2.44. False Alarm

13.2K 1.4K 17
                                    

Sulit untuk bekerja bila pikiranmu sedang terbagi.

Bekas di marahi oleh Bos besar WO belum hilang. Ditambah tatapan menusuk Widyawati yang akhirnya mengenali dirinya. Wajah perempuan paruh baya itu menggelap menahan amarah, seakan dengan tatapanya bisa membunuh jiwa Dita saat itu juga.

"Siapa sih, yang bisa mengontrol cipratan jeruk nipis yang di peras, Dita cakep? Sama seperti, nggak ada yang bisa mengontrol seberapa deras air hujan yang turun dan bakal jatuh di mana selain yang di Atas."

"Ini beneran lo yang ngomong, Bang? Kok tumben kata-kata lo bermutu?" Padahal yang bicara matanya berkaca-kaca. Riko jadi gemas akhirnya mengucek kepala Dita dengan telapak tangannya yang besar.

"Kebangetan lo Dit. Lu pikir gua cuma tukang ojek yang nggak tahu apa-apa? Gua udah makan asam garam hidup lebih dulu dari lu. Gua bilang begitu karena memang yang ngatur dunia dan seisinya bukan kita. Tapi Dia. Kita Cuma bisa berbuat dengan niat baik dan usaha terbaik. Mau di belokin, mau dilurusin sama Tuhan hasil akhirnya, yang bisa kita lakukan me-ne-ri-ma dengan ikhlas. Ngerti lu sekarang?" Bang Riko bener juga, sih.

"Tapi Bang Riko ikut kena marah. Gue jadi nggak enak." Setetes dua tetes air mata jatuh juga. Cepat-cepat Dita seka dengan punggung tangannya.

"Udahan. Sejak kapan lo nggak enakan sama gua, Dit?"

"Tapi—"

"Santai Dita," potong Riko. "Mending lo sambut tamu di depan. Biar gua yang atur bagian dalam."

"Iya."

Dari kejauhan, rombongan keluarga Sasongko beringsut meninggalkan ruangan, membuat Dita menegang.

"Bang, gue izin ke luar bentaaaar aja. Yah, pliiis?" Kalau wajah Dita memelas seperti ini, Riko tidak tahan untuk mengiyakan.

"Iya. Jangan lama-lama. HT stand by Dit."

"Siap, Bang Riko tamvan." Pria itu terkekeh sendiri mengikuti punggung yang berlari menuju pintu keluar.

***

Apa-apaan gadis itu? Apa semudah itu dipegang-pegang oleh pria dewasa?

"Res, Mama setuju banget kamu sama Juan. Kali ini harus jadi, ya?"

Apa mudah sekali bagi dia menangis di depan pria lain?

"Betul Res. Lagian Papa sudah lama kenal Bang Wilmar. Bibit bebet bobot Juan sudah tidak perlu diragukan. Kalian serasi. Pengaruh Bang Wilmar untuk karir Papa juga tidak bisa Papa pungkiri. Mereka dari keluarga yang memang memegang kekuasaan di Istana dan Senayan."

Atau, memang begitu sifatnya? Mudah dekat dengan orang lain? Terutama lawan jenis?

"Aresta. Kamu nggak dengerin Mama dan Papa, ya?"

Tepukan kecil mampir di bahunya, mengguncang khayalnya yang tak berkesudahan. "Eh, gimana Ma?"

"Kamu mikirin Juan, ya?" goda Dadang.

Apa gunanya aku mikirin Juanita? "Papa Mama langsung pulang, kan?"

"Iya. Tapi Papa sudah suruh supir ke sini."

"Lho, kan Ares yang ngantar pulang."

"Kamu masuk lagi gih, ke dalam. Temenin Juan. Kami pulang duluan," timpal Widyawati.

"Bukan begitu juga caranya, Ma. Ketemu juga baru dua kali sama hari ini. Nggak bisa langsung grasak grusuk."

Dua orang tua itu saling pandang dengan senyum penuh makna, membuat anak mereka memutar bola mata jengah.

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang