1.31. No More Place Called Home

13.2K 1.4K 8
                                    

Salahnya tidak memberi tahu kedatangannya ke rumah Yayang. Kini perjalanan panjang yang ditempuh dengan mata sembab dan berair karena tangisannya tidak berhenti-berhenti jadi sia-sia. Yayang sekeluarga sedang ke rumah bibinya di Depok. dan bisa sampai malam di sana. Lalu, dia harus ke mana? Dita tidak mau pulang. Karena pulang hanya akan mengingatkanya pada si Tukang Roti menyebalkan!

"Sebeeel! Nggak ada yang beres sama hidup aku! Mana mau magrib, lagi," dumel Dita sendirian di atas motornya. Dia masih di depan rumah Yayang yang gelap tidak ada lampu teras.

"Haaaah. Nggak tahu deh. Ke mana aja asal nggak ke apartemen. Maple. Aku kangen."

Tiga puluh menit kemudian, Dita sudah duduk manis minum teh hangat di warung Mbak Wati bersama rekan sesama driver. Sejujurnya, perutnya minta diisi. Tidak cukup hanya dengan sebuah croissant dan secangkir kopi, tapi di saat yang sama perutnya juga menolak makan. Dilema.

Uuugh, aku nggak menikmati makan croissant mahal dan enak itu gara-gara si Tukang Roti songong bin sombong. Mentang-mentang dia yang punya toko jadi seenaknya ngusir aku? Aku kan pelanggan. Aku beli roti mahal itu. Demi Tuhan. Barusan itu makanan termewahku yang tidak bisa kunikmati dan sialnya dibeli dengan uang jajan 'kasihan' dari Mas Ares. Biasanya mah, langgananku kalau nggak warteg ya, warteg lagi. Besok aku janji nggak akan pakai uang jajan dari Mas Ares untuk foya-foya lagi. Aku akan mulai kerja keras dan ngumpulin uang untuk ngekos. Ya. begitu lebih baik. Haah. Mama kok tega sama anakmu sendiri?

"Haaah." Kepalanya dijatuhkan saja ke meja. Bunyi bedebum lembut mengusik seseorang di sebelahnya.

"Kenapa lu, Dit?" kucekan singkat Dita rasakan di belakang kepalanya. Dia tahu siapa pelakunya.

"Gue pengen tidur. Jangan ganggu!"

"Lu kenapa? Ada masalah?"

"Bang Riko tamvan. Gue bilang gue mau tidur. Jangan ganggu," ulang Dita di dalam lengannya. Dita tidak repot-repot mengangkat kepalanya. Si driver tamvan geleng-geleng kepala. Serasa menghadapi adik labilnya yang masih SMP saja.

"Biasanya tidur itu di kasur, kagak di warung, Dita cakep. Pulang sana. Bentar lagi hujan soalnya."

Hah, hujan? Bagus. Mantel hujanku teronggok manis di atas rak sepatu di apartemen.

"Bang."

"Apa?"

Ditunggu-tunggu semenit, Dita tidak juga bicara. Riko akhirnya mengguncang bahu gadis itu. "Dita, lu mau ngomong apa?"

"Nggak jadi, deh." Riko mendengkus kecil.

"Lu udah makan?" Dita menggeleng.

"Pesen deh, nasi goreng sama Mbak Wati. Gue bayarin." Dita menggeleng lagi.

"Atau mi rebus kesukaan lo? Pake cabe segerobak." Jawaban yang sama Riko terima lagi. Nih anak kenapa sih? Tadi pas nyampe bengong, trus mau tidur, disuruh makan nggak mau, batin Riko. Riko mulai cemas.

"Dit, gue serius. Mending lu pulang. Bentar lagi hujannya bakal lebat, ini. Udah mulai gerimis, tuh," ucap Riko serius.

Gadis itu akhirnya mengangkat kepalanya, berat. Sakit kepala mulai menyerangnya gara-gara menangis tadi.

"Lu juga mau ngusir gue, Bang? Oke. Gue pergi. Seneng lu kan, Bang? Nggak ada tempat lagi gue, kayanya."

"Astaga. Bukan begitu, Dita. Siapa yang ngusir elu?" Tapi Dita tidak mendengarnya. Lebih tepatnya tidak mau mendengar apa pun lagi. Sudah cukup hari ini. Kalau sampai dia mendengar omong kosong lagi... Aah, entahlah.

Tanpa pamit pada Riko dan rekan-rekan sesama driver-dan itu bukan kebiasaannya, Dita memacu motor Scoopynya kencang. Riko benar. Tanpa aba-aba, langit memuntahkan muatannya amat deras, sampai-sampai jarak pandang menjadi pendek. Basah kuyuplah Dita saat itu juga. Pada akhirnya, dia menurunkan kecepatannya motornya menjadi 35 km/jam.

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang