1.18. No Such Thing as Moral Compass*

13K 1.1K 14
                                    

Satu-satunya tempat pertemuan mereka sebelum pernikahan konyol ini berlangsung adalah ruangan pribadi Ares di The Leisure Treasure Bakery, demi membahas hal-hal teknis menuju ijab kabul.

Di sinilah mereka sekarang ketika Dita diberi tahu bahwa mereka hanya akan menikah secara agama saja. Untuk sesaat Dita tak berkata apa-apa. Hingga Ares terpaksa melambaikan tangan di depan wajah Dita demi mengembalikan gadis itu ke bumi.

"Kamu kenapa?"

"Jadi kita akan menikah secara... siri?" tanya Dita pelan, takut-takut.

"Hmm, bisa dibilang begitu."

"Ke-Kenapa?"

"Perjanjian pra nikah nomor 5. Saya nggak mau orang lain tahu kita sudah menikah karena yang mereka tahu Nina yang akan saya nikahi. Bukan kamu." Wajahnya datar namun bola matanya bergetar. Pancaran sorot sedih sekaligus marah berhasil Dita tangkap pada pria di depannya.

Sesuai dengan perkataan Widyawati tempo hari, pernikahan memang dilangsungkan 'dengan cara mereka'. Ares ingin status pernikahan ini hanya sah secara agama. Dia tidak mau menodai KTP-nya dengan status duda setelah mereka bercerai nanti. Kenapa di buat ribet dengan mendaftarkan pernikahan ke negara sedangkan pernikahan mereka akan selesai bahkan sebelum jagung di panen. Baru seumur jagung, nah, itu dia perumpamaannya.

Astaga. Dita! Apa yang kamu harapkan sih? Ini kan pernikahan main-main. Kamu mau semua orang tahu tentang pernikahan gadungan ini? Apa kata teman-teman kamu? Apa kata Yayang nanti? APA KATA DUNIA?

Namun tidak dapat dipungkiri, seberkas sedih sempat merayapi hatinya ketika kata pernikahan siri sampai ke rungunya. Dia sendiri tak tahu kenapa bisa sedih. Apa karena menikah siri mempunyai konotasi negatif atau karena setelah cerai nanti statusnya berubah menjadi single tapi... janda? Dia tidak tahu mana yang lebih dominan.

Dita tertawa kering atas kekonyolan pikirannya barusan. "Te-tentu saja. Saya juga nggak mau orang lain tahu kalau kita sudah menikah. Saya masih muda. Saya masih mau bekerja. Kebanyakan syarat di job vacancy kan menuntut single. I-Iya kan, Pak? Dan lagi saya juga mau cari pasangan yang juga suka saya."

"Syukur kamu mengerti. Ada yang lebih penting lagi."

"Apa?"

"Papa kamu gimana? Saya nggak pernah dengar soal Papa kamu. Apa dia setuju dengan pernikahan kamu? Kamu nggak bisa menikah kalau tidak diizinkan Papamu."

"Papa udah nggak ada." Ruangan Ares mendadak sunyi. Dita menunduk dan memijit ujung jarinya, menahan cairan panas yang akan merembes keluar dari jelaganya.

"Maaf. Saya turut berduka."

***

Kebaya putih milik Safarina tergantung di daun lemari, seakan se dangmengejek gadis yang tengah menatap nanar pakaian bersejarah milik orang tuanya saat menikah dulu. Bahwa dengan pakaian itu, menandakan pernikahan sebentar lagi akan terjadi, walaupun hanya pernikahan secara agama.

Ajaibnya, ukurannya sangat pas pada tubuh Dita. Dia hanya perlu memakainya dengan hati-hati karena usia kebaya itu hampir sama dengan usianya, yaitu 23 tahun lebih enam bulan. Dita sedikit berbangga, bahwa dalam hitungan jam, baju itu jua lah yang akan mengantarkannya menjadi seorang istri seperti mamanya dulu. Namun di balik rasa bangga, rasa kecewa lebih besar mengisi ceruk hatinya kepada satu-satunya keluarga yang dia punya.

Mama... Dita sayang Mama. Mama masih sayang Dita? Apa Mama 'ngusir' Dita dari rumah Papa dengan menyuruh Dita menikah? Kenapa Mama nggak sekali pun nahan Dita? Nangis buat Dita? Sedih aja enggak putrinya mau menikah dengan orang asing. Dita nikah demi utang Mama. Dita nikah demi keluarga kita. Tapi Mama malah seneng dapat mahar segitu banyaknya. Siapa sih yang nggak seneng dapat uang? Tapi menurut buku yang Dita baca, harusnya mahar itu kan, buat Dita. Tapi Mama udah memetakan uang itu untuk apa aja tanpa Dita terlibat didalamnya. Hanya segitu harga Dita di depan Mama?

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang