1.30. When Sorrows Come In Battalions*

12.9K 1.5K 21
                                    

Dua kali sudah dia di maki-maki di waktu yang berdekatan. Seseorang datang mencengkeram bahu Dita kuat, memutar badannya dan menghentikan teriakannya ke rumahnya sendiri.

"Sudah tahu pagarnya di gembok, ya pasti nggak ada orang, lah!" sewot ibu-ibu bersanggul itu. Sasak rambutnya mengingatkan Dita akan ibu-ibu pejabat di senayan.

"Saya mau panggil Mama saya, Buk. Ma. Mama, Dita pulang," teriak Dita lagi. Dia pantang menyerah.

"Ooh, anaknya Safarina," ucap Ibu itu angkuh. "Saya pikir tukang tagih alias debt collector. Soalnya sudah beberapa hari ini debt collector sering banget datengin rumah ini."

"Ngapain debt collector ke rumah saya? Kami nggak ada hutang lagi, kok." Sebab, Dita sendiri yang melunasi utang Mamanya ke bank sehari setelah ijab kabul.

"Rumah kamu?! HAH!" dengus Ibu itu. "Dengar ya. Rumah ini sudah jadi milik saya. Safarina sendiri yang jual ke saya sejak sebulan yang lalu."

"APA?! Enggak. Enggak mungkin Mama jual rumah Papa. Ini peninggalan Papa saya satu-satunya," teriak Dita histeris.

"Kalau nggak percaya-," Ibu tadi pergi ke mobilnya mengambil sesuatu. Dita melihatnya. Sebuah map coklat digenggam erat dan perasaan Dita sudah tidak enak. "-nih, buktinya. Surat kepemilikan tanah dan bangunan sudah sama saya. Kami sudah transaksi secara sah di mata hukum di depan notaris. Ini bukti kwitansi penjualannya."

Ada bubuhan tanda tangan Mamanya di kwitansi penjualan. Tapi Dita tak mau percaya. Bisa saja Ibu ini seorang penipu, pikir Dita.

"Bukti ini kan bisa di buat-buat. Saya nggak percaya. MAMA, DITA DILUAR, MA," teriak Dita ke rumahnya lagi. Si Ibu memutar bola matanya dramatis. Kini Dita mengguncang pagar besinya hingga berisik. Beberapa tetangga keluar gara-gara keributan mereka.

"Ada apa ini?" tanya seorang lelaki paruh baya bersarung dan memakai kaus oblong putih. "Dita, udah lama nggak pulang. Kamu udah kerja di luar kota?"

"Pak RT, kata Ibuk ini rumah saya udah dijual. Mama nggak ada kasih tahu apa-apa sama saya. Mama juga nggak bisa dihubungi dari tadi," keluh Dita langsung. Pak RT malah menghela napas dan wajahnya berubah sendu seketika.

"Pak RT, tolong dijelaskan sama gadis ini. Saya sekarang yang punya rumah ini, dia ngotot kalau rumah ini masih miliknya."

"Nak Dita. Apa Buk Rina tidak kasih kabar apa pun soal penjualan rumah kalian?" Dita menggeleng lemah.

"Saya sudah tunjukkan semua bukti hitam di atas putihnya, Pak. Dia tetap nggak percaya," sewot Ibu itu.

"Bu, tenang dulu. Sepertinya Dita memang tidak tahu menahu."

"Sudahlah. Tolong ya, Pak RT. Saya juga nggak bisa meladeni gadis ini lama-lama. Saya juga ada urusan lain," ketus si pemilik baru rumah Dita. Matanya melotot tidak senang.

"Baik, Bu Asih."

Belum sejengkal Bu Asih pergi, Dita menuntut Pak RT-nya. "Pak, beneran kata Ibu itu? Rumah ini sudah dijual?"

"Iya, Dita. Mama kamu sama sekali tidak kasih tahu kamu?" Dita menggeleng.

"Sekarang kamu tinggal di mana?"

"Saya numpang sama temen, Pak." Kurang dari sebulan lagi jatah tinggal di apartemen Mas Ares, Pak. Lalu aku tinggal di mana nanti?

"Yang sabar ya, Dita." Setelah menepuk bahu gadis itu, Pak RT pergi, meninggalkan Dita yang terjongkok layu di depan rumah peninggalan papanya, memandang sedih rumah yang sudah dia tinggali selama 22 tahun. Pandangannya mengabur. Tak terasa air matanya mengalir deras siang itu

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang