1.1. The North and South

88.5K 2.7K 35
                                    

PART I : NIGHTMARE

Aku telah melakukan semuanya. SEMUANYA, sampai peluh menjadi darah. Tapi semua terasa seperti sebuah kesia-siaan. Hidup makin sial apalagi setelah bertemu dengan si tukang roti. Tapi apa benar, semua kesialan itu benar-benar sial? –Dita.

What I want is a peaceful life with me and myself in my holy kitchen with my flour, yeast, eggs, sugar, and an oven. Not with a freaking stranger who ruined my life. What a sh*tty life. –Ares.

***

1.1. The North and South

Getar dan dering ponsel memekak di kamar seorang anak gadis, membuatnya menggeram karena dipaksa untuk bangun. Jemarinya menggaruk kepala yang sudah lama tidak menyentuh air dan sampo. Dia terlalu sibuk hanya untuk merawat mahkota panjangnya itu yang sudah lepek dan mengundang makhluk-makhluk penyebab gatal bernama ketombe. Dan yang pasti, dia masih mau tidur. Ponsel ditempel sekenanya di daun telinga tanpa repot-repot mengatakan halo.

"Diiit. Lo di mana?"

Suara cempreng pecah di pendengarannya, bagus sekali untuk memulai paginya yang indah. Namun detik berikutnya, Dita langsung tersadar dari mimpinya.

Sial. Siaaal. Aku bablas tidurnya gara-gara seharian nganter banyak penumpang dan orderan. Eh, nggak boleh komplain. Duit masuk itu, Dita.

Gadis itu menendang brutal selimut ke segala arah dan bangkit dari tidur tidak nyenyaknya. Badannya masih pegal karena semalam dia juga harus berkutat dengan laptop sampai pukul tiga pagi demi tugas. Alhasil, matanya hanya terpejam selama empat jam.

"Yang, gue on the way. Pokoknya kabari gue terus ya. Pantau pergerakan Pak Mansur." Setelah mengaktifkan speaker ponsel, Dita berlari ke sana kemari mengambil baju dan celana denim bersih di lemari, kemudian mengumpulkan buku yang berserak di karpet dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Padahal nyawanya belum terkumpul seratus persen.

"Istigi. Lo pasti ketiduran lagi deh."

Dita tertawa miris di depan kaca.

"Iyaaa," teriaknya sambil ganti baju secepat Flash.

"Eh, daleman jangan lupa di ganti. Trus semprotin cologne yang banyak. Hahahahaha."

Double sial. Yayang tahu aja aku nggak akan sempat mandi kalau udah telat begini.

"Iya, udah pasti lah. Udahan ya, Yang. Gue cuci muka dan gosok gigi dulu."

"Oke. Jangan lupa tugas dijilid yang rapi, pake cover warna merah. Ingat ya. Merah."

Plak.

Dita meringis kesakitan. Jidatnya nyut-nyutan gara-gara ulah tangannya sendiri. Yang pasti tugasnya masih berbentuk soft file dalam flash disk.

Sebelum berangkat keluar dari kamarnya, Dita tertawa miris melihat nasi warteg yang tergeletak cantik di atas meja belajarnya, tak tersentuh.

"Mama, Dita berangkat ke kampus," teriaknya menuju pintu. Dia yakin, mamanya sedang sibuk berbalas pesan dengan teman-teman di grup WhatsApp sosialitanya tanpa repot-repot menjawab si anak gadis. "Sudahlah. Tiap hari juga begitu", dumel Dita sambil menghidupkan motor matic.

Yang pasti, pagi itu Dita memburu motornya ke kampus dengan motor Scoopy dongkernya. Pikirannya bercabang, antara menjilid tugas, takut telat di kelas Pak Mansur dan perut keroncongan yang minta diisi karena tidak sempat makan sejak tadi malam. Dita sedih tidak sempat menyentuh nasi warteg yang dia beli sejak sore kemarin. Pemborosan uang dan penyia-nyiaan makanan!

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang