1.10. The Whining Girl

15K 1.5K 21
                                    

"Apa Dita marah ya?" Safarina bermonolog di kamarnya memandangi cermin. Pikirannya terbagi antara si anak gadis yang tidak pulang-pulang dengan warna eye shadow palette cokelat tembaga-apakah perlu glitter atau tidak? Tangannya tetap bekerja memoles pipinya dengan brush blush on agar makeup-nya terlihat on point saat bertemu dengan teman SMA-nya dulu. Ada rasa cemas, sedikit. Walaupun sejujurnya, kecemasan karena Dita tidak pulang sempat membuatnya tidur tidak nyenyak, lagi-lagi sedikit.

Tapi, karena ibu tunggal itu merasa anaknya sudah dewasa, sudah bisa menjaga diri sendiri dan bertanggung jawab untuk dirinya, maka kecemasan tadi sedikit terselubungi dengan kedewasaan dan kesiapan gadis mandiri itu menghadapi dunia yang sebenarnya.

Padahal pertemuannya dengan Arisa hari ini ingin membicarakan hal penting menyangkut masa depan anaknya dan, tentu saja masa depannya sendiri. Mari kita singkirkan dulu masalah 'masa depan' ke samping, pikir Safarina.

Bersyukur ia mendapati anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik dan tidak meniru sifatnya. Gen suaminya berperan lebih banyak dalam membentuk anak mereka, terutama wajah, sifat, dan keuletan. Itu sebabnya Safarina bahkan tidak cemas bila anaknya tidak terlihat di mana pun di setiap sudut rumahnya karena yakin, Dita akan baik-baik saja.

"Tapi aku telepon berkali-kali kok nggak ngangkat, ya? Dita baik-baik aja, kan? Duuh, tuh anak bikin khawatir," ucap Safarina menerawang. Dia kemudian beralih ke lemari pakaiannya. Beberapa dress lama sudah tidak jamannya lagi tergantung berdesakan

"Apa-apaan ini? Ini baju apa? Merusak pemandangan saja." Safarina mengeluarkan sebuah dress lama yang dia sendiri tidak ingat telah memilikinya. Baju selutut itu ia keluarkan paksa dari dempetan baju-baju yang lebih baru dan lebih modis dan di lempar begitu saja ke kursi rias.

"Aku perlu baju baru. Sepatuku sudah out of date semua deh. Tapi duit dari mana?" Sejenak Safarina termenung, lalu bagai tersentil sesuatu, Safarina sadar dan pikirannya kembali ke anaknya. "Sebentar-sebentar. Rasanya Dita pernah menyebutkan nama teman dekatnya. Ayang atau Sayang? Duuh." Di tengah-tengah mencari nama sebuah kontak di ponselnya, Safarina mendesah kecewa teringat kalau ia sendiri tidak mempunyai nomor ponsel teman anaknya.

Makin lama rasa perasaan khawatir ini mengganggu Safarina. Membuatnya frustasi. Safarina mondar-mandir di kamarnya sambil menunggu koneksi ponselnya terhubung dengan Dita dan berharap pada Tuhan kali ini anaknya mengangkat teleponnya.

"Halo. Dita? Kenapa nggak pulang kamu?" ucap Safarina tanpa basa-basi setelah mendengar kata halo. Tak dinyana, kelegaan sejujurnya melingkupi hatinya. Bagaimanapun, hubungan ibu dan anak tidak bisa putus, kan? Firasat seorang ibu, bila ia benar-benar memakainya akan menghasilkan sesuatu yang berguna, kan? Misalnya saat-saat genting seperti ini.

"Mamaa... Dita takut. Mama ke sini...." Isakan Dita makin kencang. Safarina panik. Harus, lah!

"Dit. Dita kenapa, Nak?"

"Dita takut. Dita di tuduh wanita murahan. Dita nggak salah apa-apa." Kesusahan sebenarnya Safarina mendengar penuturan anaknya di tengah isakan tergugu. Tapi satu yang pasti, Dita sedang dalam bahaya.

"Dita tenang dulu. Sekarang bilang sama Mama, kamu di mana?"

"Di apartemen penumpang yang Dita anter semalam. Trus Dita ketiduran di sini. Tapi Dita nggak dibolehin pulang." Lagi-lagi Dita merengek seperti anak kecil.

"Kirim alamatnya sama Mama! Mama akan ke sana sekarang. Kamu tenang ya." Klik.

"Ya Tuhan. Apa lagi ini?"

***

Gadis yang dari tadi menunduk dan bicara seirit mungkin dengan wajah takut-takut tiba-tiba menangis seperti anak kecil kehilangan boneka kesayangannya.

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang