2.55. Puppy Eyes

12.2K 1.2K 25
                                    

"Jadi Dita, kenapa kamu ingin balas budi ke saya?"

Ares menyandarkan pantatnya di pinggir meja kerja dan menyilangkan kedua tangannya di dada. Tatapannya tajam mengunci gadis yang menunduk mengikuti ke mana pun Maple bergerak.

Dita tahu kok, dia sedang di perhatikan. Dita menunduk karena sedang mengumpulkan kekuatan untuk bicara jujur. Maka malam ini, Dita tidak akan berbasa-basi lagi.

"Mas Ares secara nggak langsung telah membantu keluarga saya keluar dari jerat utang pada bank yang jumlah pokok dan bunganya sampai 230 juta. Berkat mahar yang pernah Mas Ares beri dulu, Mama akhirnya bebas hutang. Saya sangat berterima kasih untuk itu," ungkap Dita jujur.

Naik pitam Ares. Kejujuran barusan terdengar sangat menyebalkan, tapi sialnya gadis itu terdengar amat tulus. Saking tulusnya, Ares tidak mampu berkata-kata. Saking jujurnya, Ares tidak bisa marah. Kepada siapa dia harus melampiaskan kemarahan ini? Pada gadis yang matanya memohon seperti mata anak anjing ini?

Hanya pada kepalan tangan yang sangat kuat hingga buku-buku jarinya memutih perih, amarah itu tersalurkan.

Tidak. Ares tidak mau bersuara keras lagi. Membentak gadis ini di masa lalu sempat membuat dirinya merasa bersalah. Dita dan dirinya hanyalah dua manusia yang terjebak oleh keinginan egois para orang tua.

"Jadi Mama kamu meminta uang mahar sebanyak itu untuk menebus utangnya?" suara Ares rendah mengancam.

"Ya."

Ares mendengkus kasar dan melempar tangannya ke udara. "Yang benar saja. Kamu memang penipu. Keluargamu memang penipu."

Tergesa-gesa Dita melangkahkan kakinya dengan lebar hingga mereka hanya berjarak setengah meter saja.

"Sa-saya minta maaf, Mas. Saya ikhlas menerima semua tuduhan Mas Ares. Saya nggak akan menyangkalnya."

Ajaibnya, Maple mengkuti ke mana pun kaki Dita melangkah. Si kucing gendut memilih duduk dengan nyaman diantara kaki dua manusia ini.

"Sisa yang 20 juta, kamu pakai, kan?" tanyanya dengan gigi geligi saling menggeretak menahan amarah. Dita menggeleng.

"Tidak secuil pun uang mahar itu kamu gunakan?"

Dita menunduk, lagi-lagi menggeleng lemah. Sebab tak berani mengangkat kepalanya di depan Ares. Dita masih malu untuk semua kelakuannya dan Mamanya, seakan-akan kejadiannya baru terjadi kemarin sore.

"Sh*t!"

"Mas Ares mengumpati saya lagi?!" tantang Dita. Dita benci mendengar Ares mengeluarkan kata-kata kasar, apalagi ditujukan untuknya. "Saya nggak suka orang yang mengumpat."

"Dita. Look at me!" Pria itu berdiri memegang kokoh kedua bahu lawan bicaranya, memastikan Dita hanya melihat padanya saja.

Siapa lagi Res di ruangan kamu kalau bukan Dita?

"Saya mengumpati keadaan. Oke! Bukan kamu. I just... hate liers. Saya benci tukang bohong."

Deguban jantung Dita meliar oleh sebab apa yang didengarnya barusan.

Apa yang akan terjadi bila aku menceritakan kejadian di sofa malam itu? Karena, memang tidak terjadi apa-apa diantara kami. Dita nelangsa.

"Saya benar-benar merasa bersalah, Mas Ares," gadis itu memelas. "Makanya saya berdoa diterima di toko roti Mas Ares agar saya bisa menebus perasaan bersalah ini." Gadis itu berusaha keras menahan gejolak air mata yang bisa kapan saja meledak. "Saya ingin meminta maaf dengan benar."

"Memangnya apa yang akan kamu lakukan?"

"Saya udah ngumpulin uang."

Sebelah alis si Tukang Roti galak naik sebelah, mencemooh, skeptis, namun penasaran di saat yang sama.

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang