2.37. Bitter Memory

13.7K 1.4K 33
                                    

Pria itu mematung di depan pintunya. Beberapa detik yang lalu, pikirannya dengan telah kurang ajar mengkhayalkan harum apa yang akan dia hidu ketika masuk ke huniannya nanti. Tapi saat itu juga Ares langsung dihempas kenyataan, bahwa tidak akan ada bau apa-apa selain pengharum reed diffuser-nya yang beraroma vanila.

"Haaah."

Dari pada di cap pria aneh yang hanya berdiri diam di depan pintu oleh penghuni lain, Ares cepat-cepat masuk.

"Miauuuw."

"Maple anak Papa." Ada Maple. Ya. Dia akan selalu menemaniku. Janji ya, Maple. Jangan pernah pergi dari Papa. Ares mengubek-ubek bulu Maple gemas. Maple tentu kesenangan dan mendengkur makin keras.

Sudah berapa bulan dia seperti ini? Ada kehampaan aneh yang menyerang setiap kali dia pulang ke huniannya. Sudah bertahun-tahun dia tinggal sendiri di apartemennya. Maksudnya tidak literally sendiri. Ada Maple si kucing manja dan gemuk yang menyambutnya di depan pintu. Tapi, sejak bertambahnya satu penghuni... Demi Tuhan. Hanya satu orang tapi benar-benar membuat perbedaan besar dalam hidupnya.

Tiba-tiba Maple melepaskan diri dari serangan kasih sayang Ares. Dia melompat dari gendongan tuannya dan berjalan ke depan kamar tamu. Kucing itu mengeong ke pintu.

"Maple. Kamar itu kosong. Kamu sudah tahu itu."

"Miauw." Ares terenyuh. Ngeongan Maple amat lirih dan matanya menatap sayu pintu tertutup itu.

"Maple," ucap Ares lelah. "Dia sudah pergi. Like, months ago. Dia nggak akan kembali."

Kucing gemuk itu malah tidur melingkarkan tubuhnya di keset kaki membelakangi tuannya. Seakan menolak mendengar kata-kata Ares.

Dia ngambek lagi.

Selalu begitu. Maple akan mengeong pada tuannya setiap Ares datang dan menjambangi keset kaki kamar di mana mantan istrinya tidur. Jadinya Ares meletakkan keset kaki empuk dan tebal agar Maple bisa nyaman 'bersedih' di sana.

Maple telah kehilangan teman lari-lariannya.

Dan Ares kehilangan seorang gadis cengeng yang pintar memasak, teman sarapan dan teman mengobrol setelah makan malam.

Lalu kalau merasa kehilangan, mengapa bercerai, Aresta?

Begitu banyak pertimbangan Ares untuk mengucapkan kata talak waktu itu. Yang paling mendasar dan Ares tidak akan membantah untuk alasan ini : cinta.

Kedua tangan Ares sudah dililit hand wrap putih dan telah memasang kuda-kuda hendak melawan samsak diam.

Demi Tuhan. Mereka menikah bukan karena saling suka, saling cinta. Untuk apa melanjutkan menikah kalau tidak cinta? Bahkan sayang pun tidak. Kalau begitu, apa arti pernikahan?

Tapi bibir itu...

Bugh. Satu pukulan keras menghantam samsak yang malang.

You need to hold your lust, Ares. You're such despicable man! Bahunya melorot dan dijatuhkannya saja kedua tangannya lemas. Napas beratnya susul-menyusul. Tapi memang benar. Rasa manis itu membuat aku ingin merasakannya lagi. Sial!

Melepaskan uneg-uneg yang tak terucap memang lebih menyenangkan dengan menghantam samsak di ruangan olah raganya. Bahkan ketika jarum pendek jam dindingnya sudah berada di angka 12 malam.

Sebentar lagi saja, pikir Ares. Pria itu menepuk-nepuk kedua tangannya demi mengumpulkan tenaga dan adrenalin.

Jab* kanan.

Pukulan cross** kiri.

Ganti posisi kaki.

Napasnya memburu. Namun Ares masih belum puas. Ingatannya kembali lagi ke makan siang terakhir mereka di restoran Radhitya, si celebrity chef.

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang