"Alhamdulillah. Alhamdulillah," ucap Dita berkali-kali. Akhirnya Dita mendapatkan jadwal untuk sidang akhir. Ini momen yang ditunggu-tunggu. Tinggal sedikit lagi, maka dia akan keluar dari kampus dan mencari kerja secepatnya.
"Kuasai apa yang kamu tulis dan teori dasar yang sudah dipelajari sejak semester 1," perintah Bu Eli.
"Baik, Buk."
Orang pertama yang ada dalam benaknya untuk diberi tahu kabar baik ini adalah Sang Mama. Dita hari ini harus memberitahu mamanya. Sekalian untuk meminta doa, restu, dan kalimat penyemangat dari orang tua satu-satunya. Karena, hanya mamanya yang dia punya di dunia ini.
Namun, keinginan tak sejalan dengan kenyataan.
Dita berkutat dengan ponselnya, berkonsentrasi penuh menunggu koneksi tersambung dengan sang Mama. Tak peduli orang-orang berlalu lalang di depannya karena sedang duduk bersandar di dinding lorong kampus. Masalahnya, sudah belasan kali memencet nomor mamanya, tapi hasilnya nihil.
"Kenapa Mama nggak bisa di hubungi?" Kepalanya jadi berdenyut. Apa terjadi sesuatu pada Mama?
Sama saja dengan pesan WhatsApp. Pesannya hanya sampai pada centang satu. "Mama bikin Dita khawatir, tahu. Mama nggak di apa-apain sama Om Luki, kan?" Dita sampai bicara sendiri karena saking paniknya.
"Diiit. Kita sidang di hari yang samaaa. Yesss," teriak Yayang dari kejauhan. Yayang berhenti melambai ketika merasakan aura yang berbeda dari sahabatnya.
"Yang, Mama kok nggak bisa di hubungi, ya? HP-nya nggak aktif. WA-nya nggak aktif juga."
"Loh, kok bisa? Emang lo nggak ketemu Mama lo tadi pagi?" Otomatis Dita memejam matanya, menyesal, merasa bersalah. Semua campur aduk. Yayang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan rahasianya. Maafin gue, Yang. Nanti gue akan kasih tahu elo yang sebenarnya.
"Itu... gue mau kasih tahu kalau tanggal sidang udah ada. Eh, kita sidang di hari yang sama kan, Yang?" putar Dita cepat. Topik Mamanya harus segera ditinggalkan, walaupun pikirannya tetap tertuju pada sang Mama tercinta.
"Iya. Gue pagi, elo dapat sore ya? Tapi tenang. Lo nggak wajib tungguin gue. Lo kan mesti belajar juga, Dit. Sorenya gue bakal nungguin elo. Oke?!" Rasanya Dita mau menangis detik itu juga dan memeluk sahabatnya ini. Dita merasa tidak pantas diperlakukan sebaik ini pada sahabat yang ia bohongi.
"Yang, gue sayaaaaang sama lo. Lo tahu, kan?"
"Dita! Lo bikin gue merinding. Gue sukanya ama lakik, ya." Dita tertawa hambar.
"Tentu. Eh, gue mesti pulang nih. Mau kasih tahu Mama langsung."
"Oke. Gue ke perpus, cari tambahan bahan belajar."
"Bye, Yayang Inggit Kesuma, SE. Aamiin."
"Bye juga, Aphrodita Diana Saraswati, SE."
"Aamiiin."
***
Terik matahari, padat kendaraan, dan macet panjang, menambah daftar stresnya Dita. Di pikirannya hanya dipenuhi satu hal: keamanan mamanya. Tapi Dita tidak bisa bergerak karena macet sialan ini.
Sudah hijau. Cepetan. Pelan banget jalan mobil di depan, keluh Dita.
Baru menggas satu meter, tiba-tiba...
"Aaaak!" Hampir saja Dita menyerempet sebuah mobil mewah di depannya. Dadanya berdentam kuat, darahnya berhenti mengalir dan seketika ujung-ujung jarinya mendingin. Dita hampir saja menambrakkan dirinya dengan suka rela! Mau cari mati kamu, Dit?
"WOI!!! Kalau jalan pakai mata, bukan pakai dengkul!" teriak pengemudi sedan Mercedes Benz hitam mengkilat. Pria itu mengeluarkan kepalanya melotot mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...