59. Rahasia Bian

8.7K 838 56
                                    

Ira melirik ke arah kaca spion. Ia bingung mengapa mobil Bian masih ada di sana.

“Maunya dia apa, sih? Kalau emang udah gak mau kenal sama aku, ngapain masih diem di situ? Sok mau bantu segala,” gumam Ira. Ia sangat emosi melihat Bian.

Apalagi Bian menghampirinya bersama wanita tadi. Membuat hati Ira jadi tak karuan. Perih, sakit, marah, benci, bercampur jadi satu.

“Nyesel aku udah nunggu dia. Aku kira dia setia, ternyata malah sama perempuan lain. Apa gak bisa bicara baik-baik? Dasar pengecut!” gumam Ira sambil mengepalkan tangannya.

Rasanya ia sangat ingin menghajar Bian. Namun, mengingat tatapannya tadi, Ira merasa tatapan pria itu masih sama seperti dulu.

“Argh!” pekik Ira. Saking emosinya, ia sampai tidak sadar telah memukul stir dan membuat klakson mobilnya berbunyi.

Tooonn!

Bian terperanjat. Ia hendak turun dari mobil. Namun mengurungkan niatnya. Bian tetap memperhatikan Ira dari dalam mobilnya sambil memastikan kondisinya masih aman.

“Mas ini kenapa, sih? Sebenarnya dia siapa?” tanya wanita yang ada di sebelah Bian.

“Kamu gak usah kepo!” sahut Bian, ketus.

“Aneh banget. Kalau emang peduli, ya samperin! Ngapain malah diem di sini terus. Aku juga kan capek, mau pulang,” rengek wanita itu.

“Kamu bisa diem gak, sih?” tegur Bian.

Wanita itu pun mendengus kesal. Ia bersidekap sambil memalingkan wajahnya. “Gak jelas!” ucapnya.

Tak lama kemudian ada mobil bengkel yang merapat ke arah mobil Ira. Bian pun memperhatikannya dengan seksama.

Saat itu Ira sempat turun dari mobil untuk memberikan instruksi pada montirnya. Kemudian ia memilih untuk menunggu di dalam mobil karena tidak nyaman jika menunggu sendirian di luar.

Setelah memastikan bahwa Ira sudah aman, akhirnya Bian pun meninggalkan tempat itu. Saat melewati mobil Ira, Bian menoleh dan ingin melihat wanita tersebut.

Beberapa saat kemudian, Bian dan adiknya tiba di rumah.

“Assalamualaikum,” ucap mereka.

“Waalaikumsalam, kok baru pulang?” tanya Ibu Bian.

“Mas tuh, Bu. Gak jelas banget. Mau nolongin cewek, udah dijutekin tapi malah ditungguin,” adu adik Bian yang bernama Kiana itu.

“Ya udah, kamu masuk dulu, sana! Istirahat, ini sudah malam,” ucap Ibu Bian.

“Iya,” jawab Kiana. Ia pun masuk ke kamarnya.

“Apa itu Ira, Bi?” tanya Ibu Bian. Mereka pun duduk di ruang keluarga.

“Iya, Bu,” sahut Bian. Wajahnya terlihat murung.

“Sampai kapan kamu harus seperti ini, Bi?” tanya Ibu Bian. Ia merasa miris melihat nasib anaknya itu.

Bian mendongak sambil menghela napas. Ia terlihat begitu sesak dan matanya berkaca-kaca.

“Sampai aku berhasil menangkap mereka semua, Bu. Saat ini kondisinya masih belum aman. Aku khawatir mereka akan mencelakai Ira jika tahu dia kekasihku,” jelas Bian.

Ibu Bian dapat melihat mata anaknya memerah. Ia tahu betul apa yang dihadapi anaknya selama ini.

Sejak terakhir kali berhubungan dengan Ira, Bian kembali diserang dan diculik oleh kelompok mafia. Namun, kali ini bosnya berbeda. Sebab bos mafia yang dulu sudah angkat tangan.

Bian sendiri lengah karena kala itu tangannya masih sakit pasca tertembak. Sehingga pergerakannya tidak leluasa dan membuat lawannya menang.

Selama sebulan lebih ia menjadi sandera. Mafia itu tidak langsung membunuh Bian karena ingin tawar menawar dengan Jendral agar bisnisnya tidak diganggu lagi. Hingga akhirnya Bian berhasil melarikan diri.

Sejak saat itu, Bian ditugaskan sebagai pasukan khusus untuk memberantas mereka semua. Tentu hal itu tidaklah mudah. Jatuh bangun Bian hadapi. Bahkan beberapa anak buahnya ada yang tewas.

Namun, ia berhasil menggagalkan banyak usaha mafia itu. Sayangnya, hingga kini Bian belum berhasil menangkap bos mafianya, sebab identitasnya masih tersembunyi. Bian pun sadar saat ini posisinya tidak aman karena menjadi incaran ‘mereka’.

Untuk sementara ini, jika di luar Bian harus menggunakan nama lain ‘Malik’. Sebab nama ‘Bian’ sendiri sudah diketahui oleh mafia itu. Sehingga sangat tidak aman jika identitas aslinya diketahui oleh mafia tersebut.

“Kasihan Ira, Bi. Bagaimana jika dia kecewa dan berpaling pada pria lain?” tanya Ibu Bian.

Mendengar hal itu, tentu hati Bian terasa begitu pilu. Sebenarnya selama ini Bian selalu berusaha bersembunyi dari Ira. Ia hanya memantai Ira dari kejauhan. Namun tadi ia kecolongan karena tidak melihat Ira sedang duduk di taman itu.

‘Bodohnya aku. Aku lupa kalau pengantinnya itu dokter,’ batin Bian.

“Bu!” ucap Bian sambil menoleh ke arah ibunya.

“Ya?”

“Apa aku terlalu sombong jika yakin bahwa Ira adalah jodohku? Aku menyerahkan semuanya pada Allah dan aku percaya bahwa Allah akan menjaganya untukku,” ucap Bian.

Meski begitu, hatinya tetap merasa sesak. Bagaimana pun ia tidak akan rela jika sampai Ira diambil oleh pria lain.

“Bahkan sampai saat ini aku harus selalu menggunakan pakaian anti peluru setiap keluar rumah. Aku tidak mungkin mengurung Ira di rumah agar tetap aman. Sebab dia memiliki mobilitas yang tinggi sebagai dokter,” jelas Bian.

“Aku takut, mereka menculik Ira atau bahkan menyakitinya jika tahu bahwa Ira adalah orang yang aku cintai. Jangankan Ira, anak buahku saja sudah berapa orang yang mereka sandera demi mendapatkanku?” lanjutnya.

Sudah beberapa kali anak buah Bian ada yang tertangkap. Sebanyak itu pula Bian selalu berusaha untuk menyelamatkan mereka.

“Tapi kamu kan sudah menggunakan nama samaran, Bi,” ucap Ibu Bian.

“Siapa yang bisa jamin kalau mereka tidak akan menyadari itu? Mereka pasti menyuruh anak buahnya yang pernah melihat wajahku untuk datang ke sini,” jawab Bian.

Mereka memang belum tahu bagaimana wajah Bian. Hanya beberapa anak buah mafia itu yang pernah melihat Bian ketika di perbatasan. Itu pun tidak terlalu jelas.

Kala itu mereka pun mengetahui nama Bian secara tidak sengaja. Padahal dalam misi khusus, Bian selalu menggunakan nama samaran.

“Lagi pula aku curiga. Mungkin ada orang dalam yang ikut membantu mereka. Tapi aku pastikan akan segera menangkapnya dalam waktu dekat, sebelum mereka menangkapku lebih dulu,” ucap Bian, yakin.

Sebagai istri jendral, Ibu Bian sudah sering menghadapi situasi seperti itu. Sebenarnya ia sangat khawatir. Namun ia harus ikhlas atas apa yang akan dilakukan oleh anak dan suaminya.

Meski Bian merupakan anak jendral, tetapi ia tetap profesional. Bian ingin membuktikan bahwa dirinya bisa berdiri sendiri tanpa sokongan dari orang tuanya. Sehingga Bian rela menghadapi risiko besar seperti itu.

“Ya sudah kalau memang itu yang terbaik. Ibu doakan semoga misi kamu cepat selesai. Setelah itu kita langsung lamar Ira. Semoga dia masih mau menerima kamu,” ucap Ibu Bian.

Bian tersenyum getir. “Mungkin saat ini dia sangat membenciku, Bu. Tapi nanti aku akan berusaha untuk meyakininya. Semoga dia percaya dan mau menerimaku lagi,” gumam Bian.

Namun ia teringat sesuatu. Sebenarnya tadi Bian tidak langsung pergi. Ia mengintip Ira menangis sambil berjongkok. Ia pun melihat Arga mendekati Ira.

‘Semoga kamu tidak tergoda oleh pria lain, Ra,’ batin Bian dengan tatapan kosong.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang