1.28. The Scandal

13.9K 1.4K 15
                                    


"Maple, aku ngampus dulu ya."

"Miauuuw." Makhluk berbulu lebat itu terus menandukkan kepalanya ke kaki Dita dan menatap penghuni baru itu dengan tatapan sedih, penuh harap. Maple tidak mau Dita pergi.

"Tapi aku harus ketemu Buk Eli, Maple. Masih ada revisi. Ya?"

"Miauuuw." Kucing yang tidak lagi keterlaluan gemuknya itu mengelilingi kaki Dita sambil menandukkan kepalanya lagi. Dita tidak tahan kalau diginiin. Bisa-bisa dia batal ke kampus gara-gara main dengan Maple. Bersama Maple membuatnya sering lupa waktu.

"Maple. Jangan begitu, lah. Nanti pulang kampus kita main, ya."

"Miauuuw."

Sebagai salam perpisahan, Maple digendong dan diberi ciuman disekujur tubuhnya. Untung Dita tidak alergi bulu kucing. Dan untung Ares selalu rutin membawa Maple ke salon kucing. Grooming is a must.

Selama Dita tinggal di apartemen itu, dia selalu berangkat setelah Ares. Karena jam 6.00 pagi si Tukang Roti sudah bersiap-siap untuk ke toko, sedangkan dirinya baru akan keluar dari kamarnya, lalu bermain-main dengan Maple, membuat sarapan sederhana, baru bersiap-siap ke kampus atau ngojek. Jadi waktu berdua dengan Maple sangatlah banyak. Makanya anabul Ares lengket dengan Dita.

"Lo punya kucing? Lucu banget. Mirip sama kucing Mas Ares." Jantung Dita langsung berhenti beroperasi saat itu juga. Mita tak sengaja menangkap gambar wallpaper HP milik Dita.

Ceroboh banget sih kamu, Aphrodita?

Mita menarik kursi di seberang meja. Tidak ada lagi ketenangan suasana kafe dalam mengerjakan revisi final skripsinya. Yang ada, tengkuk Dita panas dingin.

Mita tidak boleh tahu dirinya dan kakaknya tinggal bersama. Apa kata Mita kalau tahu temannya ini sudah menikah dengan kakaknya? Apa dia akan benar-benar dituduh sebagai gold digger? Kiamat sudah dekat judulnya.

"Lu-Lucu, kan?" Pura-pura mengagumi sebentar lalu segera menyimpan gawainya ke dalam tas.

"Lucu sih. Tapi nggak terlalu suka kucing. Setiap gue ke apartemen Mas Ares, kucing gemuk itu selalu menghindari gue. Cuma mau dipegang sekali-sekali."

Lho, enggak kok. Malahan sejak aku datang setelah ijab kabul, dia langsung ngedeketin aku dan nempel-nempel di kaki aku.

"Ooh." Ganti topik, Dita. "Udah siap buat sidang?"

"Disiap-siapkan," jawab Mita santai. "Gue udah baca buku sampai muak, sampai mata gue sepet."

"Gue yakin kok, lo itu pinter jadi semua bakal lancar," ucap Dita tulus. "Waktu seminar proposal aja ngomong lo udah kayak pembicara profesional. Somehow gue iri. Kadang ngomong di depan banyak orang masih belibet."

"Thanks. Lo ngerendah deh, Dit. Eh btw, cuma elo deh, yang kasih gue moral support nggak pakai embel-embel di belakang."

"Bukannya dukungan moral yang paling lo butuhkan ketika akan sidang? Gue kalau di posisi lo juga begitu, kali. Kalau dukungan kepintaran otak mah, lo lebih jago dari gue." Dita tertawa lepas. Dita sadar diri kok dengan kemampuannya.

"Temen-temen se-geng gue udah pada minta party, hang out, sama makan-makan kalau gue lulus sidang. Nggak ada tuh yang bilang, Mita, fighting, atau Mita, lo bisa. Selamat berjuang. Bullsh*t." Tawa Dita spontan berhenti.

Dita tercengang. "Masa?" Begitu ya, pergaulan seorang Mita selama ini.

"Yes. Tapi kalau gue tinggalin mereka, gue kayak kehabisan stok teman. Nggak tahu deh lo gimana sama temen lo. Gue nggak suka sendirian."

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang