Bian langsung ternganga setelah mengetahui siapa yang menghubungi Ira. Kemudian ia menoleh ke arah Ira.
Ira memelototi Bian sambil menggigit bibir bawahnya karena terlalu gemas pada Bian. “Sotoy, sih!” marah Ira, sambil merebut ponselnya dari Bian.
Bian pun hanya pasrah. ‘Mati aku. Masa kesan pertama sama calon mertua malah kayak gitu? Haduh!’ batin Bian.
“Iya, Mah?” tanya Ira pada mamahnya.
“Kamu lagi di mana, Ra?” Rani balik bertanya.
“Oh, ini aku lagi ada perlu di bandara. Kenapa, Mah?” Ira khawatir mamahnya mendengar pengumuman yang ada di bandara. Sehingga ia berkata seperti itu.
“Ini papah nyariin kamu. Katanya kamu udah pulang dari tadi. Tapi sampe sekarang kok belum pulang?”
“Iya ini aku sebentar lagi pulang. Namanya juga baru balik ke Jakarta lagi, Mah. Jadi banyak urusan, hehe,” jawab Ira. Ia lega karena mamahnya tidak bertanya tentang Bian.
“Itu tadi siapa, Ra?” tanya Rani.
Baru saja ia lega, ternyata Rani menayakannya.
“Itu tadi temen aku, Mah. Soalnya tadi ada telepon iseng. Makanya aku minta tolong dia buat jawab,” kilah Ira.
Bian mengerutkan keningnya kala Ira mengatakan bahwa mereka hanya berteman.
“Emang kamu gak nge-save nomor Mamah?” tanya Rani.
“Ya di-save, lah. Cuma tadi buru-buru jadi gak sempet lihat,” sahut Ira.
“Ya udah, kamu cepetan pulang! Udah malem gini belum pulang. Gak baik anak gadis keluyuran!”
“Iya, Mah. Ya udah, udah dulu, ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Telepon terputus.
“Kamu kenapa?” tanya Ira saat melihat ekspresi Bian yang tidak biasa.
“Kok temen?” tanya Bian, kecewa.
“Terus kamu mau aku bilang kalau cowok yang udah jutekin mamah itu calon suami aku?” skak Ira.
Bian tercekat. ‘Iya juga, sih. Bisa gawat kalau mamahnya tau itu aku,’ batin Bian.
“Aku sih gak masalah. Tapi kalau belum apa-apa mereka udah nolak kamu, jangan salahin aku, lho!” ancam Ira.
“Ya udah, jangan!” sahut Bian, takut.
“Main ngambek aja, sih! Makanya jadi orang jangan nethink!” ucap Ira, sebal.
“Ya aku kira tadi cowok itu lagi,” ucap Bian, memelas.
“Harusnya sebelum jawab itu kamu baca dulu. Lagian main nyamber aja! Emang di dunia ini cuma dia doang orang yang nelepon aku?”
“Udah dong jangan marah-marah terus! Nanti kita ketinggalan pesawat, lho!” keluh Bian.
Ira pun terkejut. “Eh iya. Ya udah ayo, cepet!” ajak Ira.
Akhirnya mereka berdua pun berlari karena pesawat yang akan mereka tumpangi sudah siap take off.
“Tunggu!” teriak Bian saat pintu pesawatnya hampir ditutup.
Beruntung mereka masih bisa masuk. Mereka pun duduk di kursi yang sudah dipesan.
Sementara itu, Rani sedang berbincang dengan Muh.
“Pah, tadi tuh yang jawab telepon mamah cowok, lho,” ucap Rani.
“Oya?”
“Iya. Tapi jutek banget.”
“Jangan-jangan itu Bian?” tanya Muh.
“Bisa jadi, sih. Suaranya emang tegas gitu. Cuma kenapa jutek, ya?”
“Palingan lagi cemburu. Soalnya yang papah tau, mereka tuh sama-sama bucin,” ujar Muh.
“Oya?”
“Iya. Mamah tau, gak. Tadi sore itu Ira terbang ke Surabaya!” ucap Muh. Ternyata ia telah mengetahui hal itu.
“Oya?” Rani sangat terkejut.
“Iya ....” Muh pun menjelaskan alasan mengapa Ira terbang ke Surabaya.
“Pantesan tadi pas ditelepon dia lagi di bandara. Kalau emang udah kayak gitu, kenapa gak langsung nikah aja?” tanya Rani.
“Ya gak semudah itu, Mah. Bian kan tentara. Apalagi dia komandan. Banyak aturannya. Harus nikah kantor dulu, sebelumnya Ira juga harus mengikuti beberapa tahapan tes dan lain sebagainya,” jelas Muh.
“Ooh, repot juga, ya. Kira-kira Ira mau gak, tuh? Kan dia anaknya gak mau ribet.”
“Kalau udah bucin gitu sih, mau gak mau. Tapi gampanglah, nanti dibantu sama ayahnya Bian,” ujar Muh.
“Nah iya, ayahnya Bian kan Jendral. Pasti bisa bantu. Kenapa gak dipercepat aja?” tanya Rani.
“Mah, kami ini gak mau terkesan menjodohkan. Jadi biarkan mereka bergerak sendiri. Lagian hubungan mereka juga masih baru. Tapi yang Papah tau, nanti setelah Bian bebas tugas dari perbatasan itu dia mau langsung melamar Ira,” jelas Muh.
“Oya?”
“Iya. Dia udah ngabarin ke keluarganya kayak gitu.”
“Wahh, keren banget calon menantu Mamah. Pasti Ira seneng kalau tau calon suaminya itu serius.”
“Iya, makanya kita gak usah ikut campur. Cukup Zein aja yang kita jodohkan secara terang-terangan! Kecuali mereka gak ada pergerakan, barulah kita beraksi,” ucap Muh lagi.
“Oke! Mamah sih nurut aja apa kata Papah. Tapi kayaknya Zein gak suka deh sama tentara?”
“Mah! Yang mau nikah sama tentara itu kan Ira, bukan Zein. Jadi gak penting Zein suka apa enggak.”
“Ya tapi kan gimana nanti kalau hubungan mereka jadi kurang baik?”
“Papah tahu Zein kayak apa. Paling dia heboh pas sebelum nikah aja. Kalau udah nikah ya mau gimana lagi? Dia pasti nerima, kok,” ujar Muh.
“Tapi Mamah heran, deh. Kenapa dia bisa benci banget sama tentara, ya? Sampe mau jodohin Ira sama dokter Arga, lho.”
Muh terkekeh.
“Papah ditanya malah ketawa, ih!” Rani kesal pada suaminya.
“Gimana gak kesel. Dulu si Bian itu mepet terus sama Intan. Kamu lupa kenapa Zein pingin buru-buru nikahin Intan? Ya karena si Bian itu!” jelas Muh.
“Oalahhh ... pantesan kayak gitu. Ya gak heran, deh. Dia juga kan bucin banget sama Intan. Tapi padahal sekarang istrinya lagi hamil, masih aja takut ditikung, ya?”
“Entahlah! Kalau inget gimana dulu galaknya dia ke Intan, Papah gak nyangka dia bakalan sebucin ini sama istrinya.
“Hihihi, itulah. Ketula tuh dia. Sampe dikejar-kejar ke perbatasan. Ya ampun.”
“Anak kita kenapa dua-duanya kayak gitu, ya?”
“Kayak gitu gimana, Pah?”
“Ya itu. Bucin.”
“Ah, gak heran. Kan papahnya juga sama,” ledek Rani.
“Iya ya, sama kayak mamahnya juga,” balas Muh.
Mereka malah jadi bercanda.
“Ra, gimana kalau besok aku datang ke rumah kamu?” tanya Bian saat mereka sudah berada di jalan.
Saat ini Bian sedang mengendarai mobil Ira.
“Jangan dulu deh, Bi. Aku kan udah pernah bilang. Aku mau kenalin kamu ke mereka kalau udah pasti. Nanti aja ya, pas kamu bener-bener udah stay di Jakarta. Baru aku kenalin,” jawab Ira.
“Ya udah kalau begitu. Tapi bukan karena kamu takut mereka gak suka sama aku, kan?”
“Mulai deh over thinking!” ucap Ira, kesal.
“Hehehe, ya udah enggak. Tapi sebelum berangkat ke perbatasan, besok aku mau anter kamu ke rumah sakit, boleh?” tanya Ira.
“JANGAN!” ucap Ira, cepat dan panik.
Bian mengerutkan keningnya. “Kenapa?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomantizmIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...