"Bos, ada pesanan dadakan cupcake seratus buah. Hiasan terserah kita. Yang penting elegan."
Ares memutar bola matanya gara-gara panggilan Bos. Sudah berapa ratus kali dia harus mengingatkan Sandy untuk hanya memanggilnya 'Mas Ares'.
"Buat kapan?" tanyanya.
"Nanti malam. Mereka yang jemput. Bisa, Bos?"
Matanya kembali fokus menyemprot adonan madeleine ke loyang yang sudah diberi olesan butter dan taburan tepung. Dalam semenit, loyang madeleine penuh dan dimasukkan ke oven yang sudah dipanaskan terlebih dahulu.
"Apa aja pesanan kita hari ini?"
Walaupun bertanya, Ares tetap berjalan ke papan pesanan di dinding sambil mengelap tangannya ke serbet yang tergantung di kantong depan apronnya, kemudian membaca pesanan hari ini. Ada tiga pesanan. Satu kue ulang tahun yang sedang dikerjakan Ana, dua kotak croissant—croissant-croissant cantik itu sedang menunggu warnanya berubah keemasan di dalam oven, dan pai daging dua puluh buah.
Pai daging, a peace of cake, nggak makan waktu lama, ucap Ares enteng dalam kepalanya.
"Bisa. Kamu mulai buat adonan kulit pie. Biar saya yang buat cupcake."
Seratus? Memang banyak. Tapi ketika mengingat ada banyak cupcake yang akan dia hias, adrenalinnya memuncak. Ares suka menenggelamkan dirinya dengan berkreasi di atas permukaan kue-kue kecil itu.
"Oke. Saya kasih tahu Mimi di depan."
Tanpa ragu, Ares langsung mengambil tepung, gula halus dan telur ke lemari persediaan di sebuah ruangan terpisah dari dapurnya. Sedangkan butter ada di lemari pendingin satu ruangan dengan dapurnya.
Ketika sedang menakar gula, ponselnya berbunyi di rak khusus gadget. Ares tidak suka ada yang mengganggu 'me-time'-nya di dapur. Lho, Ares kan sedang bekerja. Kenapa disebut me-time? Karena memanggang kue dan larut dalam aroma tepung, butter, dan coklat membuat sarafnya rileks. Masuk ke dapur bagaikan masuk ke safety bunker versi Ares dari hiruk pikuk dunia dan hiruk pikuk mama dan papanya yang banyak memberi tuntutan.
"BOB!" teriak Ares.
"Boby lagi ke toko Madam, Bos," ucap Ana. Si Bos menghela napas lelah karena bertambah satu orang yang memanggilnya Bos.
"Kamu ikut-ikutan panggil saya Bos?" ancam Ares berkacak pinggang. Sontak Ana mengangkat kedua tangannya yang memegang spatula penuh krim bak penjahat kena todong polisi. Membuat bosnya marah bukan rencana Ana untuk selamanya.
"Oops. Maaf Bo... Mas Ares. Gara-gara Sandy, nih." Ana membela diri.
Biasanya Boby yang bertugas mengambil gawai Ares dan mengaktifkan mode loud speaker untuknya. Ares tidak mau diganggu bila sedang sibuk dengan urusan dapur. Kini dia harus capek-capek menjalankan kakinya sejauh lima langkah untuk mengambil gawai itu.
Lagi-lagi Ares menghela napas lelah. Padahal masih pagi, tapi sepertinya dia telah melakukan squat jump sepuluh kali tiga set.
"Ya, Pa?"
"Res, Papa ada acara seminar kewirausahaan di kampusnya Mita."
"Lalu?"
"Kamu datang, ya? Hitung-hitung perkenalan Ares anaknya Dadang Sasongko, si chef terkenal." Tawa khas bapak-bapak pejabat merambat ke telinga Ares.
"Ares lagi sibuk, Pa."
"Ayolah. Ada wartawan. Bagus kalau kamu datang mendampingi Papa ke sana. Hitung-hitung biar masyarakat makin familiar sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...