1.9. The Break Up

16K 1.6K 5
                                    

"Tan, aku nggak sanggup diginiin," isak Nina menekan tisu ke sudut matanya. Air mata tak jua berhenti, sedangkan kekasihnya masih saja berada di kamar. Nina benar-benar terlihat sangat menyedihkan. Walaupun demikian, kecantikannya tetap terjaga. Bahkan eye liner dan maskaranya tetap utuh berada di tempatnya.

"Nina Sayang. Sabar. Kita tunggu Ares. Dia pasti punya alasan kenapa perempuan ini masuk ke apartemen Ares." Mata tajam elegan yang menurun pada anaknya Ares menatap Dita yang duduk tak berkutik di ujung sofa. Dita berharap menjadi semut saja sekarang ini juga.

"Tapi Tante lihat kan, tadi. Ares cium itu cewek. Nggak pakai baju, lagi. Menurut Tante aja, ngapain anak Tante sama cewek nggak jelas itu semalaman di sofa, pelukan. Ares nggak pakai baju, Tan," ulang Nina lagi.

Ya Allah, mesti ya Mbak, bilang nggak pake bajunya berkali-kali. Aku yang lepasin, Mbak. Aku. Dita ingin sekali menjelaskan. Tapi sepertinya ia tidak diberi kesempatan bicara.

"Tante tahu. Tapi kita juga harus dengar alasan Ares."

"Maaf, Buk, Mbak. Saya Cuma mau bilang, saya nggak ngapa-ngapain sama Pak Ares. Beliau Cuma penumpang aplikasi saya," sela Dita sambil memeluk jaketnya, berharap alasannya berhasil menenangkan si wanita cantik itu.

"Halah. Bullsh*t. Bilang aja kamu memang wanita murahan yang di bayar Ares untuk bersenang-senang semalaman!" tatap Nina tajam pada si tertuduh. Kemudian ia beralih pada Widyawati. "Ares nggak cinta lagi sama aku, Taaan..."

"Sumpah Demi Allah. Saya nggak wanita murahan. Saya Cuma driver! Semalam itu saya juga nggak tahu kenapa ketiduran disini." Darahnya seketika mendidih di tuduh wanita murahan. Sekarang Dita baru paham makna fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.

Nina berdiri melewati meja tamu dan berjalan ke depan Dita, lalu menyeka air matanya kasar seolah-olah mengatakan, lihat apa yang telah kamu perbuat, dasar wanita muarahan! Nina menjulang tinggi mengintimidasi si gadis driver yang menciut.

"Kamu!" tunjuk Nina dengan telunjukknya. "Selamat sudah memisahakan aku dan Ares."

"APA, NAK?"

"Maksud Mbak apa?", ucap Dita dan Widyawati bersamaan. Ucapan Nina bagaikan petir di siang bolong. Bukankah Nina terlalu cepat menarik kesimpulan gegabah?

"Tante. Aku minta maaf. Tapi aku nggak bisa menikah dengan Ares, Tan. Aku kecewa sama Ares. Jadi tolong sampaikan pada Ares. Aku pergi." Nina berbalik dan meninggalkan dua manusia ternganga dengan keputusan sepihaknya.

"Nina. Tante mohon. Bicara baik-baik dulu sama Ares." Namun Nina bergeming dan terus berjalan ke pintu.

"Ck. Gara-gara kamu." Dan Widyawati menyusul mantan calon menantunya.

Perasaan bersalah segera menyerbu dan mengerubungi hati kecil Dita. Lho, kok bisa kayak gini? Masak aku jadi orang ketiga? Apa aku barusan merusak hubungan orang lain yang akan menikah? Memangnya mereka siapa? Aku siapa?

Nina tak mampu di tahan. Widyawati marah besar. Kini pintu kamar anaknya menjadi sasaran amukannya. Apa sih yang dilakukan anak itu di kamar? Merenungi nasib? Mandi berendam di bathtub? Shalat taubat? Demi Tuhan!

"Ada apa, Ma?" tanya Ares setelah gedoran bertubi-tubi memaksanya membuka pintu. Sebuah firasat tidak bagus menghampiri dadanya, membuatnya resah setelah melihat wajah mamanya yang gusar, murka, dan merah padam.

"Res, Nina Res. Nina pergi!" teriak Widyawati setengah histeris.

"Hah? Pergi? Kenapa?"

"Ya gara-gara kamu sama perempuan gembel itu, lah." Ibu dan anak itu serempak menoleh ke si 'gembel'.

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang