1.6. The Party

17.1K 1.7K 17
                                    

Dita baru sampai di rumahnya dari mengantar penumpang ketika melihat seorang wanita anggun tampak sangat menawan dalam balutan gaun malam berwarna dusty pink keluar dari kamar mamanya.

Dia, mamaku kan?

"Ma, cantik banget. Mau ke mana?"

"Mama kan udah bilang mau pergi arisan." Anaknya langsung menepuk jidat.

"Ah iya. Dita lupa. Di mana?"

"Di Hotel Mulia."

"Apa?!" Kepala Dita langsung pusing menghitung-hitung berapa tarif sewa ruangan di sana.

Bukannya itu hotel bintang lima? Butuh duit berapa Cuma buat makan-makan haha hihi di sana?

"Makanya Mama mesti beli gaun ini supaya pas dengan tempat pertemuannya."

"Duit beli baju dari mana?" tanya Dita ngeri. Dita ingat baru beberapa hari lalu mentransfer uang ke rekening mamanya untuk perbaikan atap rumah yang bocor yang sampai detik ini, belum ada tukang yang datang untuk memperbaikinya.

Nggak mungkin kan, dibeliin ke baju ini sama Mama? Please bilang nggak, Ma, mohon Dita dalam hati.

"Mama pake dulu duit yang kamu kirim waktu itu. Habisnya, kalau nggak cepat-cepat dibeli, orang lain yang dapat gaun cantik ini," ujar Safarina bangga memamerkan gaun elegannya. Tahu-tahu Dita menjambak rambut lepeknya. "Cantik kan, Mama?"

"Ma! Mama nggak sadar kalau genteng bocor lebih urgent dari baju itu?" Dita marah. Tapi mau marah ke mamanya? Ke orang tua satu-satunya yang ia sayang? Sayangnya, semenjak kepergian papanya, rasa sayang Dita pada Safarina semakin ia pertanyakan ketulusannya.

"Mama tahu. Tapi pertemuan triwulannya pas banget hari ini," ujarnya menyesal. "Mama mesti tampil cantik, tho?"

Safarina tidak tahu saja kalau wajah anaknya menggelap merah padam seperti gunung merapi yang siap memuntahkan lava pijar yang amat panas.

"Ma, itu duit ngumpulinnya lama!" teriak Dita frustasi. "Dita mesti nyambi kerja sana sini, jemput penumpang hujan panas badai. Tapi Mama seenaknya make uang itu buat beli baju pertemuan triwulan yang nggak guna!" Tak sadar Dita hentakkan kakinya ke lantai tak bersalah. Kesal. Padahal selama perjalanan pulang sudah terbayang bakal makan mi rebus pedas dengan nasi hangat dan telur setengah matang, plus taburan cabe rawit cincang. Terus makan di depan TV sambil selonjoran. Dita capek. Capek badan. Kini pikirannya ikutan capek. Lelah melihat kelakuan mamanya yang semakin menjadi-jadi.

"Nggak guna kata kamu?!"

"Iya nggak guna!"

"Mama ikut arisan berharap nama Mama keluar di kocokan arisan nanti. Lima puluh juta sekali keluar, Nak. Dapat uang dari mana lagi kalau bukan di acara nanti?" ujar Safarina santai.

"APA?! Lima puluh juta? Jadi selama ini arisannya segede itu?" Matanya mulai mengabur. Air matanya mulai turun perlahan. Kesaaaal. Dita menangis karena kesal. "Jadi uang yang Dita transfer ke Mama buat arisan segede itu?" ulangnya frustasi.

"Kamu lebay banget deh. Dulu waktu Papa ada juga segitu arisan Mama."

"Tapi itu kan dulu, waktu Papa masih kerja di tambang. Waktu Papa punya banyak saham dan aset yang nggak habis-habis. Sekarang setelah Papa meninggal, saham Mama jual. Rumah di Sentul di jual. Mobil juga di jual karena biaya perawatan dan pajak mahal. Tinggal rumah ini aja yang belum Mama jual!" sindir Dita sambil menahan tangis. Gadis itu menghapus kasar air mata yang jatuh dengan lengan jaket hijaunya.

"Heh, Aphrodita! Kalau nggak Mama jual, gimana kuliah, hm? Itu motor juga dari hasil penjualan rumah." Safarina tidak mau kalah.

"Tapi, dari hasil penjualan semua aset Papa yang setengah M lebih, yang Dita pake cuma untuk biaya kuliah. Motor cuma belasan-an juta Ma. Bekas pula. Delapan puluh persen hasil penjualan ke mana, Mama Sayang? Padahal aku mau wisuda. Biayanya juga nggak sedikit. Ini malah aku yang setor duit ke Mama."

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang