper.
“Oh, baiklah kalau begitu. Ini kopernya biar saya simpan dulu ya, Dok?” tanya suster.
“Iya, silakan!” sahut Ira.
Lalu ia pun mulai praktek.
Sore hari, setelah selesai praktek, Ira pulang ke rumah Dinas. Sebelumnya ia sudah diarahkan oleh suster dan karena jalannya lurus, Ira pun tidak kesulitan untuk menemukan rumah tersebut.
“Ya ampun, ini kalau malem apa gak gelap, ya? Masa sepanjang jalan ini gak ada lampu, sih?” gumam Ira. Ia tidak habis pikir di jalanan yang sepi itu mengapa tidak dipasangkan lampu.
Saat Ira sedang berjalan sambil melamun memikirkan lampu, tiba-tiba Bian muncul dari semak-semak.
Srek!
“Astaga!” pekik Ira. Ia sangat terkejut dibuatnya. Rasanya Ira ingin mengamuk karena jantungnya hampir copot.
Sementara itu, Bian seolah tidak merasa berdosa sama sekali. Ia berlalu begitu saja, seperti tidak melihat Ira di sana. Semak-semak itu merupakan jalan pintas Bian menuju ke markasnya. Ia baru saja selesai melamun di sebuah bukit.
Ira tak habis pikir mengapa Bian tidak meminta maaf. “Hah? Kok ada orang kayak gitu, sih? Gue rasa dia bukan manusia. Iiihh, amit-amit banget. Jangan sampe gue ketemu dia lagi. Pagi tadi jutek, sekarang ngagetin. Astaghfirullah!” Ira sangat geram pada Bian.
Bian dapat mendengar apa yang sedang Ira katakan. Namun ia enggan menggubrisnya karena saat ini hatinya masih kacau.
“Kenapa ada dokter baru di sini? Apa dia akan menggantikan Intan?” gumam Bian, pelan. Sambil menoleh ke arah Ira yang masih bersungut-sungut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
Storie d'amoreIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...