1.23. The Guesses

12.1K 1.3K 3
                                    

"Mas Ares, Mimi mau pesen nasi Padang. Mas Ares mau?" Langkah Ares terhenti di tangga. Pas sekali. Dia sendiri belum makan dengan benar sejak tadi pagi. Hari pertama menjadi suami orang membuat nafsu makannya hilang. Tidur saja tidak nyenyak di malam sebelum ijab kabul.

"Ok. Langsung taruh aja ke ruangan saya, Mi. Saya mau istirahat sebentar."

"Siap Mas. Lauknya?"

"Rendang."

"Okey dokey."

Ana mengetukkan jarinya tak sabar di meja si admin dan kasir The Leisure Treasure Bakery. Selesai mengetikkan sesuatu di ponselnya, Ana langsung menarik Mimi duduk di belakang meja kasir.

"Kenapa, Mbak? Lo jarang ke sini, deh. Kue buat anak Walikota udah selesai?"

"Gue nunggu krimnya nge-set dulu di lemari pendingin. Eh eh, Mi. Dita udah datang hari ini?" bisik Ana. Mimi sudah bisa menebak apa maksud Ana datang ke meja kasir.

"Sampai sekarang belum."

"Hmm." Ana mengangguk-angguk.

Mereka saling berpandangan, saling bicara tanpa suara. Sepertinya saat ini gelombang otak dua perempuan itu sefrekuensi. Dasar wanita. Kalau mau berghibah saja, tower provider selular kalah saing.

"Mereka nggak mungkin ada apa-apa, kan?" tanya Ana.

"Ya... enggak lah," Mimi sendiri tak yakin. Mata Ana menyipit curiga. "Tunggu-tunggu. Kita nggak boleh nge-judge Mas Ares, Mbak. Mas Ares juga nggak bilang apa-apa. Jadi kita nggak boleh asal nebak," seru Mimi cepat-cepat.

"Tapi mereka berdua itu kok deket sekarang?"

Mimi mengangkat bahu. "Mungkin mereka memang ada urusan penting."

"Tapi kok bisa ya, Mas Ares kenal Dita? Maap-maap aja nih, Mi. Gue bukannya gimana-gimana. Tapi style-nya Mas Ares itu ya, yang kayak Mbak Nina. Kalau Dita..."

"Terlalu merakyat?" timpal Mimi. Tapi detik berikutnya si kasir langsung menepuk mulutnya. Astaga Mimi. Nggak boleh nge-judge orang.

"Naah. Iya. Nggak cocok sama profil Tante Widya dan keluarga Sasongko. Dita itu terlalu muda dan terlalu 'sederhana'. Gue yakin dia masih sekolah. Minimal SMA."

"Mimi juga mikir gitu sih, Mbak. Tapi ya Mbak, kok gue nggak pernah lihat Mbak Nina lagi ya? Apa jangan-jangan..." MIMIIII STOP!

"Selamat sore."

Dua karyawan Ares itu terlonjak di kursi mereka. Siapa yang menyangka orang yang mereka ghibahi muncul tepat di depan hidung masing-masing.

"Hai Dita. Mau ketemu Pak Ares?" Mimi langsung berdiri dan menyambut gadis driver itu.

"Bukan. Saya mau anter pesanan Mbak Mimi."

"Oalaaah. Jadi saya pesen nasi Padang sama kamu?" Dita tersenyum manis, membuat Ana dan Mimi sempat terpana sejenak. Buru-buru Mimi buka lagi aplikasinya. "Aphrodita DS. Itu nama panjang kamu?"

"Iya Mbak Mimi."

Kantong kresek nan berat berpindah tangan ke Mimi. "Makasih ya, Dit."

"Sama-sama, Mbak. Pembayaran udah dari aplikasi ya. Kalau gitu saya pamit. Permisi." Ana memperhatikan dengan saksama Dita melangkah menuju pintu.

"Lo belum makan?"

"Belum, Mbak."

"Satu lagi buat siapa?"

"Buat Mas Ares."

Mata Ana membola dan menyenggol pelan lengan Mimi. "Kenapa, Mbak?"

"Dita." Yang di panggil menoleh cepat. Ia tidak jadi membuka pintu toko.

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang