Dita sudah mulai berhubungan dengan Safarina. Dita amat lega Mamanya dalam keadaan baik-baik saja. Mereka sempat bertemu. Tapi anehnya, Dita hanya bisa bercengkerama dan melepas rindu beberapa jam saja. Setelah itu mamanya pergi dengan Luki ke luar kota dalam keadaan terburu-buru.
Saat bertemu Safarina, Dita langsung menagih penjelasan mengenai rumah dan mahar. Penjelasan yang dia dengar bikin sakit kepala.
Safarina berdalih menjual rumah itu karena harus membayar utang.
Utang yang mana lagi?
Pertanyaan itu berputar dalam benaknya terus-menerus. Utang di Bank kan, sudah lunas oleh mahar. Di mana lagi Safarina 'menggali lubang'?
Nasi sudah menjadi bubur ayam dengan toping lengkap. Rumah kenangan Papanya tidak bisa di ambil begitu saja karena butuh uang yang tidak sedikit untuk membelinya lagi. Apa lagi harga tanah dan bangunan semakin tinggi di daerah kompleks perumahan Dita tinggal.
Tapi aku belum siap untuk mengikhlaskan rumah Papa.
Ditambah sisa mahar hasil membayar utang juga tak tahu rimbanya. Lelah Dita. Lalu muncul perasaan aneh yang membuat hatinya tidak nyaman bila membahas mahar.
Perasaan itu bersemi dan terus berkembang bagai kanker. Apa itu perasaan bersalah karena ikut menipu Ares? Mungkin saja. Karena bagaimanapun, kesepakatan atas nama tipu muslihat tidak pernah bisa membuat Dita tenang.
***
Hubungan darah tidak akan bisa diputus. Sejahat dan seburuk apa pun kelakuan Safarina dulu sampai tega menjual anaknya, Dita tidak bisa membenci mamanya sendiri. Dita kangen Safarina. Dita terlalu sayang Safarina. Dan rasa sayang itu berubah menjadi rindu karena sudah lama tidak memproyeksikan rasa rindu itu dengan berpelukan, tertawa, menghabiskan waktu bersama seperti hari-hari damai sebelum datang segala utang, sifat foya-foya mamanya, dan pernikahan sialan itu.
Pernikahan sialan?
Dita mematut-matut dua kata itu lalu menarik kembali lintasan memori ketika pernah tinggal di sebuah hunian mewah. Makannya teratur, bertemu kucing gendut super lucu, dan sempat menyaksikan kehebatan seorang chef membuat spageti dari tepung dan telur. Satu lagi. Berat badannya bertambah.
Oke-oke. Tidak sesial itu, kok, ralat Dita sendiri. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Dita?
Di minggu siang, Dita memutuskan menelepon Safarina. Dita sedang dilanda rindu. Walaupun hanya lewat suara, kangennya lumayan terobati.
"Ma, Mama di mana sekarang?" ucap Dita pada headset-nya sambil tiduran di kasur.
"Mama sedang di Pekanbaru, ikut Mas Luki kerja." Dita harus menelan kecewa lagi. Lagi-lagi mamanya tidak ada di Jakarta.
"Kapan Mama pulang? Mama masih tinggal di Kebayoran Lama, kan?"
"Mama sudah pindah. Sekarang di Kebon Jeruk." Dita mengernyit heran. Ada alasannya kenapa Dita begitu.
"Bukannya Mama belum sampai setahun tinggal di sana? Kenapa pindah?"
"Lingkungannya nggak bagus, Nak. Tetangganya pada rese. Jadi Mas Luki putuskan kami cari rumah baru."
"Om Luki... baik kan sama Mama?" Tiba-tiba saja Dita ingin tahu kehidupan rumah tangga Mamanya. Sejauh yang Dita tahu, Luki hanya seorang teman kuliah Safarina yang bertemu setelah sekian puluh tahun, dan bekerja di bidang finansial. Hanya itu.
"Baik. Mas Luki sayang sama Mama. Kami seperti kembali ke zaman kuliah dulu. Kencan, liburan ke mana pun Mama mau, atau menghabisakan waktu berdua saja di depan TV, atau jalan-jalan keliling komplek." Safarina terkekeh manja. "Dia itu kelakuannya masih sama kayak kuliah dulu. Mama jadi seperti anak muda lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...