"Berat," kata suara serak itu. Matanya tak sanggup dibuka. Tubuhnya lemas, dadanya sesak, dan dingin menyergap kulitnya menyusup sampai ke tulang.
"Miauw."
"Maple?" Benar. Penyebab dadanya sesak adalah si kucing gemuk yang tidak terlalu gemuk lagi. Tapi tetap saja masih berat.
"Maaf ya Maple, kamu turun dulu ya." Dita menggeser Maple lembut sehingga berpindah ke sisi kanannya sekarang. Gadis itu menarik selimutnya sampai ke dagu.
"Miauw."
"Hm," balas Dita lemah.
"Miauw."
Tok tok tok.
Ketukan pintu kamarnya membuat Maple berlari ke arah pintu. Tapi Dita tahu siapa yang melakukannya.
"Masuk." Sosok itu diam saja di ambang pintu dalam balutan baju rumahnya. Kenapa jam segini Mas Ares belum berangkat juga? Perasaan udah jam 9 deh.
"Maaf ya, saya harus keluarin Maple. Dia mungkin butuh waktu pribadi di litter box-nya," ucap Ares bersalah. Maple memang langsung menunaikan hajatnya litter box.
Ada yang nggak beres. Gadis ini terlihat kacau.
"Iya. Nggak apa-apa."
"Kamu...baik-baik saja?" Dua langkah lebar Ares sangat mempersingkat jarak mereka.
"Hm." Anggukan samar gadis itu tidak bisa menipu penglihatannya.
Satu langkah lagi dari Ares membuat mereka hanya dibatasi ruang kosong berjarak 30 cm.
"Maaf. Tapi saya harus cek." Ares duduk di kasur sebelah Dita. Tiba-tiba telapak tangan besar itu menempel di dahinya. Dita berjengit. Bukan karena tangan Ares dingin, tapi karena ini adalah sentuhan kulit pertama mereka secara sadar.
Pshhhhhh.
Tenang, Dita. Dia kan suami kamu. Sah, kok. Nggak dosa. Dia menekan dadanya yang berdebar aneh dari balik selimut.
"Panas. Saya ambil termometer dan paracetamol. Saya akan ganti selimut kamu dengan yang lebih tipis."
"Makasih. Tapi saya nggak bisa minum obat tablet," ucap Dita pelan. Dita siap diledek.
"Biasanya makan pakai apa?"
"Pisang kalau ada. Kalau nggak ada makanan apa pun bisa."
Mengejutkan, tidak ada kata-kata cemoohan atau ejekan. Pria itu langsung menghilang dan menyiapkan apa pun yang dibutuhkan Dita tadi.
Heee? Mas Ares kenapa?
"Makasih, Mas." Sebutir paracetamol lolos dengan susah payah melalui kerongkongannya. Hanya minum obat saja sudah melelahkan. Dita menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang.
"Sekarang 38.9 derajat. Kita cek sebentar lagi. Kalau panasnya tidak turun juga, kita ke UGD."
"Tapi..."
"Lakukan saja seperti yang saya bilang tadi, Dita."
"Saya harus patuh seperti Mas Ares usir saya dari toko kemarin?" Suaranya mulai bergetar. Dengan cepat matanya mengabur. Lonjakan emosi tiba-tiba ini benar-benar menguasai dirinya.
Ares mendengkus tidak senang. "Saya nggak pernah ngusir kamu."
"Tapi kenapa Mas suruh makan pesenan saya biar pelanggan lain bisa kebagian tempat?" rengek Dita.
"Saya nggak pernah bilang ngusir kamu," ulang Ares geram.
Astaga Ares. Apa dia tidak sadar, orang yang sedang sakit emosinya labil dan sensitif?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...