"Yang, lo di rumah, nggak?" tanya Dita pada ponselnya.
"Di rumah. Napa, mau ke sini? Ayok. Ibu lagi masak banyaaak. Hahahaha." Segitu girangnya Yayang dengan informasi barusan. Yayang memang suka makan. Tapi lebih suka lagi makan bersama orang-orang yang dia sayang. Salah satunya Dita.
"Pas banget. Gue di depan rumah lo."
"Lha, kok bisa?" Terdengar suara pintu membuka dan napas Yayang terengah-engah bak berlari melintasi lapangan sepak bola. "Tunggu. Gue turun. Sedetik gue nyampe." Dita terkekeh sendiri dan mematikan koneksi teleponnya.
Hanya setengah kepala Yayang menyembul di balik pintu. Soalnya dia tidak pakai hijab. "Lo habis nganter penumpang ya?" Itu semburan kata-kata pertama Yayang setelah meneliti penampilan sahabatnya dari ujung rambut sampai ujung sepatu.
"Iya. Gue habis nganterin Bu Tantri."
"Ooh, Tante Tantri tetangga gue. Yuk masuk."
"Bu, ada Dita," teriak Yayang ke arah dapur.
"Dita. Pas banget kamu ke sini. Ibu masak banyaaak banget. Bapak request macam-macam." Dita mencium tangan ibunya Yayang dengan khidmat dan hormat.
"Alhamdulillah. Pas banget Dita belum makan siang, Bu."
"Sok atuh. Duduk di sana," perintah Ibu Yayang. Dita langsung mengambil tempat dengan senang hati.
Rumah Yayang bagai rumah kedua bagi Dita. Dan Dita sudah menganggap Ibu dan Bapak Yayang adalah orang tuanya sendiri. Itu sebabnya Dita memanggil kedua orang tua itu sama seperti yang Yayang lakukan.
"Dit, kok lo nggak jadi pakai tukangnya Bapak?" tanya Yayang di sela-sela makan karedok. Gimana mau pinjem tukang, duitnya nggak ada, Yang.
"Duitnya kepake buat yang lain, Yang."
"Elaah. Santai aja kali. Urusan bayar mah gampil kalau sama Bapak. Iya kan, Pak?"
"Bener, Dita. Lagian kata Yayang rumah kamu bocor, kan? Mesti segera diperbaiki. Urusan uang bisa belakangan," Bapak Yayang menimpali.
Ya Allah, apa tampangku tampang butuh dikasihani, ya? Tapi kenapa keluarga Yayang baik banget? Dita tersenyum masam.
"Jangan deh, Pak. Kalau seperti itu Dita malah ngerepotin Bapak. Kalau uangnya udah terkumpul lagi baru Dita kabarin Yayang," ujar Dita tak enak hati.
Yayang mau protes namun segera dihentikan ibunya. "Ya udah. Kalau Dita nggak mau nggak usah dipaksa, Yang. Bapak pasti akan kasih tukang stand by kan, Pak?"
"Iya, betul," jawab bapak Yayang.
Dita lega luar biasa.
Saat hidangan penutup wedang ronde di sajikan, sebuah dorongan datang dari hati kecil Dita untuk bertanya pada Ibu Yayang. Gadis itu butuh bekal sebelum menjadi seorang istri (gadungan).
"Bu, Ibu nikah umur berapa?"
"Hm, habis tamat SMA Ibu langsung nikah sama Bapak." Ibu Yayang malu-malu.
"Apa?!"
"Ho-oh. Dit. Pernikahan dini, nah Ibu gue itu," Yayang terlihat bangga.
"Kok Ibu mau nikah muda?"
Ibunya Yayang duduk di seberang sofa ruang tengah, menikmati wedang ronde buatannya. Menyeruput dengan nikmat, lalu melanjutkan bicara. "Ayahnya Ibu jodohin Ibu sama Bapak. Padahal ya, usia kami lumayan jauh jaraknya. Tiga belas tahun ada kayaknya." Apa? Kalau ibu Yayang 18 tahun, Bapaknya Yayang 31 tahun dong, saat menikah?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ingredients of Happiness [COMPLETED]
RomanceSemua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghirup bau ragi yang seperti makanan berjamur saja sudah menjadi terapi bagi jiwanya yang lelah. Dengku...