Gadis aneh.
"Balas budi untuk apa? Sok misterius dia. Dia pikir dengan membuatku penasaran, aku akan meloloskannya menjadi asistenku? Supaya dia memberi tahu alasan balas budinya? Akal-akalannya saja," gumam Ares sambil menggosok dagu dan daerah rahang yang mulai tumbuh jambang halus karena sudah lama tak tersentuh pisau cukur.
Tapi dia tetap menyingkirkan amplop pelamar lain yang tidak akan diliriknya dua kali ke samping dan meninggalkan berkas lamaran Dita sendirian di tengah meja. Sudah tak terhitung kali Ares membaca lima lembar kertas yang terdiri dari dua lembar CV, satu lembar surat lamaran, selembar foto kopi ijazah, dan selembar foto kopi transkrip nilai. Ada foto kopi KTP, SIM A dan C, lalu selembar pas foto ukuran 4x6 latar merah-Dita tersenyum dengan profesional ke kamera. Beda dengan senyum manis yang kini terpatri dalam benaknya ketika Dita menerima hadiah croissant di tokonya kala itu.
Pas foto itu diletakkan berdampingan dengan berkas lamaran. Melihatnya sekali lagi selama semenit penuh, dan Ares meninggalkan mereka tergeletak bermalam di sana. Sedangkan dia mengambil kunci mobilnya, mematikan lampu ruang kerja, lalu beranjak ke tujuan berikutnya.
***
"Hey yo, Bro. It's been a while." Mike berdiri memeluk Ares sekilas dan menepuk punggungnya. Ares memutuskan ikut kumpul-kumpul bersama sahabatnya. Sudah terlalu lama dia tidak 'bersosialisasi' dengan dunia sebenarnya.
"Miss me already?" goda Ares. Mereka memang sudah lama tidak bertemu.
"Iya. Iya. Puas lo?"
Dua pria itu duduk di sebuah kursi panjang di bagian teras sebuah coffee shop. Tobi hanya melambaikan tangannya karena sedang terlibat percakapan serius dengan seseorang di ponselnya.
"Kenapa dia?" tanya Ares. Jawaban Mike hanya menaikkan kedua bahunya.
"Mana Indra?"
"Masih di jalan. Tadi ngantar Wanda dulu ke rumah mamanya. Maklum, rada protektif tu anak. His wife is expecting soon, so."
"Oh ya?" Mike mengangguk. Ares baru tahu berita ini. Ke mana saja dia selama ini?
"Due date?" tanya Ares.
"Hitungan minggu. Like, 3 or 4." Yang menjawab Tobi. Tapi wajahnya tidak santai. Penuh kerutan di jidatnya yang mulus setelah menyudahi percakapan serius tadi.
Ares masih mencerna berita baru ini. Sebentar lagi sahabatnya akan menjadi seorang ayah. Sedangkan dia sendiri? Masih santai dengan kesendiriannya. Lumayan menyentil nuraninya sedikit.
"Hey what's wrong?" tanya Mike. Dia tidak tahan melihat temannya yang biasanya easy going dan tidak pernah serius memikirkan apa pun, kini berubah pias seakan-akan dipaksa berhenti menggemari dua hal penting dalam hidupnya: minuman dan wanita.
"Nyokap minta gue kawin dalam 3 bulan. Kalau enggak, posisi gue di Tiga Farma diambil alih sama si bungsu." Dua temannya ber-aaahh serentak. Masalah klasik dari keluarga Dharmawangsa.
Awalnya Tobias menganggap sepele ancaman maminya. Tapi bila wajah Tobi pucat pasi seperti mau mati, berarti ancaman maminya bukan ancaman kaleng-kaleng.
"Ya udah. Berarti tinggal kawin, kan?" Ares membuat temannya makin spaning. "Eh, sori. Kalo kawin kan, lo udah sering. I mean, you should get married to a 'real' woman, Tobi," ralat Ares.
"Couldn't agree more, Tobias," timpal Mike.
"Kalian pikir mudah mencari istri di dunia kacau seperti ini? Seperti Indra menemukan Wanda? Di mana gue bisa menemukan perempuan baik-baik seperti Wanda?" Tobias frustasi, menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...