3.80. Please, Don't Leave Me

13.1K 1.2K 10
                                    

"MAS ARES! AWAAAAS!!!!!"

"Ares! Areeees! Jawab Mama, Res."

Setelah mendengar suara seorang perempuan berteriak menyebut nama anaknya, bunyi amat berisik mengoyak gendang telinganya sekaligus menyayat jantungnya, membuat tubuh Widyawati membeku. Tak sadar tangannya gemetar hebat saat meremas telepon genggam. Pecah tangis sang ibunda, melolong sendirian di kamar meneriakkan nama anaknya berkali-kali.

"Areees. Anak Mama. Ares!" panggil Widyawati histeris. Suara berisik tadi tergantikan oleh suara operator telepon seluler sejak beberapa detik yang lalu.

"Ibuk. Ibuk kenapa?"

Seorang perempuan muda datang tergopoh-gopoh dan berlutut di lantai. Wajahnya pucat, khawatir lebih mendominasi. Sebab, yang di panggil 'Ibuk' telah meluruh di lantai, lemah, menangis, dan sangat sengsara.

"Yayuk. Bagaimana ini, Yuk? Bapak ditangkap. Aresku, Yuk..." Lagi-lagi Widyawati tak dapat membendung tangisnya. Yayuk, asisten pribadi Widyawati memberikan pelukan menenangkan. Yang ada, Widyawati menjadi-jadi menangis di bahu perempuan itu.

"Mas Ares kenapa, Buk?"

"Ares kecelakaan, Yuk."

Yayuk terkesiap. "Ya Tuhan!"

Namun Yayuk tidak boleh ikut panik. Dengan kepala dingin dan tenang dia berpikir cepat, apa yang harus dilakukannya untuk keluarga yang sedang porak poranda ini. Sebegitu tahunya Yayuk seluk beluk keluarga Sasongko yang... bobrok.

Setelah membawa Widyawati ke kursi dan menenangkannya, Yayuk sibuk bicara pada ponselnya mencari informasi keberadaan anak sulung Sasongko di seluruh rumah sakit di Jakarta.

***

Masih bergidik jiwanya ketika mengingat sebuah truk tronton yang mengangkut empat tiang beton super panjang dan besar lepas kendali lalu menabrak mobil SUV putih yang ditumpanginya. Sensasi itu membuat bulu romanya berdiri lagi. Tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting adalah seseorang yang sedang bertaruh nyawa di kamar operasi.

"Ya Allah, selamatkan Mas Ares," bisik Dita sambil meremas rambut yang helaiannya mencuat di mana-mana. Bahkan masih ada serpihan material mobil Ares yang masih tersangkut di sana. Tapi Dita tidak peduli.

"Mas Ares, Dita nggak mau kehilangan Mas Ares. Mas Ares udah jadi sayangnya Dita sekarang. Cukup Mama yang ninggalin Dita, jangan Mas Ares. Jadi, please, jangan tinggalin Dita," racaunya tak jelas. Air matanya tak kunjung berhenti mengalir sejak tadi.

Tiba-tiba seorang petugas bermasker jalan terburu-buru keluar dari pintu Ruangan Operasi.

"Mbak, kenapa operasinya?" cegat Dita. Dita tahu di dalam ruangan itu hanya satu orang yang menjalani operasi, karena tertera di layar monitor Informasi Jadwal Operasi Hari Ini.

"Kami kekurangan darah, Mbak," jawab petugas itu sambil lalu dan berjalan cepat. Dokter atau perawat, Dita tidak tahu.

Mas Ares pendarahan?!

"Saya! Saya bisa donor Mbak. Golongan darah saya sama sama Mas Ares," buru Dita. Dita masih ingat golongan darah Ares saat mereka bertukar KTP. Dita tidak peduli dengan keadaannya. Padahal dia sendiri penuh luka.

Petugas berbaju scrub hijau itu berhenti. Matanya tampak tersenyum, menenangkan Dita yang sepertinya sebentar lagi terlihat akan tumbang.

"Mbak nggak perlu khawatir. Bank darah kami masih punya stok cukup untuk pasien di dalam. Sebaiknya Mbak yang istirahat ya. Permisi."

Dita ditinggalkan. Persendiannya seketika melemah, lalu terduduk di kursi tunggu dingin menanti Ares yang tak kunjung keluar sejak sejam yang lalu.

Sungguh keajaiban Yang Maha Kuasa, Dita hanya luka terkena pecahan kaca. Tapi tidak dengan Ares. Tubuhnya memang tertahan dengan adanya airbag yang mengembang sempurna. Namun, kepalanya terkulai dan tidak merespon sentuhan dan teriakan Dita sama sekali. Kakinya terhimpit badan mobil yang remuk, dan darah bercucuran di lengan kanan, entah di mana Ares terluka. Dita tidak yakin gambaran Ares beberapa jam yang lalu akan hilang dalam ingatannya selamanya.

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang