18. Kasmaran

12.9K 947 48
                                        

Bian yang memiliki insting kuat itu pun dapat menyadari kehadiran anak buahnya di sana.

Ia keluar dari kamar secara perlahan. Kemudian mengejutkan anak buahnya dari belakang.

"Apa kalian sudah bosan hidup?" tanya Bian sambil menodongkan senapan ke arah anak buahnya itu.

Deg!

Mereka menoleh perlahan ke arah belakang. Betapa terkejutnya mereka melihat Bian sedang membidik mereka.

"A-ampun, Ndan. Kami khilaf," ucap mereka gugup sambil mengangkat kedua tangan.

Ceklek!

Bian menarik tuas senapan itu. Mereka pun semakin gemetar ketakutan. Sebab dalam kondisi seperti ini, mereka tidak mungkin melawan. Apalagi Bian adalah komandan mereka sendiri.

"Ndan, jangan main-main, Ndan. Itu bahaya," ucap mereka dengan suara bergetar.

"Memangnya kalian pikir aku sedang main-main? Kalian sudah kurang ajar pada atasan kalian. Jadi pantas aku tembak!" jawab Bian.

Sebenarnya ia tidak ingin menembak mereka. Ia hanya menakuti karena mereka terus meledeknya.

"Maaf, Ndan. Kami janji tidak akan mengulanginya. Kami hanya ingin Komandan bahagia. Iya kan?" Anak buah Bian mencari dukungan sambil menoleh ke arah teman-temannya.

"Betul itu. Kami hanya ingin Komandan bahagia. Makanya kami terus mendukung Komandan dengan dokter Ira," jawab mereka, cepat.

"Memangnya kalian pikir aku tidak bisa usaha sendiri? Sekarang urus saja tugas kalian! Jangan sibuk mengurusi urusan pribadiku. Paham?" bentak Bian.

"Siap! Paham Komandan!" jawab mereka tegas.

"Sekarang lanjutkan hukuman kalian! Awas kalau berani menguping lagi!" ancam Bian. Kemudian ia berlalu sambil membawa senapannya tersebut.

"Huuh! Hampir saja," gumam mereka, lega.

Bian masuk ke kamarnya, kemudian ia menaruh senapannya kembali. Senapan tersebut tidak memiliki peluru, sehingga Bian berani menodongkannya ke anak buahnya.

Setelah itu Bian pun mandi dan berganti pakaian. Ia hendak istirahat sebentar, kemudian lanjut bekerja. Mengecek laporan keamanan wilayah tersebut.

Sebagai komandan Bian memang tidak turun langsung untuk berjaga. Ia hanya memberikan komando dan mengecek kestabilan penjagaan wilayah tersebut.

Sore hari, Bian sudah siap untuk pergi ke rumah Ira. Ia sengaja berangkat sore agar bisa menjemput Ira di klinik lebih dulu.

Saat Bian meninggalkan markas, para anak buahnya mengintip lagi. Sepertinya mereka belum kapok.

"Wih, yang mau ngapel, getol banget," gumam mereka, pelan.

"Hus! Bukan ngapel, tugas, lho," timpal temannya, dengan nada meledek.

"Oh iya lupa. Tugas negara, ya. Menjaga keamanan ibu negara, hihihi."

Mereka merasa Bian sangat lucu karena malu jika sedang diledek masalah Ira.

Mereka pun curiga bahwa Bian dan Ira sudah sepakat agar hanya Bian yang berjaga di rumah Ira. Sehingga mereka bisa bebas beduaan.

"Kalian mau taruhan, gak?" tanya salah satu anak buah Bian.

"Taruhan apa?"

"Kata aku, Komandan dan dokter Ira memang pacaran."

"Aku setuju!"

"Kamu gimana?"

"Aku juga setuju."

"Lha kalau setuju semua, terus gimana taruhannya?"

"Ya udah gak usah taruhan. Lebih baik nanti malam kita cek langsung ke lokasi!" usul salah satu dari mereka.

"Kalau Komandan tau, gimana? Bisa gawat. Tadi saja beliau sudah marah."

"Itu sih gampang. Pura-pura patroli keliling aja!"

Mereka semua pun tersenyum licik. Mereka sepakat untuk mendatangi rumah Ira nanti malam. Untuk mengecek apakah Bian dan Ira berpacaran atau tidak.

Beberapa saat kemudian Bian sudah tiba di depan klinik. Setelah memastikan Ira masih ada di sana, ia duduk di teras. Bian sengaja tidak ingin memanggil Ira.

"Aku pulang duluan ya, Sus. Assalamu alaikum," ucap Ira saat keluar dari klinik.

"Iya, Dok. Hati-hati. Waalaikum salam," jawab suster.

Namun, ketika Ira menoleh, ia terkejut akan keberadaan Bian di sana. Ia langsung tersenyum bahagia melihatnya.

"Lho, kamu kok ada di sini?" tanya Ira.

Bian menoleh ke arah Ira. "Mau jemput kamu. Kan sekarang keselamatan kamu jadi prioritas aku," jawab Bian sambil menatap Ira.

"Eh, jadi enak. Hehehe." Ira bingung hendak menjawab apa lagi. Ia pun tidak enak hati karena merepotkan Bian.

"Ya udah, pulang yuk!" ajak Bian.

"Heuh?" Ira merasa seolah mereka tinggal bersama.

"Pulang ke rumah kamu. Kan sekarang aku tinggal di sana. Meski cuma malam dan di halaman, hehe," jelas Bian.

"Hehehe, ya udah, ayo!" sahut Ira. Akhirnya mereka pun jalan menuju rumah Ira.

Jika biasanya Ira harus jalan sendirian di tempat asing dengan perasaan jenuh. Kali ini justru jalan itu jadi momen yang menyenangkan.

"Emangnya kamu gak ada kerjaan, ya?" tanya Ira.

"Menjaga keselamatan kamu kan sudah jadi salah satu dari kerjaan aku," jawab Bian.

Sebelumnya ia sudah melapor pada atasannya di markas pusat. Bahwa ia akan menjaga Ira selama di sana. Atasan yang merupakan ayahnya tentu saja sangat setuju.

Bahkan ia heboh dan menyangka bahwa Ira dan Bian sudah memiliki hubungan. Ayah Bian pun sudah menghubungi papahnya Ira dan menjelaskan hal itu.

Sehingga mereka merasa tidak perlu repot-repot mendekatkan Bian dan Ira lagi.

"Waduh, aku jadi berasa kayak orang penting. Sampe dikawal kayak gini," ucap Ira sambil mengusap tengkuknya.

"Kamu kan memang salah satu orang penting di sini. Saat ini dokter yang ada di sini cuma kamu. Jadi kamu harus dijaga agar tetap aman," jelas Bian.

"Ooh, begitu. Baiklah kalau memang seperti itu. Aku mah nurut aja," jawab Ira sambil tersenyum.

"Nah, gitu dong nurut! Jadi gak pake debat," ucap Bian sambil mengusap kepala Ira, secara refleks.

Jantung Ira langsung berdebar-debar kala kepalanya diusap oleh Bian. Mereka berdua pun jadi salah tingkah.

"K-kamu udah makan?" tanya Bian.

"Belum, kalau kamu?" Ira balik bertanya.

"Gampang. Nanti aku bisa makan nasi kaleng," jawab Bian.

Ia memiliki banyak bekal makanan tentara. Makanan padat nutrisi, sehingga makan sedikit pun akan mengenyangkan.

"Aku ada catering. Kalau kamu mau, kita makan sama-sama aja!" ajak Ira.

"Gak usah, nanti kamu gak kenyang. Itu kan pasti untuk satu orang," jawab Bian.

Sebanarnya bisa saja ia makan di markas lebih dulu. Namun jadwal makan di sana baru tersedia sekitar jam 18.00. sehingga Bian melewatkannya demi bisa mengantar Ira.

"Enggak, kok. Justru biasanya gak pernah abis. Malah aku seneng kalau ada yang bantu ngabisin. Jadi gak mubadzir, hehe," jawab Ira.

"Anggap aja ini tanda terima kasih aku karena kamu udah jagain aku," lanjutnya.

"Ooh, ya udah kalau begitu," sahut Bian. Ia senang karena Ira cukup perhatian padanya.

"Om-Tante! Pacaran, ya?" ledek anak kecil yang berpapasan dengan mereka.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang