Sepuluh menit duduk berhadapan hanya di isi dengan suara denting sendok di piring dan suara kunyahan dua anak manusia yang kelaparan di gelap malam kota Jakarta yang mulai sunyi.
Gadis berjaket hijau itu makan dengan lahap, seakan-akan tidak menemukan makanan selama berhari-hari. Ares memperhatikannya dari balik bulu matanya. Dita tidak mengangkat kepalanya hingga makanan di dalam piring ludes tak bersisa.
Saat Dita membersihkan kerongkongannya dengan air mineral, barulah Ares mendesah lega, kulit wajah gadis itu kembali berwarna. Kapan terakhir kali dia makan, sih?
"Makasih Pak Ares. Enak banget. Ini tuh lasagna terenak yang pernah saya makan." Sorot jelaga Dita ikut mengungkapkan ketulusannya, walaupun bola matanya mulai merah karena mengantuk. Perutnya kenyang maksimal. Proper meal-nya hari ini hanya berupa lontong sayur tadi pagi.
"Hm."
Matanya mulai sayu. Dita menguap karena kekenyangan dan kecapekan. Kuliah, bimbingan skripsi, ngojek sebentar, dan menunggu Ares membuat tenaganya lumayan terkuras.
"Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?" ujar Ares cepat-cepat. Dia tidak ingin gadis itu tertidur di tokonya. Lagi pula sekarang hampir tengah malam. Seharusnya gadis itu tidak berkeliaran lagi di luar seperti ini. Sebutlah Ares kolot. Karena dia tidak akan setuju melihat seorang perempuan masih keluyuran di jalanan malam-malam. Memandang Dita yang kelelahan, mengingatkannya akan Shelomita, si adik yang mungkin seusia dengan gadis ini yang juga seorang mahasiswi.
"Saya nggak mau nikah. Pak Ares juga nggak mau nikah sama saya, kan?"
Tentu saja aku nggak mau nikah sama perempuan pemeras macam kamu.
Ares memutar bola matanya. "Tapi saya nggak bisa membatalkan pernikahan."
"Kenapa?" Dita membelalak. Hilang sudah kantuknya. "Saya bisa menjelaskan kesalahpahaman ini sama Mama saya. Saya yakin Pak Ares nggak berbuat aneh sama saya malam itu. Jadi untuk apa kita nikah?"
"Karena Mama kamu! Kalau bukan ancaman Mama kamu untuk melempar skandal ini ke media, saya nggak akan menikahi kamu," ujar Ares datar. Namun percayalah, matanya tidak demikian. Jelaga Ares membara seakan bisa membakar jiwa Dita yang sedang ketakutan.
"Mama bilang begitu?" cicit Dita.
"Ya. Dan kamu tahu apa? Mama kamu minta mahar yang nggak main-main. Saya nggak yakin kamu mau membatalkan pernikahan ini setelah tahu berapa yang dia minta. Atau jangan-jangan kamu sudah tahu berapa jumlah uangnya?" ejek Ares.
Seketika Dita mengingat kata-kata mamanya saat itu, 'Kalau kamu menikah, keluarga kita selamat dari utang'. Dita mulai menjambak rambutnya frustasi, takut bertanya berapa Mahar yang diminta Mama, tapi penasaran juga. Ia marah. Benar-benar marah pada satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia. Mama, Mama benar-benar Mamanya Dita, kan? Jangan bikin Dita durhaka sama Mama.
Air matanya menggenang. Tapi Dita tidak mau memperlihatkan kelemahannya di depan Ares.
"Saya nggak tahu soal mahar. Sumpah. Dengan segala hormat, Pak Ares. Saya nggak mau nikah. Tidak bisakah Bapak membatalkannya saja? Saya akan pastikan Mama nggak akan menyebarkan kejadian waktu itu."
"Saya nggak percaya sama mulut manis kamu. Saya nggak percaya sama Mama kamu. Asal kamu tahu, orang seperti kalian sudah sering saya temui. Mereka hanya peduli dengan uang. Tapi saya juga tidak mau melempar keluarga saya ke media hanya gara-gara ancaman Mama kamu!" Dita mengumpat pelan dan makin meremas rambutnya.
"Lalu kita akan tetap menikah?" ujar Dita putus asa.
"Unfortunately, yes," jawab Ares datar.
"Apa nggak ada jalan lain?" Dita masih berharap rupanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...