Sulit bagi Dita menahan haru ketika orang tua satu-satunya tidak datang menghadiri wisudanya sendiri. Hatinya terenyuh pedih ketika menyaksikan orang tua teman-temannya menitikkan air mata bangga ketika tali toga anak-anak mereka dipindahkan oleh dekan fakultas.
Lalu, siapa yang akan melihatku dengan bangga memakai toga dan menenteng map ijazah? Kepada siapa aku banggakan kesarjanaanku yang aku raih dengan penuh perjuangan di antara kuliah dan mengais rupiah? Mama nggak mau bangga gitu, aku udah tamat kuliah, jadi sarjana? Oke oke. Di luar semua tetek bengek wisuda ini, Mama nggak kangen Dita? Empat bulan Mama santai aja gitu, nggak tanya kabar Dita? Mama nggak cemas anak Mama dikerjain sama pria asing?
Anak Mama dicium!
Tapi kayaknya, ehm, untuk yang satu itu...Dita nggak akan nyesel, Ma.
Aaaaargh!!! Iya iya nyesel. Harusnya ciuman pertama itu untuk orang yang benar-benar aku cintai dan dia membalas cintaku dengan sama besar bahkan lebih. Nah ini, Aresta Dian Sasongko? Dia siapaaaa? Dia menciumku bukan dasar cinta. Kami nggak mencintai. Kami hanya partner in crime yang ingin membuat Mama dan Tante Widyawati senang dan tenang.
Auk ah gelap!
Selagi menikmati kepedihan dan kebingungan tak berkesudahan di tengah kebahagiaan senyum para keluarga undangan, Dita melihat pria yang tadi pagi bermandi peluh sedang meninju samsak di ruang olah raganya duduk tenang di tengah kursi keluarga. Pria itu kini memakai setelan semi formal, membuat ketampanannya naik beberapa ratus kali lipat. Selama beberapa detik mereka sempat bertemu pandang dan saling menatap.
Dita cepat-cepat berpaling demi meredam degup jantungnya yang meliar setiap kali mata mereka bertemu. Ciuman singkat malam itu terus terngiang dalam kepalanya. Walaupun baru pertama kali mencoba, Dita tahu rasa baru itu akan selalu membuatnya rindu.
Dasar ciuman manis sialan! Gadis itu kegerahan.
***
"Ditaaa. Sini foto sama gue," ajak Yayang. Dita menurut. Dua puluh kali jepret dan selesai. Sebenarnya dia ingin pulang sesegera mungkin. Lelah hati melihat tawa riang teman-temannya dikerubungi keluarga tercinta. Jadi, untuk apa berlama-lama di kampus?
Dita iri, okay. Karena Dita memang tidak sanggup terus-terusan berada di atmosfer kebahagiaan ini. Membuat dadanya sesak saja.
"Yang, habis ini gue pulang ya." Mengernyit seketika kening Yayang.
"Lho, kok gitu? Sama gue aja dulu. Kan Tante Rina lagi nggak di rumah. Lagi di luar kota."
Luar kota? Hah! Maaf ya Yang, aku harus bohong.
"Tapi, Yang..."
"Bapak pengen kita makan di Ikan Bakar Cianjur, Dit." Jiwaku benar-benar lelah, Yang.
Kali ini Dita memaksakan diri tersenyum, menutupi getir yang makin membengkak di dadanya. "Lain kali ya, Yang. Kirim salam sama Bapak dan Ibu."
Tahu-tahu Dita dihadiahi pelukan erat tanpa kata dari seorang sahabat.
"Gue tahu kok, pasti berat buat lo nggak ada Tante Rina di sini. Tante Rina sekarang kerja buat kalian. Sabar ya, Dit. Gue yakin lo pasti kuat." Lagi-lagi kebohongan yang lain. Air mata yang tak seharusnya keluar kini mengalir tanpa bisa dicegah.
"Thanks, Yang."
"Pokoknya kita harus keep in touch. Walaupun kita bakal jauhan, tapi pliiis, lo nggak boleh hilang kontak, Dit. Kita harus terus saling kasih kabar, walaupun Cuma dua kali sehari in 24/7." Dita terkekeh. Lega rasanya dia masih bisa tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...