"Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!" ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.
"Iya, Sayang. Maaf, ya," ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.
Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby.
"Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil.
"Iya," jawab Ira, singkat.
Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu.
"Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian.
"Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi selama 3 malam. Harga sewa kamarnya saja 5 juta semalam.
Sehingga bunga merupakan fasilitas untuk kamar tersebut. Seandainya Bian minta dihias setiap hari pun mereka siap.
Setelah selesai berdiskusi dengan resepsionis, Bian pun meninggalkan tempat itu dan kembali ke mobil.
"Oke, clear," ucap Bian saat masuk ke mobil. Kemudian ia melajukan kendaraannya kembali.
"Sekarang kita pulang ke rumah orang tua kamu aja dulu, ya? Nanti setelah aku selsai tugas, baru kita pindah," usul Bian, saat mereka sudah ada di jalan. Bian bingung hendak biacara apa.
"Iya, Bi. Aku ikut gimana kata kamu aja," jawab Ira. Ia tidak ingin marah pada Bian. Ira sadar bahwa suaminya tak salah. Namun ia sedang kecewa pada keadaan.
"Yah, kok gitu, sih? Masa kamu gak mau usul?" tanya Bian. Ia tidak nyaman melihat istrinya kecewa seperti itu.
"Emang kamu mau aku usul gimana? Kamu mau kita debat karena usul aku beda?" tanya Ira.
"Eh, gak gitu juga, sih. Maksud aku kalau kamu ada usul lain, jangan sungkan untuk bilang!" pinta Bian.
"Hem!" sahut Ira. Ia sedang bad mood, sehingga malas untuk bicara.
"Doain semoga urusan aku cepat clear. Jadi aku bisa cepat pulang," ucap Bian. Ia terus berusaha membuka omongan. Padahal istrinya sedang malas bicara.
"Aamiin ... biasanya kalau pencarian kayak gitu berapa lama, Bi?" tanya Ira. Akhirnya ia pun terpancing. Ia kasihan melihat Bian sejak tadi berusaha mengajaknya berbincang.
"Tergantung, Sayang. Kalau gak terlalu dalam, bisa cepat. Tapi kalau posisi pesawat jatuhnya di laut yang dalam, mungkin akan butuh waktu yang lama. Bisa berminggu-minggu. Apalagi kalau cuacanya kurang bagus," jawab Bian.
"Tapi biasanya nanti ada ketentuan batas waktu. Jika dalam waktu beberapa minggu tidak membuahkan hasil, maka pencarian akan dihentikan. Tapi semoga kali ini membuahkan hasil," lanjutnya. Ia berusaha menjelaskan agar istrinya tenang.
"Emang kamu bisa nyelam, Bi? Kamu kan angkatan darat," tanya Ira. Ia pikir suaminya tidak akan melakukan tugas seperti itu.
"Alhamdulillah aku sudah memiliki sertifikat penyelam, Sayang. Bahkan aku pernah ikut kompetisi menyelam. Jadi atasan mengandalkanku karena aku salah satu penyelam terbaik," jelas Bian.
Ira menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. "Aku gak tahu harus bangga atau sedih punya suami yang multi talent kayak kamu. Satu sisi aku bangga, tapi di sisi lain aku sedih karena kamu pasti akan lebih sibuk dengan pekerjaanmu," ucap Ira.
"Hem ... gimana caranya aku minta maaf biar kamu gak sedih lagi?" tanya Bian sambil menggenggam tangan Ira.
"Cukup pulang dengan selamat dan jangan terluka! Satu lagi, jangan lama-lama!" pinta Ira.
"SIAP, JENDRAL!" jawab Bian dengan lantang.
Ira yang sejak tadi menekuk wajahnya pun langsung tersenyum.
"Tapi nanti kamu masih bisa berkabar kan, Bi?" tanya Ira.
"InsyaaAllah bisa. Kan aku gak 24 jam di air, Sayang. Ada istirahatnya juga. Cuma berhubung lokasinya gak di Jakarta, jadi aku gak bisa bolak-balik untuk pulang," jawab Bian.
"Ya udah, yang penting kamu jangan lupa makan dan jaga kesehatan, ya!" pinta Ira.
"Pasti! Aku harus sehat karena ada yang nunggu di rumah," jawab Bian sambil mengusap kepala Ira.
Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di rumah. Ternyata Zein pun baru sampai sana.
"Assalamualaikum," ucap mereka saat memasuki rumah.
"Waalaikumsalam. Lho ada apa ini? Kok kalian pulang bareng? Terus Ira Bian kan lagi bulan madu, kenapa bisa pulang? Perasaan baru tadi pagi berangkat," ucap Muh.
"Maaf, Pah. Aku tiba-tiba dapat tugas karena ada pesawat jatuh. Jadi terpaksa harus pulang," jawab Bian.
"Ya Tuhan," ucap Muh. "Kalau kalian kenapa?" tanya Muh pada Zein.
"Kami mau menggantikan Bian dan Ira, Pah. Sayang kan kamarnya udah dibayar full," jawab Zein sambil tersenyum.
"Ya Tuhan, Zein. Kamu ini kayak gak ada kerjaan aja, lho. Emang kamu kurang sibuk sebagai direktur, hah?" tanya Muh, gemas.
"Ya sibuk, Pah. Tapi kebetulan untuk saat ini belum ada yang urgent. Tau sendiri, anak Papah ini kan cerdas, jadi masalah rumah sakit semuanya beres. Aku kan bisa mantau dari sana juga," jelas Zein.
Muh menghela napas. "Lihat tuh Mah, kelakuan anaknya!" ucap Muh.
Rani pun geleng-geleng kepala melihatnya. "Ya sudah, biarin aja, Pah. Kan mereka juga mungkin butuh refreshing. Sejak Intan melahirkan sepertinya mereka belum pernah liburan," ucap Rani.
"Alhamdulillah kalau Mamah ngerti, hehe," sahut Zein.
"Jadi kapan kalian berangkat?" tanya Rani.
"Rencananya sih ba'da maghrib, Mah," jawab Zein. Sejak tadi Intan pura-pura sibuk dengan anaknya. Ia malu membahas hal itu dengan mertuanya.
"Ya sudah, hati-hati! Nanti perlengkapan Aydin jangan sampai ada yang kurang, ya!" pinta Rani.
Zein menggaruk kepalanya. "Eum ... sebenarnya kalau Mamah dan Papah gak keberatan, kami mau titip Aydin, hehe," ucap Zein, malu-malu.
"Hah?" Rani dan Muh terkejut. Tak menyangka Zein akan menitipkan bayinya itu.
"Kamu serius gak mau ngajak Aydin?" tanya Rani.
"Hehe, kalau boleh sih," ucap Zein, salah tingkah.
"Gak ah, Mamah gak mau," canda Rani.
"Yah ... sekali aja, Mah. Emang gak kasihan sama anaknya?" keluh Zein, memelas.
"Dulu waktu Mamah baru punya anak juga sama, kok. Kamunya aja yang gak sabar. Nikmatin aja sih semua prosesnya!" skak Rani.
"Ya kan beda dulu sama sekarang, Mah. Lagian ada susternya juga. Mamah cuma ngawasin aja," ucap Zein.
"Gimana, Pah?" tanya Rani sambil tersenyum ke Muh.
"Entahlah. Nanti kalau Aydin rewel nyari ibunya gimana?" sahut Muh.
"Enggak, Pah. Kan Aydin udah biasa di sini. Lagian stock asi-nya juga banyak. Boleh, ya?" rengek Zein.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomansIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...