"Sebenarnya Mas Ares bisa bawa motor atau enggak?" teriak Dita melawan angin malam polusi Jakarta.
"Bisa!" teriak Ares tak mau kalah.
"Tapi kok pelan banget? Jalannya nggak lurus, pula."
"Shhht! Kamu diem aja." Sebagai gantinya, gadis itu terpaksa berteriak histeris dalam kepalanya.
Lho, mengapa Ares yang bawa motor Dita? Yang penumpang kan, Ares. Mereka bertukar peran? Bukaaaan.
Jadi, ketika tahu Dita yang menunggu Ares di pinggir jalan, Chef itu jadi membayangkan yang tidak-tidak saat melihat penampakan Dita memakai helm, jaket, dan duduk di depan stang motor melawan angin malam. Ares tiba-tiba tidak tega membayangkan Dita memboncengi dirinya mengarungi jalanan Ibu Kota malam hari.
"Saya yang bawa motor," ucap Ares tiba-tiba.
Aku nggak salah denger, kan?
"Ya nggak bisa begitu, Mas. Di mana-mana yang pakai jasa saya duduk di belakang. Nggak pernah ada yang protes pengen mengendarai sendiri."
"Udah. Sekali ini nurut aja. Masa kamu yang bawa motor 'nyupirin' saya?" Ares tetap bersikukuh.
"Ya tugas saya kali, Mas. Mas Ares ngaco. Udah. Mau dianterin apa enggak?" tegas Dita. Hari semakin malam. Gadis itu tidak mau menghabiskan waktu dengan Si Tukang Roti mendebatkan hal tidak penting soal siapa yang mengendarai motor.
"Saya yang bawa. Nanti saya kasih bonus. Mana helm dan kunci?"
Bonus? Sebesar apa? Kalo gede sih, sabi. Lumayan buat nambah beli makanan kucing, pikir Dita.
Dita termakan rayuan bonus si pelanggan ngeyel dan memberikan kunci motornya dengan sukarela bagai habis terkena gendam.
"Ini helmnya," beri Dita dengan senyum super lebar lalu menggeser pantatnya ke jok belakang.
Ares mendengkus pelan dan memutar bola matanya. Tapi Ares malah lega.
Nah, kembali ke dua manusia yang penuh dengan perdebatan tak berkesudahan sejak mesin motor meraung. Dita gemas dari tadi motornya hanya berjalan dengan kecepatan 30 - 40 KM/Jam saja.
Tidak bisa begini terus, Bambang! Mau berapa jam sampai ke Amaranggana kalau jalan kayak siput???
"Mas, kalau pelan begini sampai tengah malam juga saya di kosan."
"Sabaaar!"
Astaga! Tuhanku, aku disuruh sabar.
"Mas, saya aja deh yang bawa motor. Ya?" mohon Dita.
"Tanggung."
Di belakang, Dita menghela napas lelah dan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam kantong jaket.
"Mas Ares kapan terakhir bawa motor?"
"Kayaknya tiga tahun yang lalu." Waktu itu Ares meminjam motor Boby. Itu pun hanya pergi ke supermarket yang berjarak 500 m dari tokonya.
"Yaah, udah lama banget. Yakin bawa motornya bener? Masih ingat kapan mesti hidupin lampu sen dan ngerem, kan?" Ares terkekeh.
"Kamu ngeremehin saya?" Ares menyeringai. "Pegangan Dita."
"Gimana, Mas?"
Tiba-tiba laju motor meningkat drastis membuat Dita sempat melayang ke belakang. Jantungnya mencelos, darahnya sukarela meninggalkan wajahnya.
"Maaas!" teriak Dita.
Pucat pasi wajahnya kehilangan darah. Otomatis anak gadis itu memeluk perut si driver kencang demi keselamatan dirinya dan berteriak di punggung Ares. "Utang saya masih banyak. Saya masih muda, Mas. Saya juga pengen nikah dan punya anak. Jangan bikin saya mati muda!" ceracau Dita.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...