Dita salah besar melewatkan kesempatan makan mi rebus tadi karena kini dia merasakan akibatnya. Perutnya pedih. Mungkin lambungnya ngambek karena sudah lama tidak diisi makanan. Produksi asam lambungnya melambung tinggi karena protes pada Dita.Sepanjang jalan menuju area penjemputan, perutnya tak mau berkompromi lagi. Seharusnya dia menyempatkan makan mi rebus pesanan Surya tadi. Bau bumbu mi instan kari ayam itu sudah menyabotase pikirannya.
Ponsel Dita yang dilengketkan di phone holder dashboard berbunyi nyaring, menginterupsi khayalan mi rebus yang tak kunjung terealisasi.
"Yes, Bang Sur," jawab Dita menggunakan headset. Aww, kepalaku kok nyut-nyutan? Sesekali kepala malang itu dipijit. Mungkin gara-gara efek menangis dan tidak makan.
"Lu di mana?!" Dita mengernyit heran. Kenapa Bang Surya ngegas?
"Sepuluh menit lagi nyampe Bang. Eh Bang, gue nemu beng-beng di mobil lo. Gue makan ya. Entar gue ganti."
"Lu tahu alamat tempat jemput penumpangnya?"
"Tahu. Butterfly, kan?"
"Elaah, nih anak kok malah santai?" Suara Surya yang ngegas tadi berubah khawatir. Dita makin heran berlipat-lipat.
"Emang kenapa?" Setelah belokan terakhir, Dita menemukan plang neon Butterfly besar di pinggir jalan. "Tuh, gue udah nemu tempatnya, Bang."
"Tunggu Abang di situ."
"Buat apa? Jauh kali, Bang. Setengah jam juga Abang nyampe di sini."
"Lu cewek, Dita. Ini yang mesan cowok. Gara-gara kebelet nih gue nggak bisa mikir jernih. Gini aja. Pas sampai sana, lu cancel aja deh. Rugi nggak apa-apa. Bilang aja ke orang yang mesen kalo lu ada keperluan mendadak."
"Lha, nggak bisa begitu, Abang Surya ganteng. Nanggung."
"Butterfly itu night club, Dita cakep. Udah jam sepuluh malem ini."
Deg.
Dita bukannya berdebar di bilang cakep. Tapi dia berdebar karena alarm tanda bahaya seketika aktif di kepalanya. Berdiri bulu romanya. Menginjakkan kakinya ke club saja Dita tidak pernah. Sekarang dia menjemput seorang pria di sana yang isinya orang-orang yang punya gaya hidup yang...tidak biasa. Konotasi negatif terlalu melekat pada kata klub malam. Dunia malam, minuman beralkohol, mabuk, musik dugem yang memecahkan gendang telinga, pergaulan asik-masyuk, hingga narkoba.
"Iya-iya. Nanti gue batalin aja langsung ke orangnya. Kasihan juga udah nunggu lama dia."
"Ya udah. Yang penting habis ini lu pulang aja. Nggak usah ke warung Mbak Wati. Besok aja lu balikin mobil Abang. Ngerti?"
"Ngerti Bang Sur. Makasih banget." Terus terang Dita merasa terharu. Masih ada orang baik di sekelilingnya yang masih sayang dan perhatian, sebentuk rasa yang sudah tidak pernah ia dapatkan dari Mamanya yang kini sedang sibuk bersama teman-temannya di Hotel Mulia.
"Iye sama-sama. Makan aja beng-bengnya. Nggak usah diganti."
"Hehe. Makasih Abang."
Klik.
Perasaan Dita campur aduk. Mobilnya hampir sampai di lobi penjemputan. Ada beberapa pria yang menunggu disana. Dua orang memegang satu pria yang tidak sadar. Satu lagi berkacak pinggang sambil merokok.
Yang mana pelangganku? Semuanyakah? Gila aja. Kalau semua aku keder. Takut. Entar pulang tinggal nama, gimana? Kalau harga diri tinggal kenangan, gimana? Sereeem.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...