2.67. Denial

11.8K 1.3K 58
                                    

Bibirnya tak berhenti berkedut sejak lima menit yang lalu.

Selamat, pembohong. Kamu baru saja melakukan hal yang paling kamu benci di dunia. Dasar bodoh.

Tapi aku senang melihat wajah pria itu kecewa. Syukurin! Asal ajak perempuan yang baru dikenal untuk makan malam? It's not gonna happen, Dude!

Perkenalkan, Ares si kekanak-kanakan.

"Res, Mama dan Papaku undang makan malam."

Tapi wajah Dita benar-benar priceless ketika diundang Radhi. Saking senangnya, gadis itu sampai melompat-lompat girang seperti anak kecil. Aku tidak menyesal. Urusan memberitahu Radhi, akan kupikirkan nanti. Untuk sekarang, mari hadapi Juanita. Cepatlah habiskan sarapanmu, Juan. Pekerjaanku menunggu di dapur.

"Ares. Kamu dengar aku? Aresta." Sebuah sentuhan lembut menangkup punggung tangan Ares, membuyarkan pikirannya barusan.

"Ya, Juan?" Pelan tapi pasti, Ares menarik tangannya dan diistirahatkannya di atas lutut.

Perempuan anggun itu memutar bola matanya. "Kamu diundang Papa dan Mama makan malam."

"Kapan?"

"Malam ini."

"Tidak bisa!"

"Oh, kalau kamu nggak bisa malam ini nggak apa-apa," kata Juan kalem. "Tapi nggak perlu ngegas juga, Res."

"Astaga. Maaf, Juan. Maksudku aku minta maaf tidak bisa malam ini. Aku... sudah ada janji makan malam." Sekali lagi maaf, Juan.

"Ya udah sih, Mama Papa pasti mengerti. Lagian mereka ngundangnya dadakan."

"Tolong sampaikan maafku pada orang tua kamu."

"Sure. I think I must stop here. Kalori pie ini akan membuat beratku bertambah."

Pastry chef itu mengangkat kedua alisnya. Pasalnya, baru segigit, pai daging itu diletakkan begitu saja. Bahkan yang digigit hanya kulit pai. It's just a small piece of pie. Hanya sebesar kepalan tinju tangan Dita. Ares yakin, kalau perempuan itu Dita, dia tidak akan menyia-nyiakan makanan. Dita akan menghargai apa pun makanan yang ada di hadapannya.

"Aku pikir nggak masalah, Juan. Aku yakin kamu menghabiskan sedikitnya dua jam setiap hari di gym. Belum lagi pilates, atau yoga, mungkin?"

Ares benar. Juan maniak olah raga. Ada olah raga yang belum Ares sebutkan : renang.

"I know. Tapi aku nggak mau berat badanku naik even dua ons."

Whatever, Juan, gerutu Ares dalam kepalanya.

Satu gigitan kecil anggun croissant masuk ke mulut Juan. Kunyahannya lambat, namun matanya bergelora karena memikirkan sesuatu yang mengganjal pikirannya

Sayangnya kesabaran Ares sudah di tepi jurang.

"Juan..."

"Res," kata mereka bersamaan. "Dita yang kalian bicarakan dengan Chef  Radhitya di Restoran Amaranggana, Dita yang itu?" Juan menunjuk anak buah Ares yang sedang membersihkan meja salah satu pelanggan. Kepala Ares mengikuti telunjuk lentik Juan yang kukunya dicat warna beige.

Mana Arip? Kenapa Dita yang membereskan meja? That is not her job desk.

"Ya. Kenapa?"

"Kata kamu dia teman. Apa seorang karyawan bisa berteman dengan bosnya? Kalian sedekat itu?"

"Sebelum jadi karyawanku, dia adalah temanku." Terkutuklah lidah ini. Kapan kamu akan berhenti bicara, Res? "Sekarang dia anak buahku. Asistenku, lebih tepatnya."

The Ingredients of Happiness [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang